Keesokan harinya, Elizabeth mendatangi tempat kerjanya dan ingin bertemu dengan atasannya, setelah ia beberapa hari lamanya tidak aktif bekerja.Elizabeth sudah berada di dalam sebuah ruangan, ia duduk di sebuah sofa tunggal dan menanti-nanti kedatangan Sonya. Sampai akhirnya pintu kayu berwarna cokelat pun terbuka, di sana muncul seorang wanita cantik dengan balutan blazer merah maron, yang langsung melebarkan matanya saat melihat kedatangan Elizabeth. "Oh Elizabeth," sapa Sonya dengan senyuman yang manis. "Selamat siang, Nona Sonya," sapa Elizabeth sedikit menundukkan kepalanya. "Selamat siang juga Elizabeth... Akhir-akhir ini kau jarang sekali terlihat, ya... Padahal aku sangat menunggumu kembali bekerja," ujar Sonya menatap Elizabeth dengan wajah sedih. Elizabeth membalasnya dengan senyuman tipis, ia menjadi tidak enak hati dengan kebaikan Sonya yang selalu mengerti situasi yang Elizabeth rasakan. "Silakan duduk kembali," ujar wanita cantik itu pada Elizabeth. Mereka pun du
Beberapa Minggu Kemudian...Sejak pagi tadi, Elizabeth merasakan tubuhnya tidak nyaman, berkali-kali ia berjalan ke kamar mandi karena perutnya yang terus bergejolak. Elizabeth kini berdiri di dalam kamar mandi dengan tubuh lemasnya. Gadis itu meletakkan telapak tangannya di kening. "Apa yang terjadi, kenapa beberapa hari ini aku tubuhku semakin tidak nyaman?" gumam Elizabeth bingung. Perlahan ia kembali keluar dari dalam kamar. Elizabeth meraih botol obatnya yang berada di dalam laci. "Obatnya masih sama seperti yang Daniel resepkan dulu-dulu, tapi kenapa sekarang membuatku mual dan pusing?" gumam Elizabeth menyeka keringat dingin di wajahnya. Elizabeth menyimpan lagi obatnya dan berjalan ke arah ranjang. Tubuh yang lemas membuat Elizabeth memilih beristirahat sejenak. Pikiran dan hatinya terus diliputi rasa takut. "Mungkin ini karena efek dari obat dari dokter yang selama ini aku minum," gumam Elizabeth memejamkan kedua matanya. Saat Elizabeth memejamkan kedua matanya, tiba-t
Tengah malam Elizabeth pergi ke sebuah hotel. Dan hanya beberapa menit saja perjalanan dari rumah menuju ke tempat itu. Sesampainya di sana, Elizabeth tidak sabar untuk memastikan apakah suaminya benar-benar ada di sana. Rasa penasaran di dalam hatinya tidak padam begitu saja. "Di lantai lima, kamar sembilan enam," gumam Elizabeth menatap layar ponselnya yang telah retak. Ia membaca pesan yang seseorang kirimkan itu padanya. Elizabeth berjalan cepat sembari menahan rasa pusing yang mencekam di kepalanya. Hatinya bahkan masih setia tak percaya seolah-olah Evan tidak mungkin berada di tempat ini. Sampai akhirnya Elizabeth tiba di depan pintu nomor sembilan puluh enam. Jemari tangan Elizabeth terasa kebas dan gemetar saat ia mengulurkan tangannya menyentuh gagang pintu. Dengan sekuat hati, Elizabeth membuka pintu tersebut. Pelan, tanpa suara ia mendorongnya perlahan-lahan. "Ti-tidak mungkin..." Kata itu yang begitu lembut keluar dari bibir Elizabeth. Air mata Elizabeth menetes de
Evan terburu-buru pergi ke rumah sakit dengan wajah dan pikirannya yang kalut dan kacau. Ia tidak percaya dengan kabar yang dia dengar sendiri. Saat tiba di rumah sakit, ia menemukan beberapa polisi yang tadi menghubunginya nampak menunggunya di depan sebuah ruangan, yang sangat ramai oleh lalu lalang dokter dan perawat yang berlari terburu-buru. "Tuan Evander?" sapa seorang polisi tersebut begitu Evan mendekat. "Ya, di mana istriku sekarang? Di mana Elizabeth?" seru Evan panik melihat ruangan yang riuh."Nyonya Elizabeth masih berada di dalam, Tuan." Evan mengusap wajahnya yang memerah tergambar kekalutan yang luar biasa. Dalam hatinya, Evan terus berdoa tanpa henti semoga tidak terjadi hal yang buruk pada istrinya. Namun, saat Evan berdiri menanti-nanti, seorang suster keluar dari dalam ruangan itu membawa sebuah kain yang terbakar. "Tunggu...!" Evan menghentikan langkah suster itu. Ia menatap sisa kain mantel yang terbakar, mantel hangat yang baru satu minggu lalu Evan beli
