Kedua orang tua Evan pagi ini datang berkunjung ke kediaman Evan setelah mereka mendengar kabar bila Elizabeth sekarang tinggal bersama putra mereka lagi. Di ruang tamu dalam rumah megah tersebut, kini Arshen dan Melody duduk berdua berhadapan dengan putra dan menantunya. "Maafkan Papa, Elizabeth, Papa tidak sempat menjengukmu di rumah sakit kemarin," ujar Arshen menatap Elizabeth yang duduk di samping Evan. Gadis cantik itu tersenyum lembut. "Papa tidak perlu meminta maaf, lagipula aku hanya kelelahan dan tidak enak badan saja, Pa," jawab Elizabeth. Seperti biasa, Arshen selalu bersikap peduli dan perhatian pada Elizabeth seperti anaknya sendiri. Namun tidak dengan Melody yang terang-terangan enggan menatap wajah Elizabeth. Entah sampai kapan Melody akan memperlakukan menantunya seperti musuh."Bagaimana perasaanmu, Elizabeth, apakah kau sudah lega bisa kembali di rumah putraku dan menjadi seorang Nyonya lagi?" tanya Melody dengan nada yang sangat sarkastik. Elizabeth hanya ber
Elizabeth duduk menyendiri di sebuah kursi di dekat jendela dari siang hingga sore ini. Gadis itu berulang kali meringis dan sesekali dia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Bahkan setelah dia meminum obat, rasa sakitnya belum juga mereda. "Hah... Sakitnya," keluhnya sembari menggigit bibir bawahnya menahan denyutan yang bertubi-tubi. Elizabeth perlahan berusaha bangkit dari duduknya, satu tangannya merayap mencari pegangan di dinding.Tak sengaja Evan yang berjalan melintas di depan ruangan keluarga, melihat Elizabeth yang kini terlihat sedang kesakitan. "Elizabeth!" Laki-laki itu bergegas cepat melangkah mendekati Elizabeth. Dengan pelan Evan meraih lengan istrinya dan menatapi wajah pucat Elizabeth dari dekat penuh kekhawatiran. "Kenapa? Kepalamu pusing lagi?" tanya Evan menyentuh kepala Istrinya. Elizabeth menggeleng dan mengelaknya. "Aku tidak papa, hanya pusing sedikit. Mungkin karena aku terlalu lama duduk." Berusaha untuk percaya diri, Elizabeth melepaskan cekal
Tak biasanya Arshen datang mengunjunginya sore-sore begini. Laki-laki berambut putih dengan setelan formal itu juga mengatakan kalau dia hanya berkepentingan dengan Elizabeth seorang. Sampai akhirnya dia sudah berhadapan langsung dengan menantunya tersebut. "Apa yang ingin Papa sampaikan pada Elizabeth, Pa? Tadi Papa bilang ingin mengatakan hal yang penting," ujar gadis itu. "Papa ke sini untuk memberikan undangan ke pesta perayaan perusahaan Papa, kau bisa ikut datang bersama suamimu, besok malam," ujar Arshen menjelaskan tujuannya. "Pesta?" ulang Elizabeth dengan nada ragu. Papa mertuanya itu mengangguk. "Ya, datanglah dengan Evan." Mendengar nama pesta saja sudah membuat Elizabeth memikirkan hal yang tidak-tidak, apalagi kalau dia harus datang?Elizabeth diserang dilema hebat, bagaimana mungkin dia akan pergi ke pesta itu dan menunjukkan wajahnya di depan banyak orang setelah namanya rusak karena berita rekayasa perselingkuhannya dengan Daniel. Tidak bisa Elizabeth bayangkan,
Malam pesta pun tiba, Elizabeth datang bersama suami dan juga putranya di acara penting milik Papa mertuanya yang digelar di sebuah hotel. Dengan balutan gaun berwarna putih yang cantik dan elegan, Elizabeth berdiri di tengah pesta. Gadis itu menemani putranya yang sibuk memilih makanan, sedangkan Evan berbincang-bincang dengan tamu yang lain. "Apa kubilang, dia benar-benar datang, kan! Sungguh tidak tahu malu!" "Iya. Masih berani dia menunjukkan wajahnya di depan umum dengan bangga sebagai istri Tuan Evander Collin, setelah skandal perselingkuhannya." "Mama mertuanya saja tidak mau dekat dengannya. Nyonya Melody malah lebih akrab dengan mantan menantunya yang jauh lebih baik daripada menantunya yang sekarang!" Ocehan-ocehan pedas dan cemooh semua orang di pesta itu dapat dengan jelas Elizabeth dengar. Namun tidak mungkin baginya untuk berlari dan pergi dari hall pesta ini. Jangan sampai ia membuat suami dan keluarga Collin lebih malu lagi. "Mama, Mama kenapa?" tanya Exel, anak
