Kedatangan Arshen di apartemen Clarisa mengejutkan wanita muda itu. Perasaan aneh serta khawatir mulai menghantuinya saat ia berhadapan dengan laki-laki tua itu. Wajah Arshen juga tidak setenang biasanya. Dia menatap lurus dan tajam pada Clarisa seperti menatap seorang penjahat. "Sekarang katakan, apa yang sebenarnya kau inginkan, Clarisa?" tanya Arshen membuka suara. "A-apa maksud Om?" Clarisa berlagak sok polos dan tak tahu apa-apa. Kedua alis tebal laki-laki tua itu bertaut tajam. "Aku tidak buta, semalam aku memperhatikan dengan kedua mataku tentang apa yang kau lakukan pada Elizabeth!" Raut wajah Clarisa berubah pucat mendengar ungkapan Arshen yang begitu mengejutkannya. Seperti seorang penjahat yang tertangkap, Clarisa bungkam dan mulutnya terkunci rapat. Arshen menyergah napasnya panjang dan berdecak. "Istriku memang selalu ada di pihakmu, tapi bukan berarti aku juga mendukungmu, Clarisa. Kau... Kau sudah sangat keterlaluan!" "O-om... Saya minta maaf, saya tidak akan—"B
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dari hari ke hari, setelah Elizabeth kembali tinggal bersama sang suami, gadis itu sangat menikmati waktunya bersama dengan si kecil, Exel.Bahkan di hari Exel libur sekolah seperti sekarang, Elizabeth menyempatkan waktu mengajak putra kecilnya pergi jalan-jalan dan makan di sebuah restoran, hanya berdua saja. "Mama, kita duduk di sana, ayo Ma..." Exel menarik lengan Elizabeth dan mengajaknya memilih tempat di dekat jendela. Elizabeth hanya patuh dan mengikuti putranya. Exel sangat bersemangat hari ini, meskipun hanya berdua saja dengan Mamanya. "Ma, kenapa Papa tidak diajak?" tanya anak itu tiba-tiba. "Papa kan sedang sibuk, Sayang. Kapan-kapan kita bisa pergi dengan Papa juga," balas Elizabeth menatap lembut anaknya. Exel cemberut sejenak, namun dia kembali lagi tersenyum saat menatap wajah sang Mama. Setelah itu Elizabeth meraih buku menu dan memilih makanan yang Exel sukai. Namun tiba-tiba, Elizabeth tersentak saat Exel buru-buru turun
Evan hari ini benar-benar sibuk, hingga sore hari sekalipun dia belum juga kembali pulang ke rumah. Pintu ruangan CEO yang Evan tempati kini tiba-tiba terketuk. Muncul Jericho yang membukanya pelan. "Tuan, ada Nyonya besar ingin bertemu," ujar Jericho dengan wajah datar seperti biasa. "Ya, katakan pada Mama untuk langsung masuk," jawab Evan. "Baik Tuan." Evan menutup beberapa berkas dokumen di hadapannya, saat pintu terbuka lebih lebar menunjukkan kedatangan Melody yang melangkah anggun mendekati Evan. Di sana, Evan hanya diam melihat Mamanya ke kantor menemuinya secara langsung seperti ini bukanlah hal yang biasanya terjadi. "Ada perlu apa sampai Mama datang ke sini? Kenapa tidak menghubungiku saja?" tanya Evan beranjak dari duduknya. Melody yang baru saja duduk di sofa, wanita itu menatap Evan yang berjalan ke arahnya. "Mama ingin mengatakan hal yang penting padamu, tentang Elizabeth." Melody menekan nada suaranya saat dia menyebut nama Elizabeth. Kening Evan mengerut, lak
Keesokan harinya, Evan pulang dari kantor lebih awal. Laki-laki itu mendapatkan undangan makan malam bersama dengan rekannya di salah satu rumah makan di hotel bintang lima. Evan ingin mengajak istri dan anaknya menghadiri acara itu malam ini. Ia pun bergegas naik ke lantai dua dan membuka pintu kamarnya. "Oh Evan, kau baru sampai?" Elizabeth menyapanya seperti dulu-dulu. Laki-laki itu mengangguk, ia melepaskan tuxedo hitamnya sembari menutup pintu kamar dan berjalan mendekati istrinya. Elizabeth yang hendak meraih tuxedo hitam di tangan Evan, tiba-tiba lengannya lebih dulu ditarik oleh laki-laki itu. Dalam hitungan detik, kedua mata Elizabeth melebar saat satu kecupan mendarat di pipinya. "Selama sore," bisik Evan menatapnya dari jarak lebih dekat. Elizabeth menunduk kepalanya gugup, dia merasa tak biasa dengan sikap suaminya yang sekarang. "Ya... Selamat sore juga," balas Elizabeth tersenyum gugup.Gadis itu buru-buru meraih tuxedo hitam di tangan Evan dan berjalan mendekati
