Terima Kasih, sudah dengan sabar mengikuti ceritanya. bulan ini rencananya ingin update setiap hari, :'(
Seminggu kemudian, Nicholas tidak berada di rumah karena ada urusan pekerjaan penting yang harus ditinjau langsung di kantor. Meski biasanya dia bekerja dari rumah untuk memastikan Ariana beristirahat dengan baik. Kali ini Nicholas harus turun tangan sendiri menangani beberapa masalah perusahaan yang mendesak.Ariana memanfaatkan momen itu untuk bermain dengan ponselnya sepuas hati. Dia duduk berselonjor di atas kursi santai yang empuk di taman belakang rumahnya. Tubuhnya bersandar nyaman, punggungnya disokong bantal lembut, dan kakinya yang sedikit bengkak terangkat di atas sandaran kaki. Sinar matahari yang hangat menembus dedaunan, menyelimuti kulitnya dengan kehangatan lembut. Ponselnya menampilkan berita tentang kasus kakek Henry. Mata Ariana terpaku pada layar, mengikuti dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulut pembawa berita. Berita itu menyebutkan bahwa setelah penyelidikan panjang dan berbagai bukti baru yang diajukan, Henry dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan-tu
Nicholas menurunkan kedua tangan Ariana yang menangkup wajahnya, menggenggam erat jemari halus istrinya. Ada kehangatan yang tercurah dari genggamannya. “Aku tidak ingin membayarnya, karena bukan aku yang berhutang,” ucapnya perlahan.Ariana mengerutkan kening, bingung. “Apakah seseorang menipumu?” tanyanya sambil mencoba memahami maksud Nicholas. Nicholas menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. “Ya, bisa dibilang begitu,” ucapnya pelan, suaranya penuh kehati-hatian. Ariana, tanpa ragu, melepaskan diri dari genggaman Nicholas dan menatapnya dengan keyakinan. “Kalau begitu, kau tidak perlu membayarnya,” katanya tegas, seolah menemukan solusi sederhana dari masalah yang tampak rumit di mata Nicholas.Nicholas tersenyum kecil, ada kegetiran dalam senyum itu. "Menurutmu juga begitu, kan?” tanyanya, seperti memancing jawaban yang sudah dia duga.“Iya,” jawab Ariana mantap. Matanya bersinar dengan semangat. “Seret saja orang yang menipumu itu ke jalur hukum
Begitu keluar dari kamar mandi, langkah Nicholas langsung terhenti saat melihat Ariana tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Otaknya seolah membeku sepersekian detik.Dia bergegas mendekat dan berlutut di samping tubuh istrinya. Jantungnya berdebar keras, napasnya tertahan saat dia mengguncang-guncangkan bahu Ariana, berharap dia membuka mata. “Claire, dengarkan aku! Apa yang terjadi?”Tidak ada jawaban. Tidak ada respons. Tanpa pikir panjang, dia menyelipkan satu tangan di punggung atas Ariana dan tangan lainnya di bawah lututnya. Dengan satu gerakan, dia mengangkat tubuh istrinya, menggendongnya dengan hati-hati. “Bibi Helen!” teriak Nicholas saat melangkah keluar dari kamarnya, suaranya memecah kesunyian rumah. “Bibi Helen, minta Jhon siapkan mobil!”Bibi Helen, yang baru saja keluar dari dapur, terkejut mendengar panggilan mendadak dari tuannya. Dia melihat Nicholas membawa Ariana yang tak sadarkan diri, dan wajah Nicholas yang biasanya tenang kini tampak tegang. “Ya Tuhan, Nyo
Setelah operasi berakhir dan Ariana telah ditempatkan di ruang pemulihan, tim medis bekerja memastikan bahwa efek anestesi berangsur hilang dan tanda vitalnya kembali stabil. Ruang pemulihan cukup tenang, hanya suara mesin yang memantau setiap detak jantung, aliran oksigen, dan tekanan darah Ariana. Dokter Lina berdiri di dekat kepala ranjang, menatap monitor dengan serius sambil berbicara pelan pada perawat yang mencatat perkembangan kondisi pasien.Ariana masih belum sadar sepenuhnya. Efek anestesi yang diberikan selama operasi perlahan memudar, namun tubuhnya masih dalam kondisi pemulihan yang intensif. Matanya sedikit bergerak di balik kelopak mata, tanda-tanda bahwa dia perlahan mulai sadar.Dokter Lina melirik jam di dinding. Sudah lebih dari satu jam sejak operasi selesai. Beberapa menit kemudian, Ariana mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang lebih jelas. Matanya sedikit berkedut, dan napasnya yang semula pelan menjadi lebih dalam. Dokter Lina mendekat, memperhatikan pe
