maaf maaaf, lama update maaaf
Nicholas kembali berbicara kepada Daniel, "Istriku ingin melihat bagaimana mereka menikmati liburannya," katanya kepada Daniel, tetapi matanya tidak lepas dari Ariana yang terlihat sangat penasaran. "Baik Tuan," jawab Daniel. Nicholas memutuskan sambungan teleponnya, dan kembali kepada Ariana yang duduk kaku, posturnya tegang dengan kemarahan. “Apakah kau marah kepadaku?” tanya Nicholas. “Ya,” jawab Ariana tegas, tanpa ragu. Nicholas terkekeh pelan, dan meneguk habis air mineralnya di atas meja, dan berpindah duduk di sebelah Ariana. Dekat. Begitu dekat hingga dia hampir bisa merasakan hangatnya tubuh Ariana dan mencium aroma manisnya. “Kau tahu apa yang membuatku selalu menyukaimu?” tanya Nicholas. Ariana tidak menjawab. Dia tahu Nicholas ahli dalam mengalihkan percakapan serius, mengubahnya menjadi personal dalam upaya melucuti pertahanannya. Nicholas tersenyum melihat reaksi Ariana. “Bibirmu,” ucapnya pelan. “Caranya melengkung ketika kau bahagia, atau ketika kau marah sepe
Keesokan paginya matahari sudah membubung tinggi. Ariana membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur saat pertama kali melihat Nicholas masih berbaring di sampingnya. Tatapan Nicholas yang tenang, wajahnya begitu dekat. Jarang sekali Nicholas masih berada di tempat tidur saat dia bangun. Biasanya, suaminya itu sudah lama berangkat ke kantor."Apa aku bangun terlalu pagi?" tanya Ariana sedikit heran, suaranya serak karena tidur. Dia menggeser tubuhnya, tangan meraba perut besarnya.Nicholas tersenyum lembut, menggoyangkan kepalanya sedikit. "Benar, tidurlah kembali," jawabnya sambil membelai rambut Ariana yang tergerai di atas bantal.Ariana mengulurkan tangan, meraih jam alarm di nakas samping tempat tidur, Matanya melebar sedikit saat melihat angka di layar digital. "Nick, ini sudah pukul 10!"Nicholas hanya mengangguk, masih santai. "Iya."Ariana mengerutkan kening. " Sejak kapan kau mulai mengamatiku tidur?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi di wajah suaminya yang tenang."Sejak
Setelah mereka tiba di rumah, Ariana berjalan dengan hati-hati. Namun, begitu melewati ruang tamu, Ariana berhenti, matanya terpaku pada ruang kerja Nicholas yang berada di sebelah kamar mereka, yang hampir rampung direnovasi oleh beberapa pekerjaa ahli. Dinding kaca yang besar memisahkan ruang kerja itu dengan ruang tengah dan kamar tidur mereka, seakan menegaskan bahwa privasi hanyalah ilusi.“Nick… ada renovasi kilat?” tanya Ariana dengan nada heran, matanya menyipit seolah ingin menembus pikiran suaminya.Nicholas, yang sedang menuntun Ariana ke kamar, menoleh sambil tersenyum santai. “Ruang kerja baru. Sekarang aku bisa bekerja dari rumah, dan tetap bisa memantau ‘proyek terpentingku’,” katanya sambil melirik ke arah Ariana.Ariana tertegun, lalu tertawa pelan. "Proyek terpenting? Apa itu maksudnya aku? Kau jadi bos besar yang mengawasi istri hamilnya?"Nicholas terkekeh sambil meraih pundak Ariana dengan lembut. "Ya, hampir seperti itu."Ariana memperhatikan pekerja yang sibuk m
Ariana yang pura-pura tidur, akhirnya benar-benar tertidur pulas di ranjang besar. Ketika akhirnya terbangun, matanya membuka perlahan, cahaya matahari pagi mengintip dari celah-celah tirai tebal. Dia mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan pandangannya dengan ruangan di sekitarnya. Saat Ariana melihat ke arah dinding kaca yang membatasi kamar dengan ruang kerja Nicholas, dia terpaku. Nicholas duduk di meja kerjanya, memeriksa tumpukan berkas dengan raut wajah serius. Sesekali, dia mengetuk keyboard laptopnya dengan ketukan yang terdengar mantap. Alisnya sedikit berkerut, menunjukkan intensitas dari pemikirannya.“Apakah dia tidak mengenal tidur?” gumam Ariana dalam hati, setengah heran dan setengah kagum. Betapa dia mencintai sisi ini dari suaminya—dedikasi dan ketelitian Nicholas yang tanpa cela.Ketukan pelan di pintu kamarnya membuyarkan lamunannya. Tok. Tok."Pagi, Nyonya," suara lembut Bibi Helen menyapa. Wanita paruh baya itu membawa nampan berisi sarapan lengkap."Pagi?
