Tapi Rahma, kemana dia pergi?Entah mengapa tiba-tiba wajah Deni mengeras, berita kepindahan Rahma kini menyulut emosinya.Apa gara gara pertengkaran mereka soal tanah warisan kemarin, hingga membuat Rahma pergi tanpa pamit? dan sudah tak menganggapnya lagi sebagai saudara? Pikiran buruk kini menguasai kepalanya.Haruskah dia mencari keberadaan Rahma?Ah, tapi untuk apa? Bukankah Rahma sendiri yang memutuskan pergi tanpa pamit padanya? Awas saja nanti jika dia datang mengemis bantuan atau berniat meminjam uang, sudah tentu tak akan diberikannya."Mas, dari tadi aku memanggilmu, ngapain sih bengong saja disitu?" Teriak Widya yang mengejutkan Deni."Ya, ada apa sih?" Balas Deni lalu menghampiri istrinya.***Mobil yang dikemudikan Demian kini berhenti di depan sebuah mall. Mata Rahma mengerjab sesaat melihat dimana ia berada saat ini, diliriknya sang suami yang masih asyik melihat layar ponselnya, membuat Rahma hanya bisa diam.Demian segera keluar dari kursi kemudi itu dan setengah berl
"Mas, kita belanja di tempat lain saja ya," bisik Rahma sepelan mungkin ketika Yudha menggandengnya masuk ke dalam sebuah butik terkenal.Yudha memandang Rahma dengan senyum tertahan, rasanya gemas sekali melihat wajah istrinya yang tampak bingung seperti itu, membuat tangannya gatal untuk mencubit pelan hidung Rahma.Dilihatnya ekor mata Rahma yang mengitari sekeliling, Yudha masih melihat kekhawatiran di wajah istrinya meski ia sudah menjelaskan bahwa tak perlu gelisah dan mengkhawatirkan apapun.Seharusnya ia memberitahu Rahma lebih dulu sebelum mereka pergi belanja, tapi, melihat rasa lelah di wajah Rahma, Yudha takut akan mengejutkannya dan membutuhkan waktu lebih panjang untuk menjelaskannya."Kenapa harus belanja ditempat lain?" Balas Yudha sambil melirik Rahma yang gelisah."Semua barang disini tampak mahal mas, aku ngeri," Keluh Rahma cemas."Kenapa kau takut aku tidak membayarnya?" Rahma segera mengangguk."Iya, semua barang disini harga pasti mahal, aku bahkan tidak berani
"Mbak, lihat suami saya nggak?" Tanya Rahma pada lucy. Yang langsung disambar dengan gelengan kepala oleh Lucy."Tidak, mungkin suami ibu sedang memilih pakaian, Jika diperbolehkan, saya bisa menunjukkan barang barang diskon di toko kami, siapa tahu ibu berkenan," Kembali, nada suara Lucy yang terdengar mengejek. Lama Rahma terpaku. Jejeran tas mewah itu, kembali membuatnya menelan ludah, apalagi saat melihat tas bermerek terkenal itu seakan melambai ingin mendekat padanya.Ah, Rahma mendes4h, tas itu tampak sangat bagus, wajar sekali jika ia menginginkannya."Mahal sekali," bisik Rahma yang samar terdengar oleh Lucy."Iya tentu saja, bu," balas Lucy mencibir."Ngga punya uang sok belanja di sini, mau murah ya beli di pasar," sungut Lucy bergumam sendiri sambil melempar tatapan mengejek pada Rahma.Rahma mengigit bibirnya ketika membayangkan harga semua barang di tempat ini, jika sebuah gaun dan tas saja harganya sampai puluhan juta, Rahma tak dapat membayangkan berapa banyak uang yan
"Ba-baik pak, anda tunggu disini, saya akan panggil bu manager sebentar," sahutnya gugup, Rahma bahkan bisa melihat tangannya yang gemetar.Dengan sopan, ia melangkah menuju ke arah sebuah pintu yang berada di sudut kiri. Sungguh, Rahma masih belum bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.Rahma melirik Yudha yang masih memasang ekspresi wajah datar, Rahma tahu, ekspresi wajah seperti itu selalu dipasang suaminya kala sedang kesal, segera saja tangannya mengelus lembut lengan Yudha seolah ingin menenangkannya."Mas, apa yang kaulakukan? Lebih baik kita pergi saja dari sini, aku tidak ingin cari keributan," ucap Rahma selembut mungkin."Tenang saja sayang, tak akan terjadi apapun, mas kenal dengan pemilik butik ini kok," sahut Yudha berusaha menghilangkan kecemasan di wajah istrinya."Tapi ..." Ujar Rahma tampak ragu."Percaya sama mas," kembali Yudha meyakinkan istrinya."Baiklah," sahut Rahma pasrah lalu berdoa dalam hati semoga kekhawatirannya tidak terjadi.Yudha meraih tangan istr
