Waktu berjalan dengan cepat, hari ini Elizabeth pikir ia akan bertatap muka dengan Evan di pengadilan untuk segera menyelesaikan perceraian mereka. Namun sampai berjam-jam lamanya, Evan tidak kunjung datang hingga persidangan pun dibatalkan. Elizabeth merasa kecewa dan marah dipermainkan oleh laki-laki itu. "Dia benar-benar tidak datang!" geram Elizabeth memukulkan tangannya ke dinding dengan pelan. Padahal gadis itu sekuat tenaga melawan rasa sakit di tubuhnya untuk datang ke pengadilan dan segera menyelesaikan perceraiannya. "Evander Collin, teganya kau mempermainkanku... Aku tidak akan menyerah untuk terlepas darimu!" seru Elizabeth berkaca-kaca. Saat itu juga Elizabeth meninggalkan gedung pengadilan, gadis itu berjalan ke depan dan mencari taksi untuk mengantarkannya ke suatu tempat. Elizabeth telah muak dengan semua ini, dan terus disalahkan dari segala sisi oleh semua orang. Elizabeth ingin segalanya segera berakhir. Beberapa menit kemudian, Elizabeth tiba di depan kantor
Evan mengejar Elizabeth yang berlari keluar dari dalam ruangannya. Gadis itu melangkah terseok-seok dengan napas yang terputus-putus menuju lift. "Jangan mengikutiku!" pekik Elizabeth pada Evan yang kini melangkah ke arahnya. Jemari tangan Elizabeth yang gemetar menekan tombol lift dengan tak sabaran, berharap pintu itu segera tertutup. Namun, Elizabeth terlambat, Evan lebih dulu masuk ke dalam sana dan pintu lift barulah tertutup. Elizabeth menatap laki-laki itu dengan tatapan benci, sangat-sangat benci. "Elizabeth..." "Aku tidak mau mendengarkan apapun darimu! Harusnya kau tetap di sana dengan Clarisa dan biarkan aku pergi sekarang!" pekik Elizabeth memalingkan wajahnya dari Evan."Aku tidak tahu bila Clarisa akan datang," jawab Evan mendekati Elizabeth dan meraih lengan gadis itu. Namun, Elizabeth tetap menyentak tangan Evan. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum akhirnya pintu lift terbuka. Semua orang di lantai dasar kini menatap ke arah mereka berdua, Evan yan
Dua hari setelah kejadian di kantor Evan, Elizabeth jatuh sakit dan kondisinya menurun. Pukul sembilan pagi, Elizabeth memutuskan untuk pergi ke rumah sakit setelah ia menghubungi Daniel dan berkata ingin pergi sendiri.Ia merasa kondisinya lebih buruk dari hari-hari sebelumnya. Dadanya sering terasa nyeri dan berdebar kencang. Beberapa lebam muncul dan persendiannya terasa sakit. Gadis itu merapatkan jaket tebalnya, ia baru saja keluar dari jalan gang kecil rumahnya. Elizabeth menahan rasa pusing yang mencekam, bahkan saat berjalan menuju halte langkahnya seperti tidak sampai. 'Ya Tuhan, semoga aku bisa sampai ke rumah sakit. Jangan sampai aku pingsan di sini,' batin Elizabeth memohon dan berdoa. Saat gadis itu berjalan di tepian jalan, tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah melaju dengan kecepatan tinggi dari belakangnya. Elizabeth menoleh cepat ke belakang mendengar deru keras mobil itu, kedua matanya melebar saat mobil itu benar-benar lurus tepat ke arahnya dengan sangat cepa
