Setelah mereka tiba di rumah, Ariana berjalan dengan hati-hati. Namun, begitu melewati ruang tamu, Ariana berhenti, matanya terpaku pada ruang kerja Nicholas yang berada di sebelah kamar mereka, yang hampir rampung direnovasi oleh beberapa pekerjaa ahli. Dinding kaca yang besar memisahkan ruang kerja itu dengan ruang tengah dan kamar tidur mereka, seakan menegaskan bahwa privasi hanyalah ilusi.“Nick… ada renovasi kilat?” tanya Ariana dengan nada heran, matanya menyipit seolah ingin menembus pikiran suaminya.Nicholas, yang sedang menuntun Ariana ke kamar, menoleh sambil tersenyum santai. “Ruang kerja baru. Sekarang aku bisa bekerja dari rumah, dan tetap bisa memantau ‘proyek terpentingku’,” katanya sambil melirik ke arah Ariana.Ariana tertegun, lalu tertawa pelan. "Proyek terpenting? Apa itu maksudnya aku? Kau jadi bos besar yang mengawasi istri hamilnya?"Nicholas terkekeh sambil meraih pundak Ariana dengan lembut. "Ya, hampir seperti itu."Ariana memperhatikan pekerja yang sibuk m
Ariana yang pura-pura tidur, akhirnya benar-benar tertidur pulas di ranjang besar. Ketika akhirnya terbangun, matanya membuka perlahan, cahaya matahari pagi mengintip dari celah-celah tirai tebal. Dia mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan pandangannya dengan ruangan di sekitarnya. Saat Ariana melihat ke arah dinding kaca yang membatasi kamar dengan ruang kerja Nicholas, dia terpaku. Nicholas duduk di meja kerjanya, memeriksa tumpukan berkas dengan raut wajah serius. Sesekali, dia mengetuk keyboard laptopnya dengan ketukan yang terdengar mantap. Alisnya sedikit berkerut, menunjukkan intensitas dari pemikirannya.“Apakah dia tidak mengenal tidur?” gumam Ariana dalam hati, setengah heran dan setengah kagum. Betapa dia mencintai sisi ini dari suaminya—dedikasi dan ketelitian Nicholas yang tanpa cela.Ketukan pelan di pintu kamarnya membuyarkan lamunannya. Tok. Tok."Pagi, Nyonya," suara lembut Bibi Helen menyapa. Wanita paruh baya itu membawa nampan berisi sarapan lengkap."Pagi?
Setelah kepergian August, Nicholas berdiri dari kursinya. Langkahnya mantap saat dia berjalan ke arah pintu yang menghubungkan ruang kerjanya dan kamar tidurnya. Tepat saat dia berdiri di depan dinding kaca, dengan satu sentuhan, kaca buram itu berubah menjadi bening. Di seberang sana, Ariana yang mengenakan gaun rumah yang sederhana namun anggun sudah berdiri menghadapnya. Senyum tipis terukir di wajahnya ketika matanya bertemu dengan tatapan Nicholas. Ada sesuatu yang mendalam dan tak terucapkan di antara mereka—seperti bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti. Nicholas balas tersenyum, membuka pintu, dan langkahnya langsung menuju Ariana. "Apakah kau sudah menghabiskan sarapanmu?" tanyanya lembut, suaranya nyaris seperti bisikan, penuh perhatian. Ariana mengangguk, melirik ke arah ruang kerja Nicholas yang kini terlihat lebih tenang setelah sesi panjang tadi. “Bagaimana denganmu?” tanyanya balik, bernada sedikit khawatir. Nicholas tidak langsung menjawab, matanya menelusur
Seminggu kemudian, Nicholas tidak berada di rumah karena ada urusan pekerjaan penting yang harus ditinjau langsung di kantor. Meski biasanya dia bekerja dari rumah untuk memastikan Ariana beristirahat dengan baik. Kali ini Nicholas harus turun tangan sendiri menangani beberapa masalah perusahaan yang mendesak.Ariana memanfaatkan momen itu untuk bermain dengan ponselnya sepuas hati. Dia duduk berselonjor di atas kursi santai yang empuk di taman belakang rumahnya. Tubuhnya bersandar nyaman, punggungnya disokong bantal lembut, dan kakinya yang sedikit bengkak terangkat di atas sandaran kaki. Sinar matahari yang hangat menembus dedaunan, menyelimuti kulitnya dengan kehangatan lembut. Ponselnya menampilkan berita tentang kasus kakek Henry. Mata Ariana terpaku pada layar, mengikuti dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulut pembawa berita. Berita itu menyebutkan bahwa setelah penyelidikan panjang dan berbagai bukti baru yang diajukan, Henry dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan-tu
