Setelah operasi berakhir dan Ariana telah ditempatkan di ruang pemulihan, tim medis bekerja memastikan bahwa efek anestesi berangsur hilang dan tanda vitalnya kembali stabil. Ruang pemulihan cukup tenang, hanya suara mesin yang memantau setiap detak jantung, aliran oksigen, dan tekanan darah Ariana. Dokter Lina berdiri di dekat kepala ranjang, menatap monitor dengan serius sambil berbicara pelan pada perawat yang mencatat perkembangan kondisi pasien.Ariana masih belum sadar sepenuhnya. Efek anestesi yang diberikan selama operasi perlahan memudar, namun tubuhnya masih dalam kondisi pemulihan yang intensif. Matanya sedikit bergerak di balik kelopak mata, tanda-tanda bahwa dia perlahan mulai sadar.Dokter Lina melirik jam di dinding. Sudah lebih dari satu jam sejak operasi selesai. Beberapa menit kemudian, Ariana mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang lebih jelas. Matanya sedikit berkedut, dan napasnya yang semula pelan menjadi lebih dalam. Dokter Lina mendekat, memperhatikan pe
Ariana terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat. Begitu matanya terbuka, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah wajah Nicholas. Pria itu tersenyum. “Kau sudah bangun?” bisiknya, lembut namun jelas. Ariana menarik napas pelan, seakan tubuhnya mencoba menyesuaikan diri dengan rasa nyeri yang samar di perutnya. Ada tekanan aneh yang datang dari bekas sayatan operasi, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh, tapi rasa nyeri itu teredam oleh obat-obatan yang mengalir melalui infus. Nicholas menyentuh tangannya dengan lembut, jari-jarinya menyusuri punggung tangannya yang diselimuti selang infus. “Bagaimana perasaanmu? Apakah kau haus? Bantalmu nyaman?” Nicholas melirik ke arah bantal yang menopang kepalanya. Ariana tersenyum tipis, meski tubuhnya terasa berat dan perutnya sakit. "Bantalnya baik-baik saja," jawabnya lemah. Meski itu adalah kamar VVIP, tempat tidur yang lembut, bantal yang tebal, dan selimut hangat tidak banyak membantu melawan rasa nyeri di perutnya. “Yang
Ariana Claire tak bisa mempercayai matanya saat melihat Nicholas, suaminya yang tampan, tengah memeluk Katrina, wanita yang dikenal Ariana sebagai mantan kekasih suaminya. Nicholas, dengan kemeja biru yang digulung lengannya, terlihat begitu perhatian dan lembut kepada Katrina. Pemandangan itu menghancurkan hatinya. Ariana yang berada di rumah sakit untuk memeriksakan sakit maag yang kambuh, merasa hancur melihat suaminya tersenyum bahagia—sesuatu yang tidak pernah diberikan padanya selama dua tahun pernikahan mereka. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Tanpa menunggu obatnya, Ariana memutuskan untuk segera pergi. Pulang ke rumah, Ariana mencoba tetap tenang. Hingga malam, dia duduk di ruang makan menunggu Nicholas seperti biasa. Ketika Nicholas akhirnya pulang, dia hanya melirik Ariana dan makanan yang telah disajikan. "Nick, kau tidak makan malam?" tanya Ariana dengan suara gemetar, berusaha menahan emosinya. "Aku sudah makan," jawab Nicholas singkat, tanpa menatapnya, sebe
Ariana duduk diam di ruang makan, matanya menatap kosong ke arah teh di depannya. Teh yang diberikan oleh Rachel. Namun, tidak ada yang bisa membuatnya merasa lebih baik saat ini. Sejak menyaksikan senyum Nicholas—senyum yang begitu bahagia—saat bersama Katrina di rumah sakit, sesuatu dalam dirinya hancur berkeping-keping. Dia berhenti menyiapkan makan malam untuk Nicholas, berhenti berusaha menjadi istri yang mengabdikan dirinya. Selama ini, dia hanya mencoba menutup mata terhadap kebenaran yang pahit. Nicholas tidak pernah mencintainya. Suara langkah kaki mengganggu keheningan malam itu. Ariana yakin itu adalah Nicholas yang baru saja pulang, tangannya refleks mencengkeram kotak teh di depannya. Lampu dapur menyala tiba-tiba. Benar saja, Nicholas berdiri di ambang pintu, keningnya sedikit berkerut melihat Ariana duduk di sana, di kursi meja makan. “Apa yang kau lakukan di dalam kegelapan?” tanya Nicholas dengan nada suaranya sedikit heran. Ariana tetap diam, tak menole
Sejak malam Nicholas melakukan kekerasan kepadanya, Ariana memutuskan untuk pergi pagi-pagi buta agar tidak bertemu suaminya. Dia bangun lebih awal dan mengurung diri di kamar, sebelum Nicholas pulang, berharap bisa menghindarinya. Sudah tiga hari Ariana tidak bertemu dengan Nicholas. Bayangan kejadian malam itu terus menghantuinya hingga membuat penyakit asam lambungnya kambuh. Dia memutuskan untuk menemui dokter di rumah sakit. Setelah bertemu dokter, Ariana berjalan menuju loket farmasi di lantai satu untuk mengambil obat. Rasa cemas membebani pikirannya, membuatnya penasaran apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai atau belum. Di tengah perjalanan, dia menghubungi August, pengacara Nicholas, untuk mencari jawabannya. "Pak August, ini Ariana. Apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai?" tanya Ariana dengan hati-hati setelah August menjawab panggilan teleponnya Di ujung telepon, August menjawab dengan tenang, "Aku tidak menerima instruksi apapun mengenai perceraian."