Usai Daniel memeriksa dan menangani Elizabeth, barulah Evan kembali masuk ke dalam ruangan tadi. Di sana, Evan menatap Elizabeth yang terlihat begitu pucat dan lemah. "Tetaplah di sini. Kau perlu dirawat untuk beberapa hari supaya aku bisa terus memantau kondisimu," ujar Daniel menyentuh pundak Elizabeth. Gadis itu masih belum menjawab. Elizabeth gelisah dan bingung, ia tidak punya uang sama sekali untuk biaya perawatan di rumah sakit bila dirinya harus dirawat inap. "Tapi aku tidak papa Niel, aku kuat untuk pulang," ujar Elizabeth menatap Daniel. "Tidak bisa, Elizabeth. Kondisimu benar-benar menurun drastis," bisik Daniel dengan wajah serius. Evan, dia yang berada di antara Elizabeth dan Daniel, seolah paham apa yang tengah digelisahkan oleh Elizabeth. Evan pun melangkah mendekati Elizabeth dan berhadapan dengan Daniel. "Tolong rawat istriku di sini dengan baik, semua biaya perawatannya adalah tanggunganku," ujar Evan sembari menatap Daniel. Mendengar hal itu, sontak Elizabe
Hari telah berganti, pagi ini Clarisa datang ke kediaman Evan seperti kemarin-kemarin, sekedar untuk mencari perhatian pada Evan melalui Exel. Bahkan dia tetap tenang seperti tak terjadi sesuatu. Clarisa melangkah masuk ke dalam rumah, ia mendengar suara mungil Exel yang keras tengah bernyanyi-nyanyi di ruang keluarga. "Selamat pagi, Sayang," sapa Clarisa melihat putranya tengah duduk di sofa menonton kartun kesukaannya. Raut wajah Exel langsung berubah masam seketika. "Pa... Papa ayo cepat, Pa!" teriak anak itu. Clarisa mendekati Exel dan menekuk kedua lututnya di hadapan si kecil. "Exel mau ke mana, Sayang?" tanya Clarisa. "Mau ke tempat Mama, dong! Tante jahat mau ngapain lagi ke sini, coba?!" seru Exel dengan wajah tak suka. "Ke tempat Mama?" ulang Clarisa dengan dahi mengerut. Alih-alih menjawab, justru anak itu malah turun dari atas sofa dan berlari naik ke lantai dua berteriak memanggil sang Papa. Clarisa terdiam dengan hati bertanya-tanya. Rasa kesal dan marah langsun
Evan merasa lega dan tenang saat ia memperhatikan putranya yang asik bercanda tawa dengan Elizabeth, namun ketenangannya terusik saat tiba-tiba ponsel milik laki-laki itu berdering.Ia pun segera menjawab panggilan dari kantornya tersebut. "Halo... Apa? Seseorang yang penting sedang menungguku? Baiklah, aku akan segera ke sana sekarang juga." Evan menutup panggilan itu, ia pun beranjak dari duduknya sebelum beralih menatap Elizabeth dan Exel. "Exel, Papa akan ke kantor sekarang," ujar Evan mendekati putranya. "Papa pergi saja, Exel mau di sini sama Mama," jawab anak itu mendongak menatap sang Papa. Seketika iris mata hitam Evan beralih pada Elizabeth, laki-laki itu menatapnya dengan hangat. "Biarkan dia menemanimu," ujar Evan. "Mamamu... Tidak ke sini, kan?" tanya Elizabeth, nada suaranya terdengar takut. Evan menggeleng pelan, laki-laki itu mengulurkan tangannya dan mengusap kepala Elizabeth. Gestur kecil yang entah mengapa terasa begitu pas saat ia melakukannya."Aku akan ke
Beberapa hari dirawat di rumah sakit, tak sehari pun Evan absen menjaga dan mengunjungi Elizabeth di sela kesibukannya di kantor.Seperti di saat ini, laki-laki itu baru saja datang di malam hari. Evan mendekati Elizabeth dengan wajah lelahnya, ia baru saja kembali dari kantor dan langsung menuju rumah sakit untuk menjaga Elizabeth di sana. "Kau sudah makan, Elizabeth?" tanya laki-laki itu sembari melepaskan tuxedo hitamnya. Elizabeth terus memperhatikannya. Ada perasaan janggal karena tidak terbiasa dengan Evan yang terus berkeliaran di sekitarnya akhir-akhir ini.Gadis itu lantas mengangguk menjawab pertanyaan laki-laki itu. "Sudah." Kini Evan masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi menelisik wajah Elizabeth yang pucat, hingga laki-laki itu menyentuh kening Elizabeth dengan lembut. Tatapan mata yang Evan pancarkan, dan rasa cemasnya membuat Elizabeth merasa tidak nyaman. Dia tidak mengerti, kenapa sekarang sikap laki-laki ini jadi begitu perhatian. "Evan, kenapa kau tidak k