Ponsel baru Rahma dengan logo apel tergigit itu, berdering ketika ia dan Yudha sedang menikmati sarapan pagi di kamar mereka, entah mengapa Rahma tak tertarik untuk melihat ke layar ponselnya sekedar untuk melihat siapa gerangan yang menelponnya.Rahma memilih mengabaikannya, ia yakin yang menelepon adalah salah seorang dari kakaknya, tak tahu mengapa rasanya malas saja menjawab telepon dari mereka.Melihat sikap istrinya yang terkesan cuek dan mengabaikan ponselnya yang masih berdering. Membuat Yudha mengeryitkan dahi karena tak biasanya istrinya bertingkah menyebalkan seperti ini.Kembali, ponsel keluaran terbaru itu berdering. Namun, tak membuat telinga Rahma merasa terganggu. Rahma masih asyik menikmati sarapannya."Tidak diangkat dulu teleponnya? Siapa tahu penting," Yudha akhirnya bersuara."Tak usah mas, palingan juga Mbak Nella, siapa lagi kalau bukan dia? Toh, selama ini yang aktif menelepon dan bikin ponselku rame dan berdering itu cuma kamu dan Mbak Nella saja. Jadi sudah pa
"Mau ikutan numpang, apalagi? Sudah jangan dibalas lebih baik kita bersiap siap saja sekarang, acaranya kan mulai jam tujuh malam, sekarang sudah pukul tiga sore, lebih baik cepat mandi, setengah jam lagi kita akan berangkat," ujar Widya memberi perintah pada suami dan anaknya."Aku tidak ikut, ma. Nanti malem si Rasty mau kesini, kita mau ngerjain tugas," Tolak Dara, beralasan."Baiklah, tapi awas kalau kau berbohong, jangan sampai aku melihatmu mengajak teman lelaki ke rumah," Ancam Widya, lalu bergegas ke belakang."Mama memang tidak asyik," gumamnya pelan namun masih terdengar oleh Deni, Sang ayah yang duduk disebelahnya."Di turuti sajalah, daripada cari ribut dengan mama-mu, lagipula yang dikatakannya tidak salah, kan?" balas Deni mencoba menasehati putrinya. "Papa seperti tidak pernah muda saja," keluh Dara, lalu beranjak menuju kamarnya. Tak lama terdengar suara Widya yang melengking dari arah dapur."Mas, cepat mandi, setengah jam lagi kita berangkat. Aku tidak mau ya, mobil
"Tak apa, aku suka membelinya untukmu," balas Yudha lalu mengecup punggung tangan istrinya.Mobil yang dikemudikan Demian pun akhirnya tiba di depan lobi hotel, dengan sigap lelaki itu turun dan membuka pintu mobilnya, lalu mempersilakan majikanya keluar dari dalam mobil, tanpa disadarinya jika ada sepasang mata tengah terbelalak lebar sedang mengawasi mereka.***Beberapa menit sebelumnya.Wajah Widya tampak begitu sumringah ketika memandang bangunan hotel tempat dimana resepsi pernikahan Nia gelar. Wanita itu sudah tak sabar ingin melangkah masuk ke dalam, terlihat dari sikapnya yang sedari tadi gelisah saat meminta Deni untuk mempercepat laju mobil mereka.Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Deni selesai memarkirkan mobilnya. Segera saja tangan Widya meraih tas miliknya dan mengambil sebuah cermin lipat, demi untuk memeriksa kembali riasan wajahnya."Mas, undangannya jangan lupa dibawa," ujar Widya sambil melihat pantulan wajahnya di cermin itu."Iya, sudah. Ada padak
Langkah Rahma sedikit tertatih ketika keluar dari mobil karena belum terbiasa berjalan dengan sepatu setinggi tujuh centimeter itu, menyadari cara berjalan istrinya yang tampak kaku, segera saja tangan Yudha memegang lengannya dan menggandengnya mesra.Seorang Door girl segera membuka pintu dan menyambut kedatangan mereka dengan sebuah senyuman. Yang langsung dibalas dengan ucapan terima kasih oleh Rahma.Dengan langkah anggun, pasangan sultan itu melangkah ke arah tempat resepsi dengan wajah tersenyum. Melihat betapa manisnya cara Yudha menggandeng Rahma membuat decak kagum bercampur iri dari para staf hotel wanita yang kebetulan melihatnya."Aih, manis banget lihatnya. Aku iri!" Ungkap seorang waitress yang tak sengaja melihat mereka."Mas, aku gugup, soalnya nggak pernah datang ke acara seperti ini," Bisik Rahma teramat pelan di telinga Yudha."Maka biasakan mulai dari sekarang ya, sebagai Istriku, kedepannya nanti kau akan sering bahkan sampai bosan untuk datang ke acara seperti in