Share

116. Anxious Notes

Penulis: SayaNi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Meski Ariana tahu pentingnya makan dengan benar agar ASI yang diproduksinya baik untuk bayi-bayinya, rasa cemasnya sulit diredam. Setiap kali memompa ASI, dia merasa terbebani oleh pertanyaan yang tak terjawab, ‘Apakah ini cukup untuk mereka?’ Rasa khawatir terus menggerogotinya, seolah tak peduli apa yang dia lakukan, itu tidak akan cukup baik.

Nicholas memperhatikan Ariana yang duduk di meja makan, menyendok makanan perlahan. Matanya kosong, tatapannya tidak fokus pada apa yang ada di depannya. “Kau harus makan lebih banyak, Claire,” ucap Nicholas lembut.

“Aku tahu,” jawab Ariana datar, meskipun perutnya terasa berat dan pikirannya masih terpaku pada monitor di NICU.

Setiap hari, Ariana memompa ASI, menaruhnya di lemari pendingin, membawanya ke rumah sakit. Proses itu terasa seperti sebuah ritual yang hampa.

“Aku merasa sia-sia, Nick,” gumamnya ketika Nicholas membawakan air hangat dan duduk di sebelahnya. “Mereka minum ASI-ku, tapi aku tidak ada di sana untuk menyusui mereka sendi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   117. Got You

    Begitu mereka tiba di rumah setelah seharian menyaksikan bayi-bayi mereka di NICU rumah sakit, Ariana langsung menuju kamar mandi.Nicholas yang baru saja membuka pintu kamar mereka, melihat Ariana berjalan cepat melewatinya. Alisnya mengerut, merasa ada yang aneh. "Claire," panggilnya.Ariana berhenti sejenak, menoleh setengah badan. "Apa?" balasnya dengan nada datar.Nicholas melipat tangannya. "Kau mau melakukan apa?""Mandi, tentu saja," jawabnya ketus. "Sebelum kau mendatangkan orang asing untuk memandikanku," tambahnya dengan sindiran.Nicholas tersenyum tipis, melihat kekesalan Ariana. "Apa kau butuh bantuan?""Tidak!" Ariana langsung menjawab tanpa ragu dan melanjutkan langkahnya masuk ke kamar mandi.Tak lama kemudian, Ariana keluar dari closet room dengan rambut basah, mengenakan piyama longgar yang nyaman. Namun, alih-alih lega, dia mengerutkan dahi saat melihat suasana kamar mereka yang lumayan gelap."Nick, apakah ada penurunan daya listrik?" tanyanya dengan nada curiga,

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   118. Tangisan Boo

    Setelah hampir sebelas minggu penuh kecemasan dan kunjungan tanpa henti ke NICU, akhirnya hari yang dinanti tiba. Ariana dan Nicholas dapat membawa pulang kedua bayi kembar mereka. Rumah yang sebelumnya terasa sepi kini dipenuhi dengan tangisan kecil dan gerakan tak terduga dari dua malaikat mungil mereka. Nicholas, yang terbiasa mengelola perusahaannya dengan efisiensi tinggi, kini menerapkan hal yang sama di rumahnya. Dua perawat khusus dipekerjakan untuk menjaga Boo dan Bee, dan seorang ahli pijat pribadi jika Ariana merasa lelah. Malam harinya, setelah Ariana selesai menyusui Bee, Nicholas datang dengan secangkir teh di tangan kanannya. Dia menyodorkan teh itu kepada Ariana sambil duduk di sebelahnya. “Kau tahu, kalau Boo dan Bee terus menangis seperti ini setiap malam, kita mungkin perlu merekrut tim manajemen krisis untuk menangani mereka,” kata Nicholas setengah bercanda sambil menatap Boo yang baru saja mulai terisak lagi. Perawat yang menjaga Boo langsung menggendongn

