Keesokan harinya, Evan pulang dari kantor lebih awal. Laki-laki itu mendapatkan undangan makan malam bersama dengan rekannya di salah satu rumah makan di hotel bintang lima. Evan ingin mengajak istri dan anaknya menghadiri acara itu malam ini. Ia pun bergegas naik ke lantai dua dan membuka pintu kamarnya. "Oh Evan, kau baru sampai?" Elizabeth menyapanya seperti dulu-dulu. Laki-laki itu mengangguk, ia melepaskan tuxedo hitamnya sembari menutup pintu kamar dan berjalan mendekati istrinya. Elizabeth yang hendak meraih tuxedo hitam di tangan Evan, tiba-tiba lengannya lebih dulu ditarik oleh laki-laki itu. Dalam hitungan detik, kedua mata Elizabeth melebar saat satu kecupan mendarat di pipinya. "Selama sore," bisik Evan menatapnya dari jarak lebih dekat. Elizabeth menunduk kepalanya gugup, dia merasa tak biasa dengan sikap suaminya yang sekarang. "Ya... Selamat sore juga," balas Elizabeth tersenyum gugup.Gadis itu buru-buru meraih tuxedo hitam di tangan Evan dan berjalan mendekati
Pagi ini, Elizabeth dihubungi oleh pelayan pribadi Melody yang memintanya untuk datang ke kediaman mertuanya. Elizabeth pun datang bersama sopir yang mengantarkannya untuk menemani Mama mertuanya mengobrol dan minum teh, di teras belakang rumah megahnya. "Tidak perlu canggung begitu, bukannya kau dulu sering menemaniku minum teh," ujar Melody meminta pelayanannya menuangkan teh untuk Elizabeth. "Oh... Ma-maaf Ma," ucap gadis itu meraih cangkirnya. Di teras yang dipenuhi dengan bunga dan tanaman hias, mereka duduk hanya berdua saja. Melody menghela napasnya panjang dan memperhatikan Exel yang bermain di taman dengan seekor anjing kecil berwarna putih kesayangannya."Exel nampak sangat menikmati hari-harinya saat bersamamu, Elizabeth," ujar Melody membuka percakapan. Elizabeth tersenyum tipis. "Iya Ma, dia juga sudah ceria seperti dulu lagi." Melody hanya mengangguk kecil, ia duduk menyilangkan satu kakinya dan masih terus memperhatikan cucunya. "Dia sudah besar, ingat kalau kau
Sergahan napas panjang keluar dari bibir Evan, bersamaan dia meletakkan gelas berisi minuman yang beraroma sangat pekat. Evan mengusap berkali-kali wajahnya frustrasi. Ia bingung bagaimana membuat Elizabeth percaya kalau ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka."Van, kau meminum cukup banyak malam ini," ujar Leonid menepuk pundak Evan, dan membuyarkan lamunannya."Ck! Diamlah," balas Evan menuangkan minuman itu lagi, lalu menenggaknya. Leonid—teman Evan yang malam ini tengah mengadakan sebuah acara kecil di mansionnya, dan hanya dihadiri oleh beberapa rekannya saja, salah satunya adalah Evan. Setelah beberapa lama Evan meluapkan kekesalannya pada minuman itu, hingga ia kini mulai mabuk. Setelah itu Evan pun memutuskan untuk kembali pulang malam itu juga.Sementara di tempat lain, Elizabeth belum tidur. Gadis itu masih duduk diam di atas ranjangnya merajut sebuah syal untuk Exel. Berkali-kali Elizabeth menatap ke arah jam dinding di dalam kamarnya."Kenapa Evan belum juga
