"Tak apa, aku suka membelinya untukmu," balas Yudha lalu mengecup punggung tangan istrinya.Mobil yang dikemudikan Demian pun akhirnya tiba di depan lobi hotel, dengan sigap lelaki itu turun dan membuka pintu mobilnya, lalu mempersilakan majikanya keluar dari dalam mobil, tanpa disadarinya jika ada sepasang mata tengah terbelalak lebar sedang mengawasi mereka.***Beberapa menit sebelumnya.Wajah Widya tampak begitu sumringah ketika memandang bangunan hotel tempat dimana resepsi pernikahan Nia gelar. Wanita itu sudah tak sabar ingin melangkah masuk ke dalam, terlihat dari sikapnya yang sedari tadi gelisah saat meminta Deni untuk mempercepat laju mobil mereka.Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Deni selesai memarkirkan mobilnya. Segera saja tangan Widya meraih tas miliknya dan mengambil sebuah cermin lipat, demi untuk memeriksa kembali riasan wajahnya."Mas, undangannya jangan lupa dibawa," ujar Widya sambil melihat pantulan wajahnya di cermin itu."Iya, sudah. Ada padak
Langkah Rahma sedikit tertatih ketika keluar dari mobil karena belum terbiasa berjalan dengan sepatu setinggi tujuh centimeter itu, menyadari cara berjalan istrinya yang tampak kaku, segera saja tangan Yudha memegang lengannya dan menggandengnya mesra.Seorang Door girl segera membuka pintu dan menyambut kedatangan mereka dengan sebuah senyuman. Yang langsung dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Rahma.Dengan langkah anggun, pasangan sultan itu melangkah ke arah tempat resepsi dengan wajah tersenyum. Melihat betapa manisnya cara Yudha menggandeng Rahma membuat decak kagum bercampur iri dari para staf hotel wanita yang kebetulan melihatnya."Aih, manis banget lihatnya. Aku iri!" Ungkap seorang waitress yang tak sengaja melihat mereka."Mas, aku gugup, soalnya nggak pernah datang ke acara seperti ini," Bisik Rahma teramat pelan di telinga Yudha."Maka biasakan mulai dari sekarang ya, sebagai Istriku, kedepannya nanti kau akan sering bahkan sampai bosan untuk datang ke acara seperti in
Ekor mata Widya mendelik tajam saat melihat ekspresi menyebalkan yang diperlihatkan Lilis padanya, apa tadi yang dikatakannya, turun dari mobil mewah? Orang kaya? sungguh menggelikan, benar benar membuatnya ingin tertawa.Sesuatu hal yang mustahil.Mana mungkin Rahma bisa jadi orang kaya dalam semalam? Apa yang bisa diharapkan dengan seorang tukang laundry macam Yudha? Makan saja masih pakai tahu dan tempe saja setiap hari, dan lagi, apa katanya tadi? turun dari mobil mewah? benar benar tak masuk akal.Mau berlagak seperti orang kaya? Sungguh menggelikan.Dengan seksama Widya mengamati penampilan Rahma dari ujung kepala sampai ujung kaki. Entah mengapa malam ini ia mengakui jika penampilan Rahma terlihat sangat berbeda. Gamis satin itu terlihat mahal dan juga tas itu ....Ah, Widya menginginkannya."Oh, itu. Iya ... aku dan Mas Yudha memang diantar pakai mobil itu ke sini," jawab Rahma kalem. Sambil melirik kakak iparnya tersebut."Lalu, apa maksudmu pindah kontrakan tanpa mengabari ka
"Iya ... aku memang bekerja di rumah keluarga kaya, bahkan sangat kaya hingga aku bisa membeli apapun yang kuinginkan," lanjut Rahma dengan seringai tipis di wajahnya. Entah mengapa Rahma merasa sangat senang melihat wajah kakak perempuannya itu kesal. "Kerja jadi pembantu di mana?" Lilis yang sedari tadi menyimak, tiba tiba menyela."Kalau bisa naik mobil mewah sih aku juga mau, jangankan jadi pembantu, jadi tukang ngosek-ngosek WC-nya saja aku mau, ajak aku ya Rahma kerja di rumah majikanmu!" Lilis melanjutkan ucapannya, membuat ekor mata Widya seketika mendelik tajam padanya."Halah Bohong! Nggak mungkin! mana ada pembantu bisa naik mobil mewah, nggak mungkin banget, kamu pasti salah lihat tadi Lis? Mana mungkin itu Rahma, iyakan Rahma?" tolak Widya tak terima."Ya sudah kalau Mbak nggak percaya, aku nggak maksa, kok!," Desis Rahma membalas."Tapi, sebenarnya kau dan Yudha tinggal di mana sekarang? Ah tidak, di mana kalian tidur semalam?" Tanya Nella, sungguh meski ia kadang bersik