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   119. Tahu sama Tahu

    Keesokan sorenya, Ariana duduk di samping perawat yang sedang mengeringkan tubuh kecil Boo, sementara dirinya tengah memandikan Bee. Dia ingin tetap mengurus sendiri kedua bayinya meskipun ada perawat. "Lihat, dia menyukainya," gumam Ariana sambil mencipratkan air hangat ke perut Bee yang tersenyum lebar Di tengah momen manis itu, Bibi Helen tiba-tiba masuk bersama Rachel. “Nyonya, nyonya Rachel datang,” kata Bibi Helen dengan nada yang hangat. Ariana menoleh dan melihat Rachel berdiri di ambang pintu. Wajah Rachel terlihat cerah. Dia segera melangkah masuk dengan langkah ringan, menyambut kehadiran cucu-cucunya yang telah lama dinantikannya. “Oh, apakah itu kedua cucu ibu?” tanya Rachel, senyumnya mengembang. "Ibu langsung ke sini begitu Nicholas memberitahu Ibu." Ariana tersenyum sopan dan mengangguk. "Kami baru saja selesai memandikan mereka,” Rachel mengangguk dengan antusias. Perawat mengangkat Bee dari bak mandinya, membungkusnya dengan handuk lembut. Kedua bayi yang baru

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   120. Dangerous Secrets

    Ciuman mereka semakin dalam, seolah tak ingin berpisah. Nicholas menarik Ariana lebih dekat, tubuhnya menekan ringan ke arah Ariana, dan perlahan menuntunnya ke kamar tidur tanpa melepaskan tautan merekaSaat tumit Ariana menyentuh tepi tempat tidur, tubuhnya rebah pelan di atas seprai yang lembut. Nicholas mengikuti gerakannya, menjatuhkan dirinya di atas Ariana, lengannya yang kokoh menopang badannya agar tidak menekan Ariana. Dengan lembut, dia mengecup sudut bibir Ariana, turun perlahan ke sepanjang rahangnya, sampai tiba di lekukan leher Ariana yang selalu membuatnya berdebar. Dia menghirup aroma kulit Ariana, sebelum menyapukan bibirnya yang panas di sana. Ariana mendesah, tangan kecilnya meraih punggung Nicholas, merasakan otot kokoh pria itu."Nick?" Suara Ariana hampir berbisik sembari menahan tangan Nicholas agar jangan menggodanya lebih banyak lagi.Nicholas menghentikan perbuatannya, menarik diri sedikit untuk menatap wajah Ariana. Dia bisa merasakan denyut halus di leher

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   121. Kerutan Nicholas

    hampir empat bulan telah berlalu sejak Bee dan Boo lahir. Kini keduanya sudah cukup kuat untuk terkena sinar matahari, Ariana merasa begitu bahagia melihat mereka tumbuh dengan sehat. Pagi itu, matahari menyinari daun-daun hijau yang bergerak pelan tertiup angin di halaman depan rumah mereka. Di sudut halaman, Ariana duduk di bangku gazebo dengan kedua bayi kembarnya yang berada di dalam stroller. Boo, sudah mulai tertarik menggerakkan tangan kecilnya, mencoba meraih mainan gantung berwarna cerah. Sementara Bee sesekali tersenyum ceria memperhatikan Boo di sebelahnya dengan suara lembut, menggemaskan.Di tengah keasyikan bermain dengan kedua bayinya, suara deru mobil yang memasuki pekarangan rumah mereka, membuat Ariana menoleh. August turun dari dalam mobil biru metalik yang baru saja terpakir mulus itu. Dia berjalan mendekat ke arah Ariana. Wajahnya tenang, membawa setumpuk dokumen di bawah lengannya. "Pak August, selamat pagi," sapa Ariana ramah. Tangannya tetap memegang mainan ga