Setelah kejadian semalam, Elizabeth merasakan interaksi antara dirinya dan Evan tidak kaku seperti dulu lagi. Elizabeth kini membawakan secangkir kopi ke ruangan kerja Evan. Hal ini dulu adalah hal yang setiap hari Elizabeth lakukan tanpa bosan, dan menjadi kerinduan bagi Evan saat Elizabeth tak di sisinya. "Evan, aku membuatkanmu kopi," ujar Elizabeth berjalan masuk ke dalam ruangan itu. "Terima kasih, letakkan di sini saja," jawab Evan menggeser sebuah berkas di atas meja.Elizabeth meletakkan secangkir kopi tersebut dengan berhati-hati. Saat gadis itu hendak beranjak, tiba-tiba Evan menarik lengan Elizabeth dengan pelan. Elizabeth pun terkejut, lantas dia menoleh cepat menatap suaminya. "Tetaplah di sini, temani aku bekerja," pinta Evan, ia menarik satu kursi dan ia tempatkan di sampingnya.Meski awalnya ragu, Elizabeth akhirnya duduk di samping suaminya. Gadis itu mulai bisa merasakan kenyamanan yang dulu tidak pernah bisa dia rasakan sekalipun menjadi istri seorang Evander C
Setelah kemarin Elizabeth sempat kambuh, hari ini gadis itu memutuskan untuk datang ke rumah sakit mengecekkan kondisinya. Elizabeth telah membuat janji dengan Daniel sejak pagi-pagi tadi. Dan sekarang Elizabeth pun usai Daniel tangani. "Apakah kondisiku menurun lagi, Niel?" tanya Elizabeth saat Daniel melepaskan masker penutup hidung dan mulutnya. "Tidak Elizabeth, kondisimu sekarang stabil," jawab Daniel, laki-laki itu membantunya untuk duduk. Elizabeth menatap sahabatnya yang kini menghela napas pelan. "Tapi... Kenapa kemarin aku kambuh? Aku takut kalau kondisiku terus menurun," ujar Elizabeth. Dan respon yang Daniel berikan kini adalah senyuman kecil. Laki-laki dengan balutan jas putih itu justru menarik gemas hidung kecil Elizabeth. "Heii... Sudah berkali-kali aku bilang padamu kan, kalau kau kelelahan, itu juga bisa menjadi faktor kambuhnya sakitmu sekarang," tutur Daniel mengusap lembut pucuk kepala Elizabeth. "Tapi jangan disepelekan, untuk saat ini mungkin tidak papa,
Sementara di rumah, Elizabeth tengah duduk di teras bersama Exel. Wanita itu menemani si kecil yang tengah dibujuk untuk disuapi oleh pengasuhnya. Anaknya yang sangat aktif, Exel selalu berlarian ke sana dan kemari hingga pengasuhnya sangat terlihat stress dan lelah. "Riana, berikan piringnya padaku, biar aku saja yang menyuapi Exel," ujar Elizabeth. Wanita itu langsung mundur satu langkah. "Jangan Nyonya, biar saya saja. Nyonya istirahat saja. Kalau nanti Tuan tahu Nyonya menggantikan pekerjaan saya, nanti Tuan bisa marah." Pengasuh itu selalu mengatakan alasan yang sama setiap hari. Memang Evan selalu memberikan penegasan pada semua pelayan di rumahnya meminta agar mereka tidak membiarkan Elizabeth melakukan pekerjaan apapun. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba dua mobil mewah memasuki pekarangan rumah megah milik Evan. Elizabeth mengerutkan keningnya melihat siapa yang datang. Namun begitu ia melihat Clarisa turun dari mobil yang berbeda dengan Evan, gadis itu sangat ber
Keesokan harinya, Elizabeth mendatangi tempat kerjanya dan ingin bertemu dengan atasannya, setelah ia beberapa hari lamanya tidak aktif bekerja.Elizabeth sudah berada di dalam sebuah ruangan, ia duduk di sebuah sofa tunggal dan menanti-nanti kedatangan Sonya. Sampai akhirnya pintu kayu berwarna cokelat pun terbuka, di sana muncul seorang wanita cantik dengan balutan blazer merah maron, yang langsung melebarkan matanya saat melihat kedatangan Elizabeth. "Oh Elizabeth," sapa Sonya dengan senyuman yang manis. "Selamat siang, Nona Sonya," sapa Elizabeth sedikit menundukkan kepalanya. "Selamat siang juga Elizabeth... Akhir-akhir ini kau jarang sekali terlihat, ya... Padahal aku sangat menunggumu kembali bekerja," ujar Sonya menatap Elizabeth dengan wajah sedih. Elizabeth membalasnya dengan senyuman tipis, ia menjadi tidak enak hati dengan kebaikan Sonya yang selalu mengerti situasi yang Elizabeth rasakan. "Silakan duduk kembali," ujar wanita cantik itu pada Elizabeth. Mereka pun du
