Beberapa hari dirawat di rumah sakit, tak sehari pun Evan absen menjaga dan mengunjungi Elizabeth di sela kesibukannya di kantor.Seperti di saat ini, laki-laki itu baru saja datang di malam hari. Evan mendekati Elizabeth dengan wajah lelahnya, ia baru saja kembali dari kantor dan langsung menuju rumah sakit untuk menjaga Elizabeth di sana. "Kau sudah makan, Elizabeth?" tanya laki-laki itu sembari melepaskan tuxedo hitamnya. Elizabeth terus memperhatikannya. Ada perasaan janggal karena tidak terbiasa dengan Evan yang terus berkeliaran di sekitarnya akhir-akhir ini.Gadis itu lantas mengangguk menjawab pertanyaan laki-laki itu. "Sudah." Kini Evan masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi menelisik wajah Elizabeth yang pucat, hingga laki-laki itu menyentuh kening Elizabeth dengan lembut. Tatapan mata yang Evan pancarkan, dan rasa cemasnya membuat Elizabeth merasa tidak nyaman. Dia tidak mengerti, kenapa sekarang sikap laki-laki ini jadi begitu perhatian. "Evan, kenapa kau tidak k
Kemunculan seseorang di belakangnya membuat Clarisa tersentak kaget. Wanita itu melebarkan kedua matanya melihat sosok laki-laki dengan sorot mata tajam menatap ke arahnya. Namun, Clarisa tersenyum remeh dengan adanya Daniel yang memergokinya, meskipun merasa terganggu karena ada yang mengetahui sikap aslinya sekarang. "Rupanya kau," ucap Clarisa menaikkan kedua alisnya. Daniel satu langkah mendekatinya. "Sudah aku duga, kalau kau tidak sebaik kelihatannya!" desis laki-laki dengan balutan jas putih itu. "Lalu apa urusannya denganmu, Dokter Daniel?" Clarisa tersenyum seringai.Daniel mengepalkan kedua tangannya, andai saja yang ia hadapi kini adalah seorang laki-laki, mungkin ia akan menerjangnya. Secara tidak langsung, wanita ini juga penyebab penderitaan dalam hidup Elizabeth. "Segala hal yang menyangkut tentang Elizabeth, adalah urusanku juga! Dan wanita sepertimu—""Dokter Daniel..." Clarisa melayangkan tatapan nyalang menyela ucapan Daniel. "Kau jangan munafik!" Daniel masi
Keesokan harinya, Elizabeth yang masih berada di rumah sakit dikejutkan dengan kedatangan Melody bersama dengan Exel pagi ini. Wanita itu masih terlihat tak mau akrab dengannya. Sekalipun cucunya begitu manja pada Elizabeth dan terus memeluknya. "Aku datang ke sini untuk mengantarkan Exel, dia terus merengek ingin bertemu denganmu," ujar Melody pada Elizabeth. Wanita tua itu duduk di samping Elizabeth dan terus memperhatikan Exel dalam rangkulan sang menantu yang amat tidak ia sukai. "Iya Ma, setiap hari Exel diantarkan ke sini oleh Evan," jawab Elizabeth sedikit gugup dan takut. Melody menyergah napasnya panjang. "Huhhh... Harusnya kau merasa beruntung dan berterima kasih pada putraku karena dia masih memaafkan istrinya yang berselingkuh! Bahkan masih memberikan izin untuk kembali tinggal bersama!" Mendengar hal itu, Elizabeth menatap takut Mama mertuanya. Meskipun ragu, Elizabeth ingin menunjukkan kejujuran yang ia simpan. "Ma, aku tidak pernah berselingkuh dengan siapapun. A
Perbincangan Evan dan Elizabeth yang serius tiba-tiba terganggu oleh kemunculan Jericho, sang ajudan Evan yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar inap Elizabeth. Laki-laki itu mendekati Evan dengan wajah tegang dan serius. "Tuan, ada sesuatu yang sangat penting ingin saya sampaikan," ujar Jericho setengah berbisik. "Ada apa?" Sontak Evan langsung beranjak dari duduknya. "Orang-orang kita telah menangkap pengemudi mobil merah yang hampir menabrak Nyonya, dan sekarang pelakunya sudah ada di kantor polisi," jelas Jericho mengungkapkan.Evan pun mengangguk, laki-laki itu menoleh pada Elizabeth yang hanya diam menatapnya. Setelah itu Evan satu langkah mendekati istrinya yang nampak bingung. Elizabeth tidak tahu apa yang terjadi, tapi kini nampaknya Evan sangat terburu-buru karena sesuatu yang amat genting. "Aku akan pergi sebentar, ada urusan penting yang harus aku selesaikan," pamit Evan menyentuh pundak kiri Elizabeth. "Aku akan segera kembali." Elizabeth tidak mengatakan apapun,