Kemunculan seseorang di belakangnya membuat Clarisa tersentak kaget. Wanita itu melebarkan kedua matanya melihat sosok laki-laki dengan sorot mata tajam menatap ke arahnya. Namun, Clarisa tersenyum remeh dengan adanya Daniel yang memergokinya, meskipun merasa terganggu karena ada yang mengetahui sikap aslinya sekarang. "Rupanya kau," ucap Clarisa menaikkan kedua alisnya. Daniel satu langkah mendekatinya. "Sudah aku duga, kalau kau tidak sebaik kelihatannya!" desis laki-laki dengan balutan jas putih itu. "Lalu apa urusannya denganmu, Dokter Daniel?" Clarisa tersenyum seringai.Daniel mengepalkan kedua tangannya, andai saja yang ia hadapi kini adalah seorang laki-laki, mungkin ia akan menerjangnya. Secara tidak langsung, wanita ini juga penyebab penderitaan dalam hidup Elizabeth. "Segala hal yang menyangkut tentang Elizabeth, adalah urusanku juga! Dan wanita sepertimu—""Dokter Daniel..." Clarisa melayangkan tatapan nyalang menyela ucapan Daniel. "Kau jangan munafik!" Daniel masi
Beberapa Bulan Kemudian...Hari-hari berlalu dengan sangat baik. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan sangat mengesankan tiap harinya.Tak lama lagi, Hauri dan Exel akan menjadi orang tua. Mereka sangat bahagia saat tahu kalau anak yang sedang Hauri kandung ternyata ada dua bayi. Meskipun telah dinyatakan sembuh sejak beberapa bulan lalu, tapi Exel menjadi suami siaga untuk Hauri yang sebentar lagi akan melahirkan, hingga tinggal menghitung hari demi hari. "Jangan jalan jauh-jauh, Sayang ... nanti kau bisa kelelahan! Ingat kata Dokter Lilian, kau harus banyak istirahat," ujar Exel pada istrinya. "Iya. Masa jalan dari ruang tamu ke dapur saja kau mengomeliku," protes wanita cantik yang kini berdiri di belakang Exel sembari memegang perut besarnya. Exel terkekeh. Laki-laki itu kini tengah membuatkan susu untuk Hauri, sementara semua urusan rumah yang lainnya, pembantu mereka yang menangani. "Sudah, ini susunya. Cepat diminum dan dihabiskan," bujuk Exel menyerahkan segera susu
Tak ada yang bisa membujuk Pauline sama sekali. Baik Exel maupun kedua orang tuanya, hingga mereka semua menyerah dan membiarkan Pauline melakukan apapun yang dia sukai. Exel juga berpesan pada Mama dan Papanya untuk tidak memarahi adiknya bila terjadi sesuatu. Karena malam ini, Exel kembali pulang ke rumahnya. "Kasihan sekali Pauline ... aku memintanya besok untuk datang ke rumah kita. Siapa tahu dia mau," ujar Hauri. Exel mengangguk. "Aku rasa juga begitu. Semoga saja dia mau," jawabnya. Sepanjang perjalanan, Hauri bercerita ini dan itu. Gadis itu juga tidak henti-hentinya mengatakan kalau ia sangat mencemaskan adik iparnya. Exel pun memahami perasaan itu. Namun ia menganggap kalau Pauline sudah besar, pasti dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Jadi, Exel lebih fokus pada Istrinya dan juga pada rumah tangga mereka berdua. "Sayang, kau ingin membeli sesuatu?" tawar Exel menoleh pada istrinya. "Tidak, aku tidak ingin membeli apapun," jawab gadis itu. "Mama tadi memb