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   122. Cracking the Code

    Malam harinya, aroma sup kepiting memenuhi dapur. Ariana memasak makan malam untuk Nicholas. Di sebelah panci sup kepiting, ada tumis brokoli dan jamur shiitake. Sesekali, dia melirik ke arah Boo dan Bee, yang terbaring nyaman di bouncer mereka di sudut ruang makan. Suara gumaman kecil dan tawa lembut bayi-bayi itu sesekali terdengar, membuat Ariana tersenyum tanpa sadar. Boo, yang tampak lebih aktif, menggerak-gerakkan tangan mungilnya, mencoba meraih boneka kecil yang menggantung di atas bouncernya. Sementara Bee, yang lebih tenang, hanya menatap kakaknya dengan rasa ingin tahu di matanya yang bulat dan menggemaskan. Dua pengasuh berjaga tak jauh dari mereka, memastikan Boo dan Bee tetap aman. Namun, di balik senyum manis Ariana saat menyaksikan kelucuan kedua bayinya, pikirannya tak bisa lepas dari satu hal, brankas Nicholas. Matanya menyipit, menatap panci di depannya, sementara bayang-bayang pikiran mulai menjalar. "Bagaimana aku bisa membukanya?" Dia mulai membayangkan

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   123. Kita Bikin Romantis

    BAB 123Beberapa hari telah berlalu sejak Ariana mulai membuka satu persatu rekaman CCTV yang memantau ruang kerja Nicholas di tablet. Akhirnya Ariana menemukan sesuatu. Itu adalah rekaman ketika August datang membawa berkas kecelakaan yang menimpa tuan Dell dan istrinya. Ariana berhenti bernapas sejenak, jantungnya berdegup kencang. "Pembunuhan berencana?" gumamnya pelan, terkejut. Dia tidak pernah menduga bahwa kakek Henry tidak hanya mafia korporat, tetapi juga terlibat dalam pembunuhan.Rekaman CCTV itu terus memperlihatkan bagaimana Nicholas membuka brankas di ruang kerjanya dan menyimpan berkas tersebut di dalamnya. Dengan tekad bulat, Ariana langsung berjalan cepat ke ruang kerja Nicholas. Ruangan itu sunyi, karena yang punya ruangan sedang ada pertemuan penting di kantornya.Brankas tersebut tampak dingin dan kokoh di sudut ruangan. Ariana menatapnya dengan intens, lalu mendekat, mencoba sekali lagi memasukkan kode yang selama ini telah dia coba tebak. Setiap digit ditekan

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   124. Ancaman Lebih Efektif daripada Rayuan

    Ariana kembali berdiri mematung di depan brankas milik Nicholas, saat pria itu pergi. Di tengah ruang kerja Nicholas itu, terdengar suara tawa kecil dari Bee dan Boo yang bermain di bouncer mereka. “Asal buat, dan mengingatnya, ya?” gumam Ariana, mengulang apa yang pernah Nicholas katakan tentang kata sandi. Meskipun asal buat, dia yakin Nicholas tidak akan membuatnya sesederhana itu. Ariana menghela napas panjang dan mengambil selembar kertas dan pensil. Jemarinya mulai bergerak, mencoba merumuskan kata yang mungkin digunakan oleh Nicholas. Dia berusaha menebak apa yang ada di pikiran Nicholas saat mereka pertama kali tinggal bersama di rumah baru itu setelah menikah. "Enam digit angka," pikirnya, otaknya berputar. Setelah beberapa menit merumuskan sebuah kalimat menjadi enam angka. Dengan rasa tak sabar, Ariana bergegas ke depan brankas. Jantungnya berdetak cepat, dan jemarinya sedikit gemetar saat dia menekan tombol kombinasi angka yang didapatkannya. Klak! Suara kunci br

Bab terbaru

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   135. An Open Chapter

    “Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   134. Past Choices

    Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   133. The Final breath

    Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   132. Henry's Last Stand

    Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   131.

    Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   130.

    Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   129.

    Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   128.

    Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat

  • Suamiku, Mari Kita Bercerai   127.

    “Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena

DMCA.com Protection Status