Beberapa Minggu Kemudian...Sejak pagi tadi, Elizabeth merasakan tubuhnya tidak nyaman, berkali-kali ia berjalan ke kamar mandi karena perutnya yang terus bergejolak. Elizabeth kini berdiri di dalam kamar mandi dengan tubuh lemasnya. Gadis itu meletakkan telapak tangannya di kening. "Apa yang terjadi, kenapa beberapa hari ini aku tubuhku semakin tidak nyaman?" gumam Elizabeth bingung. Perlahan ia kembali keluar dari dalam kamar. Elizabeth meraih botol obatnya yang berada di dalam laci. "Obatnya masih sama seperti yang Daniel resepkan dulu-dulu, tapi kenapa sekarang membuatku mual dan pusing?" gumam Elizabeth menyeka keringat dingin di wajahnya. Elizabeth menyimpan lagi obatnya dan berjalan ke arah ranjang. Tubuh yang lemas membuat Elizabeth memilih beristirahat sejenak. Pikiran dan hatinya terus diliputi rasa takut. "Mungkin ini karena efek dari obat dari dokter yang selama ini aku minum," gumam Elizabeth memejamkan kedua matanya. Saat Elizabeth memejamkan kedua matanya, tiba-t
Beberapa Bulan Kemudian...Hari-hari berlalu dengan sangat baik. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan sangat mengesankan tiap harinya.Tak lama lagi, Hauri dan Exel akan menjadi orang tua. Mereka sangat bahagia saat tahu kalau anak yang sedang Hauri kandung ternyata ada dua bayi. Meskipun telah dinyatakan sembuh sejak beberapa bulan lalu, tapi Exel menjadi suami siaga untuk Hauri yang sebentar lagi akan melahirkan, hingga tinggal menghitung hari demi hari. "Jangan jalan jauh-jauh, Sayang ... nanti kau bisa kelelahan! Ingat kata Dokter Lilian, kau harus banyak istirahat," ujar Exel pada istrinya. "Iya. Masa jalan dari ruang tamu ke dapur saja kau mengomeliku," protes wanita cantik yang kini berdiri di belakang Exel sembari memegang perut besarnya. Exel terkekeh. Laki-laki itu kini tengah membuatkan susu untuk Hauri, sementara semua urusan rumah yang lainnya, pembantu mereka yang menangani. "Sudah, ini susunya. Cepat diminum dan dihabiskan," bujuk Exel menyerahkan segera susu
Tak ada yang bisa membujuk Pauline sama sekali. Baik Exel maupun kedua orang tuanya, hingga mereka semua menyerah dan membiarkan Pauline melakukan apapun yang dia sukai. Exel juga berpesan pada Mama dan Papanya untuk tidak memarahi adiknya bila terjadi sesuatu. Karena malam ini, Exel kembali pulang ke rumahnya. "Kasihan sekali Pauline ... aku memintanya besok untuk datang ke rumah kita. Siapa tahu dia mau," ujar Hauri. Exel mengangguk. "Aku rasa juga begitu. Semoga saja dia mau," jawabnya. Sepanjang perjalanan, Hauri bercerita ini dan itu. Gadis itu juga tidak henti-hentinya mengatakan kalau ia sangat mencemaskan adik iparnya. Exel pun memahami perasaan itu. Namun ia menganggap kalau Pauline sudah besar, pasti dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Jadi, Exel lebih fokus pada Istrinya dan juga pada rumah tangga mereka berdua. "Sayang, kau ingin membeli sesuatu?" tawar Exel menoleh pada istrinya. "Tidak, aku tidak ingin membeli apapun," jawab gadis itu. "Mama tadi memb