Ariana terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat. Begitu matanya terbuka, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah wajah Nicholas. Pria itu tersenyum. “Kau sudah bangun?” bisiknya, lembut namun jelas. Ariana menarik napas pelan, seakan tubuhnya mencoba menyesuaikan diri dengan rasa nyeri yang samar di perutnya. Ada tekanan aneh yang datang dari bekas sayatan operasi, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh, tapi rasa nyeri itu teredam oleh obat-obatan yang mengalir melalui infus. Nicholas menyentuh tangannya dengan lembut, jari-jarinya menyusuri punggung tangannya yang diselimuti selang infus. “Bagaimana perasaanmu? Apakah kau haus? Bantalmu nyaman?” Nicholas melirik ke arah bantal yang menopang kepalanya. Ariana tersenyum tipis, meski tubuhnya terasa berat dan perutnya sakit. "Bantalnya baik-baik saja," jawabnya lemah. Meski itu adalah kamar VVIP, tempat tidur yang lembut, bantal yang tebal, dan selimut hangat tidak banyak membantu melawan rasa nyeri di perutnya. “Yang
Ariana Claire tak bisa mempercayai matanya saat melihat Nicholas, suaminya yang tampan, tengah memeluk Katrina, wanita yang dikenal Ariana sebagai mantan kekasih suaminya. Nicholas, dengan kemeja biru yang digulung lengannya, terlihat begitu perhatian dan lembut kepada Katrina. Pemandangan itu menghancurkan hatinya. Ariana yang berada di rumah sakit untuk memeriksakan sakit maag yang kambuh, merasa hancur melihat suaminya tersenyum bahagia—sesuatu yang tidak pernah diberikan padanya selama dua tahun pernikahan mereka. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Tanpa menunggu obatnya, Ariana memutuskan untuk segera pergi. Pulang ke rumah, Ariana mencoba tetap tenang. Hingga malam, dia duduk di ruang makan menunggu Nicholas seperti biasa. Ketika Nicholas akhirnya pulang, dia hanya melirik Ariana dan makanan yang telah disajikan. "Nick, kau tidak makan malam?" tanya Ariana dengan suara gemetar, berusaha menahan emosinya. "Aku sudah makan," jawab Nicholas singkat, tanpa menatapnya, sebe
Ariana duduk diam di ruang makan, matanya menatap kosong ke arah teh di depannya. Teh yang diberikan oleh Rachel. Namun, tidak ada yang bisa membuatnya merasa lebih baik saat ini. Sejak menyaksikan senyum Nicholas—senyum yang begitu bahagia—saat bersama Katrina di rumah sakit, sesuatu dalam dirinya hancur berkeping-keping. Dia berhenti menyiapkan makan malam untuk Nicholas, berhenti berusaha menjadi istri yang mengabdikan dirinya. Selama ini, dia hanya mencoba menutup mata terhadap kebenaran yang pahit. Nicholas tidak pernah mencintainya. Suara langkah kaki mengganggu keheningan malam itu. Ariana yakin itu adalah Nicholas yang baru saja pulang, tangannya refleks mencengkeram kotak teh di depannya. Lampu dapur menyala tiba-tiba. Benar saja, Nicholas berdiri di ambang pintu, keningnya sedikit berkerut melihat Ariana duduk di sana, di kursi meja makan. “Apa yang kau lakukan di dalam kegelapan?” tanya Nicholas dengan nada suaranya sedikit heran. Ariana tetap diam, tak menole
Sejak malam Nicholas melakukan kekerasan kepadanya, Ariana memutuskan untuk pergi pagi-pagi buta agar tidak bertemu suaminya. Dia bangun lebih awal dan mengurung diri di kamar, sebelum Nicholas pulang, berharap bisa menghindarinya. Sudah tiga hari Ariana tidak bertemu dengan Nicholas. Bayangan kejadian malam itu terus menghantuinya hingga membuat penyakit asam lambungnya kambuh. Dia memutuskan untuk menemui dokter di rumah sakit. Setelah bertemu dokter, Ariana berjalan menuju loket farmasi di lantai satu untuk mengambil obat. Rasa cemas membebani pikirannya, membuatnya penasaran apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai atau belum. Di tengah perjalanan, dia menghubungi August, pengacara Nicholas, untuk mencari jawabannya. "Pak August, ini Ariana. Apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai?" tanya Ariana dengan hati-hati setelah August menjawab panggilan teleponnya Di ujung telepon, August menjawab dengan tenang, "Aku tidak menerima instruksi apapun mengenai perceraian."