Setelah kepergian August, Nicholas berdiri dari kursinya. Langkahnya mantap saat dia berjalan ke arah pintu yang menghubungkan ruang kerjanya dan kamar tidurnya. Tepat saat dia berdiri di depan dinding kaca, dengan satu sentuhan, kaca buram itu berubah menjadi bening. Di seberang sana, Ariana yang mengenakan gaun rumah yang sederhana namun anggun sudah berdiri menghadapnya. Senyum tipis terukir di wajahnya ketika matanya bertemu dengan tatapan Nicholas. Ada sesuatu yang mendalam dan tak terucapkan di antara mereka—seperti bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti. Nicholas balas tersenyum, membuka pintu, dan langkahnya langsung menuju Ariana. "Apakah kau sudah menghabiskan sarapanmu?" tanyanya lembut, suaranya nyaris seperti bisikan, penuh perhatian. Ariana mengangguk, melirik ke arah ruang kerja Nicholas yang kini terlihat lebih tenang setelah sesi panjang tadi. “Bagaimana denganmu?” tanyanya balik, bernada sedikit khawatir. Nicholas tidak langsung menjawab, matanya menelusur
Seminggu kemudian, Nicholas tidak berada di rumah karena ada urusan pekerjaan penting yang harus ditinjau langsung di kantor. Meski biasanya dia bekerja dari rumah untuk memastikan Ariana beristirahat dengan baik. Kali ini Nicholas harus turun tangan sendiri menangani beberapa masalah perusahaan yang mendesak.Ariana memanfaatkan momen itu untuk bermain dengan ponselnya sepuas hati. Dia duduk berselonjor di atas kursi santai yang empuk di taman belakang rumahnya. Tubuhnya bersandar nyaman, punggungnya disokong bantal lembut, dan kakinya yang sedikit bengkak terangkat di atas sandaran kaki. Sinar matahari yang hangat menembus dedaunan, menyelimuti kulitnya dengan kehangatan lembut. Ponselnya menampilkan berita tentang kasus kakek Henry. Mata Ariana terpaku pada layar, mengikuti dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulut pembawa berita. Berita itu menyebutkan bahwa setelah penyelidikan panjang dan berbagai bukti baru yang diajukan, Henry dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan-tu
Nicholas menurunkan kedua tangan Ariana yang menangkup wajahnya, menggenggam erat jemari halus istrinya. Ada kehangatan yang tercurah dari genggamannya. “Aku tidak ingin membayarnya, karena bukan aku yang berhutang,” ucapnya perlahan.Ariana mengerutkan kening, bingung. “Apakah seseorang menipumu?” tanyanya sambil mencoba memahami maksud Nicholas. Nicholas menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. “Ya, bisa dibilang begitu,” ucapnya pelan, suaranya penuh kehati-hatian. Ariana, tanpa ragu, melepaskan diri dari genggaman Nicholas dan menatapnya dengan keyakinan. “Kalau begitu, kau tidak perlu membayarnya,” katanya tegas, seolah menemukan solusi sederhana dari masalah yang tampak rumit di mata Nicholas.Nicholas tersenyum kecil, ada kegetiran dalam senyum itu. "Menurutmu juga begitu, kan?” tanyanya, seperti memancing jawaban yang sudah dia duga.“Iya,” jawab Ariana mantap. Matanya bersinar dengan semangat. “Seret saja orang yang menipumu itu ke jalur hukum
Begitu keluar dari kamar mandi, langkah Nicholas langsung terhenti saat melihat Ariana tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Otaknya seolah membeku sepersekian detik.Dia bergegas mendekat dan berlutut di samping tubuh istrinya. Jantungnya berdebar keras, napasnya tertahan saat dia mengguncang-guncangkan bahu Ariana, berharap dia membuka mata. “Claire, dengarkan aku! Apa yang terjadi?”Tidak ada jawaban. Tidak ada respons. Tanpa pikir panjang, dia menyelipkan satu tangan di punggung atas Ariana dan tangan lainnya di bawah lututnya. Dengan satu gerakan, dia mengangkat tubuh istrinya, menggendongnya dengan hati-hati. “Bibi Helen!” teriak Nicholas saat melangkah keluar dari kamarnya, suaranya memecah kesunyian rumah. “Bibi Helen, minta Jhon siapkan mobil!”Bibi Helen, yang baru saja keluar dari dapur, terkejut mendengar panggilan mendadak dari tuannya. Dia melihat Nicholas membawa Ariana yang tak sadarkan diri, dan wajah Nicholas yang biasanya tenang kini tampak tegang. “Ya Tuhan, Nyo