Hauri masuk ke dalam kamar Pauline. Di sana, ia melihat Pauline yang tengah sibuk dengan kanvas dan cat airnya. Entah sejak kapan gadis itu senang mengurung diri dan menyendiri. Pauline duduk di balkon kamarnya, hingga ia tidak tahu bila Hauri masuk ke dalam kamarnya. "Wahh ... cantik sekali gambaranmu, Pauline," puji Hauri tiba-tiba. Suaranya membuat Pauline sontak menoleh ke belakang di mana Hauri berdiri. Pauline tersenyum manis. "Kakak, sejak kapan Kakak di sana?" tanyanya. Hauri tersenyum tipis. "Sejak tadi. Pauline saja yang tidak tahu," jawabnya. "Sini, Kak." Perlahan Hauri melangkah mendekatinya. Ia duduk di samping Pauline yang masih meneruskan lukisannya. "Sejak kapan suka melukis? Kakak tidak pernah melihatmu suka melukis biasanya," ujar Hauri bertanya. Pauline tersenyum. "Sudah lama, Kak. Tapi memang tidak Pauline kasih tunjuk pada siapapun. Semua kanvasnya juga Pauline sembunyikan di dalam ruangan ganti," jawab gadis itu. Hauri terkekeh. "Pauline ... Pauline, k
Kabar kehamilan Hauri sudah terdengar oleh semua keluarga, bahkan beberapa teman Exel juga mengucapkan selamat pada mereka. Termasuk sahabat dekatnya, Heiner yang malam ini datang berkunjung ke rumah mereka membawakan beberapa makanan dan buah-buahan. Sejak dulu hingga kini, memang Heiner yang jauh lebih dekat dan perhatian. "Sekarang tinggal kau saja yang belum menikah, Heiner. Mau sampai kapan kau terus menyendiri?" tanya Exel pada sahabatnya itu. Heiner terkekeh. "Entahlah, tapi aku benar-benar menikmati hidupku saat ini," jawabnya."Saat waktunya tiba, jodohmu pasti juga akan datang, Heiner," sahut Hauri mendekati dua laki-laki itu membawakan cemilan dan juga buah-buahan. "Benar, Hau. Aku malah berpikir kalau aku ingin mendekati Pauline ... supaya aku merasakan, sepertinya enak juga menjadi menantu Keluarga Collin," ujarnya dengan percaya diri, sebelum sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya. Exel menatap tajam dan kesal. "Kalau kau ingin mendekati adikku, kau harus melawa
Pagi ini Hauri pergi ke rumah sakit ditemani oleh Exel. Tetapi, ia tidak pergi menemui Dokter William lagi, melainkan Hauri akan pergi ke dokter kandungan saat ini.Bersama dengan suaminya, Hauri baru saja menyelesaikan pemeriksaan. Mereka duduk menunggu hasil periksa dengan perasaan mendebarkan. "Nyonya pasti sering pusing dan mual akhir-akhir ini?" tanya dokter perempuan itu. Hauri mengangguk. "Iya dok, kemarin saat menghubungi Mama mertua saya, Mama meminta saya untuk langsung periksa," ujarnya. Dokter itu tersenyum. "Ya, memang seharusnya begitu, Nyonya," jawabnya. "Dan ... dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, Nyonya saat ini sudah mengandung berusia hampir lima minggu. Mungkin Nyonya tidak sadar saat Nyonya mengalami terlambat datang bulan." Hauri terdiam menggenggam erat tangan Exel. Laki-laki itu juga tercengang, tak percaya diselimuti kebahagiaan yang luar biasa. "Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Exel dengan kedua mata berbinar-binar. "Benar, Tuan. Selam
Beberapa Minggu Kemudian....Suara hujan deras malam ini membuat suasana menjadi sangat dingin. Hauri, gadis cantik itu duduk di sofa di dalam ruang tamu seorang diri. Sementara Exel, suaminya berada di dalam ruangan kerjanya dan tampak sedang bertelfonan dengan rekan kerjanya membahas meeting siang tadi. "Dia selalu memprioritaskan pekerjaanmu daripada aku, sekarang. Apa dia sudah bosan padaku?" Hauri mengomel kesal. Ia memeluk bantalan sofa erat-erat. "Laki-laki sepertinya memang sangat tega." Lebih dari satu jam Hauri menggerutu dengan sikap Exel yang menyebalkan. Gadis itu marah dan kesal lantaran Exel tiba-tiba menerima meeting sore tadi, padahal Exel sudah berjanji mengajak Hauri jalan-jalan. Hauri yang sudah sangat senang pun ia menolak untuk dibohongi. Karena tak sekali dua kali Exel selalu mengajaknya pergi, tapi ujung-ujungnya selalu gagal. Tak lama kemudian, Exel keluar dari dalam ruangan kerjanya. Ia menoleh ke arah Hauri yang duduk di sofa dengan wajah kesal. "Say