Ariana terbaring di kamar rumah sakit dengan pandangan kosong. Ketika pertama kali mengeluhkan asam lambung, dia tidak pernah menyangka bahwa akhirnya akan dirawat inap. Keadaannya semakin buruk setelah insiden kecelakaan yang membuat kakinya terkilir parah. Seorang perawat datang memeriksa pergelangan kakinya yang terbalut perban sebelum pergi. "Aku menyuruhmu untuk tidur di kamar suamimu! Mengapa kau malah tidur di rumah sakit?" tiba-tiba suara nyaring Rachel, ibu mertuanya, menggema di ruangan itu. Ariana yang hampir terpejam terpaksa membuka matanya. "Maafkan aku, Bu," jawab Ariana dengan suara lemah. Dia tahu bahwa Rachel tidak pernah puas dengan apapun yang dia lakukan atau katakan. Rachel mendengus kesal, lalu berbalik dan keluar dari kamar. Ariana hanya bisa menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh. Sementara di karidor rumah sakit, langkah kaki Rachel berhenti di depan kamar rawat inap VVIP. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum masuk. Walaupun menantunya memb
Ariana duduk di sebuah kafe ditemani dua rekan dosennya, Diana dan Sarah. Mereka sedang berdiskusi serius tentang proposal pengabdian masyarakat yang mereka rencanakan. Sementara Diana, dosen ekonomi, dan Sarah, dosen hukum, berfokus pada rincian proyek mereka, Ariana tampak jauh dalam pikirannya. Kakinya sudah sembuh dari kecelakaan sebulan lalu, tetapi luka emosional akibat perselingkuhan suaminya, Nicholas, masih membekas. “Aku pikir kita bisa memfokuskan pengabdian ini pada pemberdayaan ekonomi perempuan di desa terpencil,” kata Diana, membuka laptopnya yang menampilkan dokumen proposal. Ariana hanya mengangguk, tetapi pikirannya melayang jauh. Perasaan kecewa dan pengkhianatan masih menyelimuti hatinya. Suara Diana terdengar jauh dan teredam. Sarah, dengan pengetahuan hukumnya, tiba-tiba mengangkat topik yang menarik perhatian Ariana. “Aku membaca beberapa kasus tentang wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tetapi tidak bisa bercerai karena kontrak pranikah yang
Dengan napas yang berat, Nicholas mencoba menenangkan diri. Dia berdiri dan membuka jendela ruang kerjanya lebar-lebar. Angin malam sejuk yang masuk, mengurangi rasa panas yang membara dalam tubuhnya. Setelah beberapa menit menikmati angin malam, Nicholas ke minibar ruang kerjanya. Dia mengambil botol air dan meminumnya dengan tegukan besar, berharap cairan dingin bisa menenangkan gejolak dalam dirinya. Karena rasa resah belum juga hilang sepenuhnya, Nicholas menjatuhkan diri ke lantai dan mulai melakukan push-up. Satu, dua, tiga... hingga dua puluh kali, dia terus mendorong tubuhnya. Setelah selesai, dia berguling ke samping dan melakukan sit-up, merasakan otot perutnya tegang. Aktivitas yang menguras energi itu sedikit membantu menenangkan tubuhnya. Merasa lelah berolah raga, Nicholas berusaha untuk menyanyikan lagu kebangsaan untuk mengalihkan pikiran kotornya. Setelah beberapa waktu, efek obat mulai mereda. Nicholas merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Dia