Nicholas menggenggam tangan Ariana erat, menatap layar USG dengan tatapan serius. Pagi itu dia menepati janjinya—meninggalkan sejenak dunia bisnis dan kesibukan korporat. Suara mesin USG yang berdesing ringan menambah ketegangan.Dokter Lina mengerjakan tugasnya dengan cermat, memantau layar di depannya dengan pandangan tajam. Tatapan profesionalnya perlahan berubah, sedikit tegang, dan Ariana merasakannya. Tangan Nicholas, yang menggenggam tangannya, terasa semakin erat.“Bu Ariana, Pak Nicholas,” akhirnya suara dokter Lina memecah keheningan. Suaranya terdengar lebih berhati-hati dari biasanya, seolah ada sesuatu yang tidak ingin segera diucapkan. “Sesuai hasil pemantauan sebelumnya, saya mendapati bahwa ada perbedaan signifikan antara ukuran kedua janin. Janin perempuan terlihat lebih kecil dari yang laki-laki. Ini menandakan adanya selective intrauterine growth restriction, atau yang kita sebut sIUGR.”Nicholas menoleh ke Ariana, yang saat ini tampak diam terpaku, hanya bisa mena
Nicholas berdiri di sudut ruangan, menatap Ariana yang tengah melakukan yoga prenatal. Sesekali dia membaca laporan di layar tabletnya dengan tenang. Dia memutuskan bolos masuk kerja sehari untuk menemani Ariana selama 24 jam, karena kondisi bayi kembar mereka yang tidak baik-baik saja. Instruktur yoga sabar memandu setiap gerakan Ariana. Ruangan terasa tenang, dengan alunan musik lembut yang mengiringi latihan. Ariana tampak nyaman mengikuti pose-pose lembut yang dirancang khusus untuk menjaga keseimbangan dan kekuatan tubuhnya. "Pak Nicholas," Tiba-tiba instruktur memanggil Nicholas sambil melambai, "mau bergabung untuk pose berpasangan? Ini sangat bagus untuk mendukung istri Anda, dan bisa memperkuat ikatan emosional antara Anda berdua." Nicholas menghela napas, meletakan tabletnya di atas buffet sebelahnya. “Ah, baiklah,” jawabnya, lalu berjalan mendekat dengan sedikit ragu. Ariana melirik ke arahnya, senyum lembut di bibirnya seolah tahu Nicholas akan sedikit kerepotan
Nicholas akhirnya menarik diri. “Penggemar ya?” katanya sembari jemarinya menelusuri bibir Ariana, seolah sedang membersihkan jejak ciuman panas mereka barusan. “Tapi sekarang... semua fantasimu tentangku sudah jadi kenyataan, kan?” katanya lagi dengan godaan yang sensual, suaranya semakin dalam. "Or maybe... there's still something filthy we haven't tried yet?" lanjut Nicholas dengan nada rendahnya. Mengartikan ucapan Nicholas, wajah Ariana langsung memerah dan segera menepis tangan Nicholas yang menari-nari di bibirnya. Dia mengambil sendok lagi dan kembali menyuapkan es krim ke mulutnya, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang tak bisa dia tahan.Nicholas berdiri di sampingnya, menatap Ariana dengan penuh perhatian. “Apa kau akan tetap duduk di sini menghabiskan es krim-mu?” tanyanya sambil melirik cangkir es krim Ariana yang hampir habis.Ariana melirik gelas es krim Nicholas yang mulai mencair. “Dan kau, tidak menghabiskan es krim-mu?” tanyanya balik.Nicholas tersenyum nakal
Ariana memandang dirinya di depan cermin, jemarinya lembut menyusuri gaun rancangan desainer kenamaan, kainnya meluncur sempurna di tubuh hamilnya. Setiap jahitan gaun itu seolah didesain untuk memancarkan kecantikan dan kemewahannya. Tiba-tiba, lengan Nicholas melingkari pinggangnya dari belakang, erat, penuh dengan rasa kepemilikan. “Mengapa kau begitu cantik?” bisik Nicholas di telinganya, suaranya rendah dan penuh intensitas. “Aku ingin menyimpanmu untuk diriku sendiri.” Ariana tersenyum, melihat pantulan mata tajam suaminya di cermin. “Kau memujiku begitu agar aku tidak lama berdandan, ya?” Nicholas terkekeh pelan, tangannya tak lepas dari pinggang Ariana. “Iya. Aku tidak suka menunggu.” “Dasar,” balas Ariana. Mereka keluar kamar bersama, di depan mobil, Jhon sudah berdiri tegap menunggu. Pintu mobil hitam mengkilat itu terbuka, dan mereka masuk dengan tenang. Saat mobil melaju, Ariana duduk diam di samping Nicholas. Ada pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, tak ku