Setelah pemakaman selesai, Evan masih berada di sana. Dia masih setia duduk di samping tanah peristirahatan terakhir istrinya. Langit yang mendung gelap dan hujan yang lebat seolah bersatu menangis atas kepergian Elizabeth. "Evan, ayo pulang nak, hujan semakin deras." Melody menyentuh dan menarik pundak Evan dengan pelan. "Kalian pulanglah dulu," jawab Evan tertunduk. "Aku masih ingin menemani Elizabeth untuk terakhir kali." Arshen menoleh pada istrinya, mereka berjalan pergi dan menunggu Evan dari kejauhan. Air hujan yang lebat, serta suara guntur di langit seperti cambuk putih membelah langit yang gelap diiringi suara keras mengerikan. Evan tahu, Elizabeth sangat takut dengan suara petir. Ia menundukkan kepalanya, tak bisa dibedakan mana air hujan dan mana air matanya yang mengalir. Hanya suara tangisannya yang terdengar. Tangis penuh dengan seribu penyesalan. 'Selama ini aku telah memperlakukanmu dengan buruk. Tapi kenapa? Kenapa harus secepat ini kau meninggalkanku, Elizab
Keesokan harinya, Evan masih berdiam diri di rumah bersama Exel setelah kesedihan yang dia rasakan tidak kunjung bisa mereda. Dan sekarang Exel sampai demam karena semalaman merengek menangis mencari Elizabeth."Papa," rengek Exel merengkuh leher Evan. "Jangan pergi ke mana-mana.""Papa ada di sini, Papa tidak akan pergi ke mana-mana. Tidurlah, Sayang..." Evan menepuk-nepuk lembut punggung kecil Exel. Anak itu kembali memejamkan kedua matanya. Dan Evan, dia mematung menatap pantulan dirinya di lemari kaca. Teringat biasanya sekalipun anaknya demam, Evan tidak akan memiliki waktu atau sempat menggendongnya sebentar saja. Karena Elizabeth pasti akan meluangkan semua waktunya seharian penuh untuk menemani dan menjaga Exel. Tapi kini semua itu, tidak ada lagi. "Permisi Tuan..." Pintu ruangan keluarga terketuk, nampak Jericho yang berdiri di sana. "Ada apa?" tanya Evan dengan wajah datarnya. "Di depan ada Nona Clarisa ingin bertemu dengan Tuan dan Tuan Kecil," jawab Jericho menjelas
Para ajudan Evan bergegas mengecek CCTV di setiap sudut rumah. Dan mereka juga bekerja secara cerdik untuk mencari tahu hingga detailnya.Setelah mereka berhasil mendapatkan semua bukti yang benar-benar akurat, kini mereka menunjukkannya pada Evan. "Nyonya pergi dengan taksi putih ini Tuan, dan Asgar melaporkan pada saya kalau taksi ini adalah taksi yang berhenti di depan hotel yang Tuan tempati malam itu," jelas Jericho menunjuk layar laptop di hadapannya. Evan mengetatkan rahangnya, ia langsung beranjak dari duduknya saat itu juga. "Bagaimana bisa malam itu aku berada di kamar hotel, dan Elizabeth... dari mana dia tahu?" gumam Evan mulai berpikir. Seketika Evan teringat tentang ponsel milik istrinya. Di sana Evan langsung meraih benda pipih berwarna hitam milik Elizabeth yang berada di meja kerjanya. Melihat layarnya yang sudah retak di berbagai sisi, Evan tak yakin ponsel itu masih bisa menyala. Tangannya tak sabaran saat menekan tombol. Ada jeda beberapa saat sampai ponsel
Hari telah berganti, pagi ini Evan meminta para pelayan di rumahnya untuk membersihkan dan merapikan barang-barang milik Elizabeth. Bahkan Evan pun kini masuk ke dalam sebuah ruangan kesukaan Elizabeth yang sebelumnya tidak pernah dia masuki sebelumnya. "Bersihkan ruangan ini, tapi jangan sampai ada satu barang pun yang kalian buang!" seru Evan menatap para pelayannya. "Baik Tuan." Para pelayan membersihkan ruangan itu, sedangkan Evan juga masih berada di sana. Ia mendekati sebuah meja kayu dan mengambil sebuah pigura foto, di mana di dalamnya terdapat gambar Elizabeth yang tersenyum manis sembari memeluk Exel. "Elizabeth..." Evan mengusap gambar itu dengan jemarinya. Dia menatapnya dengan dalam, menyadari kerinduan di hatinya kini mulai menyiksa dari detik demi detik. 'Sekarang aku hanya bisa memandang senyummu dari semua foto yang aku punya. Bagaimana caranya aku harus mengungkapkan kerinduanku padamu, Elizabeth...' Kedua mata Evan terpejam pelan, laki-laki itu meletakkan k