Nicholas menurunkan kedua tangan Ariana yang menangkup wajahnya, menggenggam erat jemari halus istrinya. Ada kehangatan yang tercurah dari genggamannya. “Aku tidak ingin membayarnya, karena bukan aku yang berhutang,” ucapnya perlahan.Ariana mengerutkan kening, bingung. “Apakah seseorang menipumu?” tanyanya sambil mencoba memahami maksud Nicholas. Nicholas menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. “Ya, bisa dibilang begitu,” ucapnya pelan, suaranya penuh kehati-hatian. Ariana, tanpa ragu, melepaskan diri dari genggaman Nicholas dan menatapnya dengan keyakinan. “Kalau begitu, kau tidak perlu membayarnya,” katanya tegas, seolah menemukan solusi sederhana dari masalah yang tampak rumit di mata Nicholas.Nicholas tersenyum kecil, ada kegetiran dalam senyum itu. "Menurutmu juga begitu, kan?” tanyanya, seperti memancing jawaban yang sudah dia duga.“Iya,” jawab Ariana mantap. Matanya bersinar dengan semangat. “Seret saja orang yang menipumu itu ke jalur hukum
Begitu keluar dari kamar mandi, langkah Nicholas langsung terhenti saat melihat Ariana tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Otaknya seolah membeku sepersekian detik.Dia bergegas mendekat dan berlutut di samping tubuh istrinya. Jantungnya berdebar keras, napasnya tertahan saat dia mengguncang-guncangkan bahu Ariana, berharap dia membuka mata. “Claire, dengarkan aku! Apa yang terjadi?”Tidak ada jawaban. Tidak ada respons. Tanpa pikir panjang, dia menyelipkan satu tangan di punggung atas Ariana dan tangan lainnya di bawah lututnya. Dengan satu gerakan, dia mengangkat tubuh istrinya, menggendongnya dengan hati-hati. “Bibi Helen!” teriak Nicholas saat melangkah keluar dari kamarnya, suaranya memecah kesunyian rumah. “Bibi Helen, minta Jhon siapkan mobil!”Bibi Helen, yang baru saja keluar dari dapur, terkejut mendengar panggilan mendadak dari tuannya. Dia melihat Nicholas membawa Ariana yang tak sadarkan diri, dan wajah Nicholas yang biasanya tenang kini tampak tegang. “Ya Tuhan, Nyo
Setelah operasi berakhir dan Ariana telah ditempatkan di ruang pemulihan, tim medis bekerja memastikan bahwa efek anestesi berangsur hilang dan tanda vitalnya kembali stabil. Ruang pemulihan cukup tenang, hanya suara mesin yang memantau setiap detak jantung, aliran oksigen, dan tekanan darah Ariana. Dokter Lina berdiri di dekat kepala ranjang, menatap monitor dengan serius sambil berbicara pelan pada perawat yang mencatat perkembangan kondisi pasien.Ariana masih belum sadar sepenuhnya. Efek anestesi yang diberikan selama operasi perlahan memudar, namun tubuhnya masih dalam kondisi pemulihan yang intensif. Matanya sedikit bergerak di balik kelopak mata, tanda-tanda bahwa dia perlahan mulai sadar.Dokter Lina melirik jam di dinding. Sudah lebih dari satu jam sejak operasi selesai. Beberapa menit kemudian, Ariana mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang lebih jelas. Matanya sedikit berkedut, dan napasnya yang semula pelan menjadi lebih dalam. Dokter Lina mendekat, memperhatikan pe
Ariana terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat. Begitu matanya terbuka, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah wajah Nicholas. Pria itu tersenyum. “Kau sudah bangun?” bisiknya, lembut namun jelas. Ariana menarik napas pelan, seakan tubuhnya mencoba menyesuaikan diri dengan rasa nyeri yang samar di perutnya. Ada tekanan aneh yang datang dari bekas sayatan operasi, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh, tapi rasa nyeri itu teredam oleh obat-obatan yang mengalir melalui infus. Nicholas menyentuh tangannya dengan lembut, jari-jarinya menyusuri punggung tangannya yang diselimuti selang infus. “Bagaimana perasaanmu? Apakah kau haus? Bantalmu nyaman?” Nicholas melirik ke arah bantal yang menopang kepalanya. Ariana tersenyum tipis, meski tubuhnya terasa berat dan perutnya sakit. "Bantalnya baik-baik saja," jawabnya lemah. Meski itu adalah kamar VVIP, tempat tidur yang lembut, bantal yang tebal, dan selimut hangat tidak banyak membantu melawan rasa nyeri di perutnya. “Yang