Pagi ini, Elizabeth dihubungi oleh pelayan pribadi Melody yang memintanya untuk datang ke kediaman mertuanya. Elizabeth pun datang bersama sopir yang mengantarkannya untuk menemani Mama mertuanya mengobrol dan minum teh, di teras belakang rumah megahnya. "Tidak perlu canggung begitu, bukannya kau dulu sering menemaniku minum teh," ujar Melody meminta pelayanannya menuangkan teh untuk Elizabeth. "Oh... Ma-maaf Ma," ucap gadis itu meraih cangkirnya. Di teras yang dipenuhi dengan bunga dan tanaman hias, mereka duduk hanya berdua saja. Melody menghela napasnya panjang dan memperhatikan Exel yang bermain di taman dengan seekor anjing kecil berwarna putih kesayangannya."Exel nampak sangat menikmati hari-harinya saat bersamamu, Elizabeth," ujar Melody membuka percakapan. Elizabeth tersenyum tipis. "Iya Ma, dia juga sudah ceria seperti dulu lagi." Melody hanya mengangguk kecil, ia duduk menyilangkan satu kakinya dan masih terus memperhatikan cucunya. "Dia sudah besar, ingat kalau kau
Sergahan napas panjang keluar dari bibir Evan, bersamaan dia meletakkan gelas berisi minuman yang beraroma sangat pekat. Evan mengusap berkali-kali wajahnya frustrasi. Ia bingung bagaimana membuat Elizabeth percaya kalau ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka."Van, kau meminum cukup banyak malam ini," ujar Leonid menepuk pundak Evan, dan membuyarkan lamunannya."Ck! Diamlah," balas Evan menuangkan minuman itu lagi, lalu menenggaknya. Leonid—teman Evan yang malam ini tengah mengadakan sebuah acara kecil di mansionnya, dan hanya dihadiri oleh beberapa rekannya saja, salah satunya adalah Evan. Setelah beberapa lama Evan meluapkan kekesalannya pada minuman itu, hingga ia kini mulai mabuk. Setelah itu Evan pun memutuskan untuk kembali pulang malam itu juga.Sementara di tempat lain, Elizabeth belum tidur. Gadis itu masih duduk diam di atas ranjangnya merajut sebuah syal untuk Exel. Berkali-kali Elizabeth menatap ke arah jam dinding di dalam kamarnya."Kenapa Evan belum juga
Setelah kejadian semalam, Elizabeth merasakan interaksi antara dirinya dan Evan tidak kaku seperti dulu lagi. Elizabeth kini membawakan secangkir kopi ke ruangan kerja Evan. Hal ini dulu adalah hal yang setiap hari Elizabeth lakukan tanpa bosan, dan menjadi kerinduan bagi Evan saat Elizabeth tak di sisinya. "Evan, aku membuatkanmu kopi," ujar Elizabeth berjalan masuk ke dalam ruangan itu. "Terima kasih, letakkan di sini saja," jawab Evan menggeser sebuah berkas di atas meja.Elizabeth meletakkan secangkir kopi tersebut dengan berhati-hati. Saat gadis itu hendak beranjak, tiba-tiba Evan menarik lengan Elizabeth dengan pelan. Elizabeth pun terkejut, lantas dia menoleh cepat menatap suaminya. "Tetaplah di sini, temani aku bekerja," pinta Evan, ia menarik satu kursi dan ia tempatkan di sampingnya.Meski awalnya ragu, Elizabeth akhirnya duduk di samping suaminya. Gadis itu mulai bisa merasakan kenyamanan yang dulu tidak pernah bisa dia rasakan sekalipun menjadi istri seorang Evander C
Setelah kemarin Elizabeth sempat kambuh, hari ini gadis itu memutuskan untuk datang ke rumah sakit mengecekkan kondisinya. Elizabeth telah membuat janji dengan Daniel sejak pagi-pagi tadi. Dan sekarang Elizabeth pun usai Daniel tangani. "Apakah kondisiku menurun lagi, Niel?" tanya Elizabeth saat Daniel melepaskan masker penutup hidung dan mulutnya. "Tidak Elizabeth, kondisimu sekarang stabil," jawab Daniel, laki-laki itu membantunya untuk duduk. Elizabeth menatap sahabatnya yang kini menghela napas pelan. "Tapi... Kenapa kemarin aku kambuh? Aku takut kalau kondisiku terus menurun," ujar Elizabeth. Dan respon yang Daniel berikan kini adalah senyuman kecil. Laki-laki dengan balutan jas putih itu justru menarik gemas hidung kecil Elizabeth. "Heii... Sudah berkali-kali aku bilang padamu kan, kalau kau kelelahan, itu juga bisa menjadi faktor kambuhnya sakitmu sekarang," tutur Daniel mengusap lembut pucuk kepala Elizabeth. "Tapi jangan disepelekan, untuk saat ini mungkin tidak papa,