"Jadi katakan Rahma, dimana rumah majikanmu itu?" Sinis Widya yang mulai merasa sesak nafas.Rahma menyeringai kecil ketika mendengar pertanyaan Widya. Ia tak tahu bagaimana harus menjawabnya, bukankah Rahma sendiri tidak tahu dimana rumah keluarga Yudha berada?Yudha memang menceritakan silsilah anggota keluarganya, bisnis keluarganya bahkan alasan mengapa Sang kakek memilihnya menjadi satu-satunya orang yang akan meneruskan usahanya, namun, suaminya itu sepertinya lupa memberikan alamat rumah keluarganya. Atau, mungkin ia yang lupa bertanya?Mata Widya kini menyipit tajam seolah siap menguliti dirinya andai tak dapat menjawabnya, ekor mata Rahma kini berputar, dengan kening terlipat, suatu tanda jika ia gelisah memikirkan sebuah jawaban yang pas untuk membungkam mulut kakak iparnya tersebut.Rahma menoleh, mencoba memanggil suaminya namun, sepertinya hal itu tidak mungkin, meski jarak antara Yudha dan dirinya cukup dekat, namun, lelaki berwajah oriental itu sepertinya terhanyut deng
"Maaf apakah anda Pak Darren? Direktur marketing di PT. Gemilang Widjaja?" tanya Bagas pada Yudha yang saat ini sedang berdiri di hadapannya.mendengar ucapan Bagas, sontak Yudha menggeleng."Tidak, itu tidak benar, kau mungkin salah orang," jawab Yudha santai. Ia tidak berbohong, jabatan sebagai direktur marketing di perusahaan milik kakeknya tersebut sudah ia tinggalkan dua tahun lalu semenjak di-usir dari rumah karena keputusannya menjadi mualaf. Yudha masih tersenyum, memberikan ucapan selamat untuk mereka, melihat reaksi yang diperlihatkan Yudha, membuat Bagas berpikir jika mungkin benar ia salah mengenali orang."Oh, saya minta maaf, karena sudah salah mengenali orang, tapi sungguh, wajah anda begitu mirip dengannya," ungkap Bagas dengan raut wajah kecewa."Tak masalah, tak perlu dipikirkan," sahut Yudha kalem."Maaf, apakah sebelumnya kita pernah bertemu, entah mengapa rasanya wajah anda begitu familiar bagi saya," tanya-nya kemudian."Entahlah, mungkin saja kita pernah bertemu
Widya cemberut ketika dilihatnya Sang suami tampak melamun di lobby hotel. Sejak awal kedatangan mereka ke hotel, ia dan Deni tak tampil bersama, karena Deni lebih memilih berbincang dengan seorang teman yang baru dikenalnya daripada harus masuk ke aula.Sebenernya bukan hanya itu alasannya, Deni sengaja tidak masuk ke aula karena malas bertemu dengan kerabat yang lain. Gara gara mengikuti keinginan istrinya untuk tidak memberi tumpangan, membuat lelaki itu merasa malu untuk bisa bertemu muka dengan mereka.Ah, mungkin seharusnya sejak awal ia memang bersikap tegas pada istrinya, tapi, ancaman Widya ditambah rasa cinta yang menggebu membuatnya akhirnya hanya bisa tertunduk lemah di bawah kungkungan tangan istrinya.Bucin.Suami takut istri.Suami lemah.Entah apa lagi julukan yang cocok untuk disematkan padanya, ia sudah tak tahu lagi. Meskipun menyadarinya semua kesalahannya namun tetap saja Deni tidak mampu berbuat apapun untuk bisa mengubah tabiat buruk istrinya."Mas, lihat apa? Sa
"Apa kau benar-benar jadi pembantu di rumah orang kaya, Rahma?"Mendengar pertanyaan itu entah mengapa, tawa Rahma hampir pecah. Yudha yang sedari tadi melirik istrinya hanya bisa tersenyum kecil."Apa ada sesuatu yang menarik?" Bisik Yudha ke telinga Rahma.Rahma mengangguk kecil.Yudha menggeleng lalu mengusap kepala istrinya dengan lembut, lalu kembali berbisik." Lakukan saja jika ingin membalas perlakuan mereka, aku tidak akan melarang. Tapi jangan sampai kelewatan, kau mengerti apa maksudnya kan?""Iya, aku hanya ingin membuat mereka merasakan sakit kepala saja, mas. Boleh kan?""Halo Rahma!" Suara Nella terdengar menyadarkan Rahma jika sedari tadi ia belum menjawab pertanyaan dari kakak perempuannya itu."Ah iya, mbak. Tadi nanya apa?""Apa kau benar-benar jadi pembantu di rumah orang kaya?" Nella mengulang kembali pertanyaannya."Oh itu, kalau aku jawab jujur apa mbak akan percaya?""Maksudnya?""Aku tidak pernah sekalipun bilang jadi pembantu, mbak. Itu Mbak Widya yang menyimpu