Kedatangan Arshen di apartemen Clarisa mengejutkan wanita muda itu. Perasaan aneh serta khawatir mulai menghantuinya saat ia berhadapan dengan laki-laki tua itu. Wajah Arshen juga tidak setenang biasanya. Dia menatap lurus dan tajam pada Clarisa seperti menatap seorang penjahat. "Sekarang katakan, apa yang sebenarnya kau inginkan, Clarisa?" tanya Arshen membuka suara. "A-apa maksud Om?" Clarisa berlagak sok polos dan tak tahu apa-apa. Kedua alis tebal laki-laki tua itu bertaut tajam. "Aku tidak buta, semalam aku memperhatikan dengan kedua mataku tentang apa yang kau lakukan pada Elizabeth!" Raut wajah Clarisa berubah pucat mendengar ungkapan Arshen yang begitu mengejutkannya. Seperti seorang penjahat yang tertangkap, Clarisa bungkam dan mulutnya terkunci rapat. Arshen menyergah napasnya panjang dan berdecak. "Istriku memang selalu ada di pihakmu, tapi bukan berarti aku juga mendukungmu, Clarisa. Kau... Kau sudah sangat keterlaluan!" "O-om... Saya minta maaf, saya tidak akan—"B
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dari hari ke hari, setelah Elizabeth kembali tinggal bersama sang suami, gadis itu sangat menikmati waktunya bersama dengan si kecil, Exel.Bahkan di hari Exel libur sekolah seperti sekarang, Elizabeth menyempatkan waktu mengajak putra kecilnya pergi jalan-jalan dan makan di sebuah restoran, hanya berdua saja. "Mama, kita duduk di sana, ayo Ma..." Exel menarik lengan Elizabeth dan mengajaknya memilih tempat di dekat jendela. Elizabeth hanya patuh dan mengikuti putranya. Exel sangat bersemangat hari ini, meskipun hanya berdua saja dengan Mamanya. "Ma, kenapa Papa tidak diajak?" tanya anak itu tiba-tiba. "Papa kan sedang sibuk, Sayang. Kapan-kapan kita bisa pergi dengan Papa juga," balas Elizabeth menatap lembut anaknya. Exel cemberut sejenak, namun dia kembali lagi tersenyum saat menatap wajah sang Mama. Setelah itu Elizabeth meraih buku menu dan memilih makanan yang Exel sukai. Namun tiba-tiba, Elizabeth tersentak saat Exel buru-buru turun
Evan hari ini benar-benar sibuk, hingga sore hari sekalipun dia belum juga kembali pulang ke rumah. Pintu ruangan CEO yang Evan tempati kini tiba-tiba terketuk. Muncul Jericho yang membukanya pelan. "Tuan, ada Nyonya besar ingin bertemu," ujar Jericho dengan wajah datar seperti biasa. "Ya, katakan pada Mama untuk langsung masuk," jawab Evan. "Baik Tuan." Evan menutup beberapa berkas dokumen di hadapannya, saat pintu terbuka lebih lebar menunjukkan kedatangan Melody yang melangkah anggun mendekati Evan. Di sana, Evan hanya diam melihat Mamanya ke kantor menemuinya secara langsung seperti ini bukanlah hal yang biasanya terjadi. "Ada perlu apa sampai Mama datang ke sini? Kenapa tidak menghubungiku saja?" tanya Evan beranjak dari duduknya. Melody yang baru saja duduk di sofa, wanita itu menatap Evan yang berjalan ke arahnya. "Mama ingin mengatakan hal yang penting padamu, tentang Elizabeth." Melody menekan nada suaranya saat dia menyebut nama Elizabeth. Kening Evan mengerut, lak
Keesokan harinya, Evan pulang dari kantor lebih awal. Laki-laki itu mendapatkan undangan makan malam bersama dengan rekannya di salah satu rumah makan di hotel bintang lima. Evan ingin mengajak istri dan anaknya menghadiri acara itu malam ini. Ia pun bergegas naik ke lantai dua dan membuka pintu kamarnya. "Oh Evan, kau baru sampai?" Elizabeth menyapanya seperti dulu-dulu. Laki-laki itu mengangguk, ia melepaskan tuxedo hitamnya sembari menutup pintu kamar dan berjalan mendekati istrinya. Elizabeth yang hendak meraih tuxedo hitam di tangan Evan, tiba-tiba lengannya lebih dulu ditarik oleh laki-laki itu. Dalam hitungan detik, kedua mata Elizabeth melebar saat satu kecupan mendarat di pipinya. "Selama sore," bisik Evan menatapnya dari jarak lebih dekat. Elizabeth menunduk kepalanya gugup, dia merasa tak biasa dengan sikap suaminya yang sekarang. "Ya... Selamat sore juga," balas Elizabeth tersenyum gugup.Gadis itu buru-buru meraih tuxedo hitam di tangan Evan dan berjalan mendekati