Hauri masuk ke dalam kamar Pauline. Di sana, ia melihat Pauline yang tengah sibuk dengan kanvas dan cat airnya. Entah sejak kapan gadis itu senang mengurung diri dan menyendiri. Pauline duduk di balkon kamarnya, hingga ia tidak tahu bila Hauri masuk ke dalam kamarnya. "Wahh ... cantik sekali gambaranmu, Pauline," puji Hauri tiba-tiba. Suaranya membuat Pauline sontak menoleh ke belakang di mana Hauri berdiri. Pauline tersenyum manis. "Kakak, sejak kapan Kakak di sana?" tanyanya. Hauri tersenyum tipis. "Sejak tadi. Pauline saja yang tidak tahu," jawabnya. "Sini, Kak." Perlahan Hauri melangkah mendekatinya. Ia duduk di samping Pauline yang masih meneruskan lukisannya. "Sejak kapan suka melukis? Kakak tidak pernah melihatmu suka melukis biasanya," ujar Hauri bertanya. Pauline tersenyum. "Sudah lama, Kak. Tapi memang tidak Pauline kasih tunjuk pada siapapun. Semua kanvasnya juga Pauline sembunyikan di dalam ruangan ganti," jawab gadis itu. Hauri terkekeh. "Pauline ... Pauline, k
Kabar kehamilan Hauri sudah terdengar oleh semua keluarga, bahkan beberapa teman Exel juga mengucapkan selamat pada mereka. Termasuk sahabat dekatnya, Heiner yang malam ini datang berkunjung ke rumah mereka membawakan beberapa makanan dan buah-buahan. Sejak dulu hingga kini, memang Heiner yang jauh lebih dekat dan perhatian. "Sekarang tinggal kau saja yang belum menikah, Heiner. Mau sampai kapan kau terus menyendiri?" tanya Exel pada sahabatnya itu. Heiner terkekeh. "Entahlah, tapi aku benar-benar menikmati hidupku saat ini," jawabnya."Saat waktunya tiba, jodohmu pasti juga akan datang, Heiner," sahut Hauri mendekati dua laki-laki itu membawakan cemilan dan juga buah-buahan. "Benar, Hau. Aku malah berpikir kalau aku ingin mendekati Pauline ... supaya aku merasakan, sepertinya enak juga menjadi menantu Keluarga Collin," ujarnya dengan percaya diri, sebelum sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya. Exel menatap tajam dan kesal. "Kalau kau ingin mendekati adikku, kau harus melawa
Pagi ini Hauri pergi ke rumah sakit ditemani oleh Exel. Tetapi, ia tidak pergi menemui Dokter William lagi, melainkan Hauri akan pergi ke dokter kandungan saat ini.Bersama dengan suaminya, Hauri baru saja menyelesaikan pemeriksaan. Mereka duduk menunggu hasil periksa dengan perasaan mendebarkan. "Nyonya pasti sering pusing dan mual akhir-akhir ini?" tanya dokter perempuan itu. Hauri mengangguk. "Iya dok, kemarin saat menghubungi Mama mertua saya, Mama meminta saya untuk langsung periksa," ujarnya. Dokter itu tersenyum. "Ya, memang seharusnya begitu, Nyonya," jawabnya. "Dan ... dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, Nyonya saat ini sudah mengandung berusia hampir lima minggu. Mungkin Nyonya tidak sadar saat Nyonya mengalami terlambat datang bulan." Hauri terdiam menggenggam erat tangan Exel. Laki-laki itu juga tercengang, tak percaya diselimuti kebahagiaan yang luar biasa. "Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Exel dengan kedua mata berbinar-binar. "Benar, Tuan. Selam
Beberapa Minggu Kemudian....Suara hujan deras malam ini membuat suasana menjadi sangat dingin. Hauri, gadis cantik itu duduk di sofa di dalam ruang tamu seorang diri. Sementara Exel, suaminya berada di dalam ruangan kerjanya dan tampak sedang bertelfonan dengan rekan kerjanya membahas meeting siang tadi. "Dia selalu memprioritaskan pekerjaanmu daripada aku, sekarang. Apa dia sudah bosan padaku?" Hauri mengomel kesal. Ia memeluk bantalan sofa erat-erat. "Laki-laki sepertinya memang sangat tega." Lebih dari satu jam Hauri menggerutu dengan sikap Exel yang menyebalkan. Gadis itu marah dan kesal lantaran Exel tiba-tiba menerima meeting sore tadi, padahal Exel sudah berjanji mengajak Hauri jalan-jalan. Hauri yang sudah sangat senang pun ia menolak untuk dibohongi. Karena tak sekali dua kali Exel selalu mengajaknya pergi, tapi ujung-ujungnya selalu gagal. Tak lama kemudian, Exel keluar dari dalam ruangan kerjanya. Ia menoleh ke arah Hauri yang duduk di sofa dengan wajah kesal. "Say