Nicholas keluar dari mobil hitamnya dengan cepat, mendekap tubuh Ariana yang terkulai lemah. Di depan pintu IGD, tim medis sudah siap dengan tandu dan peralatan lengkap—sebuah persiapan yang tak terlepas dari pemberitahuan Daniel. Dia memastikan rumah sakit itu sudah siap menyambut kedatangan tuannya.Di dalam ruangan IGD, berbagai spesialis telah menunggu: dokter spesialis bedah, spesialis kandungan, hingga spesialis anestesi, semuanya sudah siap.Lampu-lampu ruang gawat darurat memantul di wajah Nicholas yang tegang. Wajahnya yang biasanya tenang dan penuh kendali kini dipenuhi kecemasan yang sulit disembunyikan. Ketakutan menyelimuti tatapannya, namun dia berusaha tetap kokoh. Dua perawat sigap mengambil alih Ariana, memindahkannya ke tandu dengan gerakan terlatih. Tanpa membuang waktu, mereka membawa Ariana ke dalam ruangan yang telah dipenuhi alat-alat monitor, di mana para spesialis sudah siap.Dokter Radit, seorang ahli bedah vaskular, segera mendekati Ariana. Di sebelahnya, do
Nicholas melepaskan genggaman tangan Ariana dengan lembut dan berdiri. Matanya menatap ayahnya dengan dingin, seolah-olah kehadiran Richard hanyalah gangguan yang tak diinginkan.“Aku tahu tujuan Papi datang ke sini,” ucap Nicholas. Richard mengerutkan kening, membuka mulut untuk membalas, tapi Nicholas tak memberi kesempatan. Dia melangkah maju, mendekati ayahnya. “Pergilah, Pih. Istriku butuh ketenangan, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun—termasuk Papi—mengganggu istirahatnya.”Richard tersentak. Amarah mulai tampak di matanya, rahangnya mengeras. “Kau berani mengusirku?” suaranya nyaris berbisik namun mengandung ancaman.Nicholas, dengan tenang menjawab singkat. “Iya.”Richard berdiri mematung. Rasa marah yang membara di dadanya hampir tak terbendung, namun gengsinya lebih besar. Perlahan dia menegakkan tubuhnya, mencoba mempertahankan martabat yang tersisa. “Kita belum selesai, Nicholas,” katanya menahan amarah.Nicholas tetap diam, tidak bergerak sedikit pun ketika ayahnya
"Apakah ada instruksi lain?" tanya August.Nicholas menatap Ariana yang masih terbaring di ranjang dengan napas pelan. "Jangan sampai ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.""Saya akan pastikan," jawab August sebelum panggilan berakhir.Nicholas menurunkan ponselnya, tatapannya kembali tertuju pada Ariana. Dia berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang, dan menghela napas panjang. Dalam ruangan yang hening itu, hanya suara mesin monitor yang memecah keheningan. Tatapannya tidak beranjak dari wajah Ariana yang pucat. Tangannya yang besar dan kuat menyentuh lembut tangan Ariana, menggenggamnya seolah takut kehilangannya.“Kau tidak boleh pergi dariku,” gumamnya pelan.Waktu seolah melambat di dalam kamar itu. Matanya yang lelah mulai terasa berat, dan tanpa sadar, Nicholas tertidur di kursi di samping Ariana, masih memegang erat tangannya.Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat menyelinap melalui tirai jendela, mengisi kamar dengan cahaya lembut. Nicholas terbangun, tubuhnya ter
Nicholas keluar dari ruang rapat dengan langkah yang tampak tenang meski di dalam dirinya perasaan frustrasi. Setiap detik yang dia habiskan di kantor pusat terasa seperti pengkhianatan terhadap istrinya. Namun, dia tidak punya pilihan. Ada perusahaan yang harus dipimpin, dan hari ini, ayahnya menekannya sampai batas yang sulit ditoleransi.Begitu pintu lift tertutup, Nicholas menekan tombol menuju lantai kantornya dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. Di dalam lift yang sunyi, dia mendongak ke atas, menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ruang rapat masih terbayang jelas di benaknya—tatapan dingin Richard, kata-kata licin yang penuh agenda tersembunyi, dan dewan yang tak henti-hentinya mengamati setiap gerakannya.Saat lift berbunyi dan pintunya terbuka, Nicholas melangkah keluar. Clarissa yang menyusul dari lift sebelah segera mendekat dengan laporan rapat yang baru saja selesai. Dia berbicara, tapi Nicholas hanya menangkap separuh dari ucapannya. "Pak Nic