Pertanyaan yang Evan lontarkan membuat Elizabeth cemas dan kebingungan untuk sejenak. Namun gadis itu akan tetap jujur mengatakan sesuai dengan isi hatinya. Elizabeth tersenyum tipis dan menjawab, "aku akan berpikir ulang, Evan. Dan bukan karena aku percaya pada Daniel, tapi aku akan memilih sesuai dengan keputusanku sendiri."Elizabeth mengatakan hal itu, karena ia tidak mau kembali jatuh di lubang yang sama seperti yang lalu. Dia juga ingin menunjukkan pada Evan, kalau permintaannya untuk berpisah adalah adalah murni keinginannya sendiri, dan bukan karena orang lain. Evan menghargai jawaban gadis itu, meskipun tidak memuaskan hatinya. "Aku harap kau bisa berpikir untuk memilih mana yang lebih baik," ujar Evan kembali.Dan gadis itu mengangguk tanpa melepaskan tatapannya dari sang suami. "Iya Evan." Pandangan mata Evan pun teralih pada Exel yang masih nyaman dalam dekapan Elizabeth. "Aku ingin Exel bisa ceria seperti dulu lagi, seperti saat masih bersamamu. Dan... Aku juga ing
Hari telah berganti, pagi ini Evan bersama si kecil Exel menjemput Elizabeth di rumah sakit. Setelah kondisinya membaik, pihak rumah sakit mengizinkan Elizabeth untuk pulang. Exel amat antusias dengan kabar ini, sejak di rumah tadi bocah manis itu sudah tidak sabar untuk menjemput Mamanya dan mengajaknya pulang ke rumah mereka lagi. "Mama...," sapa Exel membuka pintu kamar rawat, di mana Elizabeth tengah bersama Daniel di dalam. "Halo Sayang," balas Elizabeth tersenyum manis. Wanita itu langsung mengulurkan kedua tangannya begitu Exel berlari kepadanya, Elizabeth memeluk Exel dengan erat dan hangat. Bocah itu langsung merengkuh leher sang Mama dan meminta gendong sebentar. Dua orang di antara mereka, Evan dan Daniel kini tengah beradu tatap. Daniel menyorotkan tatapan penuh peringatan pada Evan. "Sekarang Mama sudah boleh pulang sama Om dokter, kita pulang ke rumah Papa ya, Ma," ujar Exel, dia tersenyum begitu manis membujuk sang Mama untuk ikut dengannya. Namun Elizabeth meras
Kedua orang tua Evan pagi ini datang berkunjung ke kediaman Evan setelah mereka mendengar kabar bila Elizabeth sekarang tinggal bersama putra mereka lagi. Di ruang tamu dalam rumah megah tersebut, kini Arshen dan Melody duduk berdua berhadapan dengan putra dan menantunya. "Maafkan Papa, Elizabeth, Papa tidak sempat menjengukmu di rumah sakit kemarin," ujar Arshen menatap Elizabeth yang duduk di samping Evan. Gadis cantik itu tersenyum lembut. "Papa tidak perlu meminta maaf, lagipula aku hanya kelelahan dan tidak enak badan saja, Pa," jawab Elizabeth. Seperti biasa, Arshen selalu bersikap peduli dan perhatian pada Elizabeth seperti anaknya sendiri. Namun tidak dengan Melody yang terang-terangan enggan menatap wajah Elizabeth. Entah sampai kapan Melody akan memperlakukan menantunya seperti musuh."Bagaimana perasaanmu, Elizabeth, apakah kau sudah lega bisa kembali di rumah putraku dan menjadi seorang Nyonya lagi?" tanya Melody dengan nada yang sangat sarkastik. Elizabeth hanya ber
Elizabeth duduk menyendiri di sebuah kursi di dekat jendela dari siang hingga sore ini. Gadis itu berulang kali meringis dan sesekali dia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Bahkan setelah dia meminum obat, rasa sakitnya belum juga mereda. "Hah... Sakitnya," keluhnya sembari menggigit bibir bawahnya menahan denyutan yang bertubi-tubi. Elizabeth perlahan berusaha bangkit dari duduknya, satu tangannya merayap mencari pegangan di dinding.Tak sengaja Evan yang berjalan melintas di depan ruangan keluarga, melihat Elizabeth yang kini terlihat sedang kesakitan. "Elizabeth!" Laki-laki itu bergegas cepat melangkah mendekati Elizabeth. Dengan pelan Evan meraih lengan istrinya dan menatapi wajah pucat Elizabeth dari dekat penuh kekhawatiran. "Kenapa? Kepalamu pusing lagi?" tanya Evan menyentuh kepala Istrinya. Elizabeth menggeleng dan mengelaknya. "Aku tidak papa, hanya pusing sedikit. Mungkin karena aku terlalu lama duduk." Berusaha untuk percaya diri, Elizabeth melepaskan cekal