Elizabeth sungguh mengunjungi Hauri pagi ini. Ia membawakan banyak cemilan dan juga makanan lainnya. Ditemani oleh Pauline yang juga ikut datang berkunjung bersama sang Mama. Kedatangan mereka disambut dengan senang oleh Hauri dan Exel. "Maaf ya, Ma, Hauri belum menyiapkan makanan apapun. Hauri bangun kesiangan," ujar gadis itu. "Iya, Sayang, tidak papa." Elizabeth tersenyum hangat. Pauline menatap sang Kakak ipar. "Kak Hauri seperti Pauline saja," ujarnya. "Semalam aku juga lembur karena tugas, Kak. Jadi tadi bangun kesiangan, mandi, bersiap sebentar terus langsung ke sini. Kalau Kak Hauri sibuk apa sampai bangun kesiangan?" Pertanyaan itu membuat Hauri merasa malu tiba-tiba. Sambil menyiapkan minuman di dapur, tanpa terasa pipinya merah mengingat semalam ia hanya menghabiskan sepanjang malam dengan suaminya. "Pauline, setiap orang itu punya kesibukan sendiri-sendiri. Begadang bukan hanya mengerjakan tugas, insomnia juga bisa," sahut Elizabeth menanggapi putrinya. "Emmm ... be
"Aku rasa, aku tidak bisa berkumpul dengan para wanita seperti istri rekan kerjamu tadi, Sayang."Hauri menatap Exel yang kini melepaskan kemeja putihnya dan menoleh pada Hauri yang tengah duduk di tepi ranjang kamar mereka. "Bukan tidak bisa, hanya belum terbiasa," jawabnya. "Mereka semua awalnya bertanya tentang kesibukanku, lalu bisnisku, lalu sedikit bertanya-tanya tentang latar belakangku," ujar Hauri bercerita. Dengan iris mata hitamnya, Hauri menatap sang suami lekat-lekat. "Apa memang seperti itu, perbincangan para masyarakat kelas atas?" tanyanya. Exel terdiam sesaat. Laki-laki itu membalikkan badan dan berjalan mendekati sang istri. "Tidak semua. Buktinya Mama ... juga tidak seperti mereka, kan?" "Heem. Aku pikir orang yang aku temui semuanya akan seperti Mama, ternyata tidak." Exel menyahut kimono putih di atas ranjang dan tersenyum pada Hauri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang ganti. Hauri mengembuskan napasnya panjang dan berbaring di atas ranjang. Sampai Exe
Setelah pertengkaran kemarin-kemarin, hubungan Exel dan Hauri kembali terjalin hangat. Exel benar-benar merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya. Malam ini, mereka berdua tampak bersiap-siap pergi. Exel mendapatkan ajakan makan malam bersama para rekan dan sahabatnya di sebuah restoran. Exel pun datang dalam acara itu bersama Hauri. "Sayang...." "Hm?" Exel menoleh menatap Hauri yang memeluk lengannya. "Kenapa?" "Apa temanmu ada yang sudah punya istri?" tanya Hauri."Ada. Ada beberapa dari mereka yang sudah menikah, sepertinya istrinya juga diajak. Nanti kau harus menyapa mereka, oke?" Exel tersenyum mengecup pucuk kepala Hauri. Gadis itu mengangguk. "Iya." Dengan balutan dress panjang berwarna merah, dibalut blazer hitam berbahan hangat, Hauri tampak cantik malam ini. Rambutnya yang sudah panjang sebahu pun tertata rapi dengan hiasan jepit mutiara. Bersama dengan Exel, mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran. Di sana, tampak seorang laki-laki melambaikan t