Elizabeth sungguh mengunjungi Hauri pagi ini. Ia membawakan banyak cemilan dan juga makanan lainnya. Ditemani oleh Pauline yang juga ikut datang berkunjung bersama sang Mama. Kedatangan mereka disambut dengan senang oleh Hauri dan Exel. "Maaf ya, Ma, Hauri belum menyiapkan makanan apapun. Hauri bangun kesiangan," ujar gadis itu. "Iya, Sayang, tidak papa." Elizabeth tersenyum hangat. Pauline menatap sang Kakak ipar. "Kak Hauri seperti Pauline saja," ujarnya. "Semalam aku juga lembur karena tugas, Kak. Jadi tadi bangun kesiangan, mandi, bersiap sebentar terus langsung ke sini. Kalau Kak Hauri sibuk apa sampai bangun kesiangan?" Pertanyaan itu membuat Hauri merasa malu tiba-tiba. Sambil menyiapkan minuman di dapur, tanpa terasa pipinya merah mengingat semalam ia hanya menghabiskan sepanjang malam dengan suaminya. "Pauline, setiap orang itu punya kesibukan sendiri-sendiri. Begadang bukan hanya mengerjakan tugas, insomnia juga bisa," sahut Elizabeth menanggapi putrinya. "Emmm ... be
"Aku rasa, aku tidak bisa berkumpul dengan para wanita seperti istri rekan kerjamu tadi, Sayang."Hauri menatap Exel yang kini melepaskan kemeja putihnya dan menoleh pada Hauri yang tengah duduk di tepi ranjang kamar mereka. "Bukan tidak bisa, hanya belum terbiasa," jawabnya. "Mereka semua awalnya bertanya tentang kesibukanku, lalu bisnisku, lalu sedikit bertanya-tanya tentang latar belakangku," ujar Hauri bercerita. Dengan iris mata hitamnya, Hauri menatap sang suami lekat-lekat. "Apa memang seperti itu, perbincangan para masyarakat kelas atas?" tanyanya. Exel terdiam sesaat. Laki-laki itu membalikkan badan dan berjalan mendekati sang istri. "Tidak semua. Buktinya Mama ... juga tidak seperti mereka, kan?" "Heem. Aku pikir orang yang aku temui semuanya akan seperti Mama, ternyata tidak." Exel menyahut kimono putih di atas ranjang dan tersenyum pada Hauri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang ganti. Hauri mengembuskan napasnya panjang dan berbaring di atas ranjang. Sampai Exe
Setelah pertengkaran kemarin-kemarin, hubungan Exel dan Hauri kembali terjalin hangat. Exel benar-benar merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya. Malam ini, mereka berdua tampak bersiap-siap pergi. Exel mendapatkan ajakan makan malam bersama para rekan dan sahabatnya di sebuah restoran. Exel pun datang dalam acara itu bersama Hauri. "Sayang...." "Hm?" Exel menoleh menatap Hauri yang memeluk lengannya. "Kenapa?" "Apa temanmu ada yang sudah punya istri?" tanya Hauri."Ada. Ada beberapa dari mereka yang sudah menikah, sepertinya istrinya juga diajak. Nanti kau harus menyapa mereka, oke?" Exel tersenyum mengecup pucuk kepala Hauri. Gadis itu mengangguk. "Iya." Dengan balutan dress panjang berwarna merah, dibalut blazer hitam berbahan hangat, Hauri tampak cantik malam ini. Rambutnya yang sudah panjang sebahu pun tertata rapi dengan hiasan jepit mutiara. Bersama dengan Exel, mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran. Di sana, tampak seorang laki-laki melambaikan t