Setelah kejadian semalam, Elizabeth merasakan interaksi antara dirinya dan Evan tidak kaku seperti dulu lagi. Elizabeth kini membawakan secangkir kopi ke ruangan kerja Evan. Hal ini dulu adalah hal yang setiap hari Elizabeth lakukan tanpa bosan, dan menjadi kerinduan bagi Evan saat Elizabeth tak di sisinya. "Evan, aku membuatkanmu kopi," ujar Elizabeth berjalan masuk ke dalam ruangan itu. "Terima kasih, letakkan di sini saja," jawab Evan menggeser sebuah berkas di atas meja.Elizabeth meletakkan secangkir kopi tersebut dengan berhati-hati. Saat gadis itu hendak beranjak, tiba-tiba Evan menarik lengan Elizabeth dengan pelan. Elizabeth pun terkejut, lantas dia menoleh cepat menatap suaminya. "Tetaplah di sini, temani aku bekerja," pinta Evan, ia menarik satu kursi dan ia tempatkan di sampingnya.Meski awalnya ragu, Elizabeth akhirnya duduk di samping suaminya. Gadis itu mulai bisa merasakan kenyamanan yang dulu tidak pernah bisa dia rasakan sekalipun menjadi istri seorang Evander C
Setelah kemarin Elizabeth sempat kambuh, hari ini gadis itu memutuskan untuk datang ke rumah sakit mengecekkan kondisinya. Elizabeth telah membuat janji dengan Daniel sejak pagi-pagi tadi. Dan sekarang Elizabeth pun usai Daniel tangani. "Apakah kondisiku menurun lagi, Niel?" tanya Elizabeth saat Daniel melepaskan masker penutup hidung dan mulutnya. "Tidak Elizabeth, kondisimu sekarang stabil," jawab Daniel, laki-laki itu membantunya untuk duduk. Elizabeth menatap sahabatnya yang kini menghela napas pelan. "Tapi... Kenapa kemarin aku kambuh? Aku takut kalau kondisiku terus menurun," ujar Elizabeth. Dan respon yang Daniel berikan kini adalah senyuman kecil. Laki-laki dengan balutan jas putih itu justru menarik gemas hidung kecil Elizabeth. "Heii... Sudah berkali-kali aku bilang padamu kan, kalau kau kelelahan, itu juga bisa menjadi faktor kambuhnya sakitmu sekarang," tutur Daniel mengusap lembut pucuk kepala Elizabeth. "Tapi jangan disepelekan, untuk saat ini mungkin tidak papa,
Sementara di rumah, Elizabeth tengah duduk di teras bersama Exel. Wanita itu menemani si kecil yang tengah dibujuk untuk disuapi oleh pengasuhnya. Anaknya yang sangat aktif, Exel selalu berlarian ke sana dan kemari hingga pengasuhnya sangat terlihat stress dan lelah. "Riana, berikan piringnya padaku, biar aku saja yang menyuapi Exel," ujar Elizabeth. Wanita itu langsung mundur satu langkah. "Jangan Nyonya, biar saya saja. Nyonya istirahat saja. Kalau nanti Tuan tahu Nyonya menggantikan pekerjaan saya, nanti Tuan bisa marah." Pengasuh itu selalu mengatakan alasan yang sama setiap hari. Memang Evan selalu memberikan penegasan pada semua pelayan di rumahnya meminta agar mereka tidak membiarkan Elizabeth melakukan pekerjaan apapun. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba dua mobil mewah memasuki pekarangan rumah megah milik Evan. Elizabeth mengerutkan keningnya melihat siapa yang datang. Namun begitu ia melihat Clarisa turun dari mobil yang berbeda dengan Evan, gadis itu sangat ber
Keesokan harinya, Elizabeth mendatangi tempat kerjanya dan ingin bertemu dengan atasannya, setelah ia beberapa hari lamanya tidak aktif bekerja.Elizabeth sudah berada di dalam sebuah ruangan, ia duduk di sebuah sofa tunggal dan menanti-nanti kedatangan Sonya. Sampai akhirnya pintu kayu berwarna cokelat pun terbuka, di sana muncul seorang wanita cantik dengan balutan blazer merah maron, yang langsung melebarkan matanya saat melihat kedatangan Elizabeth. "Oh Elizabeth," sapa Sonya dengan senyuman yang manis. "Selamat siang, Nona Sonya," sapa Elizabeth sedikit menundukkan kepalanya. "Selamat siang juga Elizabeth... Akhir-akhir ini kau jarang sekali terlihat, ya... Padahal aku sangat menunggumu kembali bekerja," ujar Sonya menatap Elizabeth dengan wajah sedih. Elizabeth membalasnya dengan senyuman tipis, ia menjadi tidak enak hati dengan kebaikan Sonya yang selalu mengerti situasi yang Elizabeth rasakan. "Silakan duduk kembali," ujar wanita cantik itu pada Elizabeth. Mereka pun du
Beberapa Minggu Kemudian...Sejak pagi tadi, Elizabeth merasakan tubuhnya tidak nyaman, berkali-kali ia berjalan ke kamar mandi karena perutnya yang terus bergejolak. Elizabeth kini berdiri di dalam kamar mandi dengan tubuh lemasnya. Gadis itu meletakkan telapak tangannya di kening. "Apa yang terjadi, kenapa beberapa hari ini aku tubuhku semakin tidak nyaman?" gumam Elizabeth bingung. Perlahan ia kembali keluar dari dalam kamar. Elizabeth meraih botol obatnya yang berada di dalam laci. "Obatnya masih sama seperti yang Daniel resepkan dulu-dulu, tapi kenapa sekarang membuatku mual dan pusing?" gumam Elizabeth menyeka keringat dingin di wajahnya. Elizabeth menyimpan lagi obatnya dan berjalan ke arah ranjang. Tubuh yang lemas membuat Elizabeth memilih beristirahat sejenak. Pikiran dan hatinya terus diliputi rasa takut. "Mungkin ini karena efek dari obat dari dokter yang selama ini aku minum," gumam Elizabeth memejamkan kedua matanya. Saat Elizabeth memejamkan kedua matanya, tiba-t
Tengah malam Elizabeth pergi ke sebuah hotel. Dan hanya beberapa menit saja perjalanan dari rumah menuju ke tempat itu. Sesampainya di sana, Elizabeth tidak sabar untuk memastikan apakah suaminya benar-benar ada di sana. Rasa penasaran di dalam hatinya tidak padam begitu saja. "Di lantai lima, kamar sembilan enam," gumam Elizabeth menatap layar ponselnya yang telah retak. Ia membaca pesan yang seseorang kirimkan itu padanya. Elizabeth berjalan cepat sembari menahan rasa pusing yang mencekam di kepalanya. Hatinya bahkan masih setia tak percaya seolah-olah Evan tidak mungkin berada di tempat ini. Sampai akhirnya Elizabeth tiba di depan pintu nomor sembilan puluh enam. Jemari tangan Elizabeth terasa kebas dan gemetar saat ia mengulurkan tangannya menyentuh gagang pintu. Dengan sekuat hati, Elizabeth membuka pintu tersebut. Pelan, tanpa suara ia mendorongnya perlahan-lahan. "Ti-tidak mungkin..." Kata itu yang begitu lembut keluar dari bibir Elizabeth. Air mata Elizabeth menetes de
Evan terburu-buru pergi ke rumah sakit dengan wajah dan pikirannya yang kalut dan kacau. Ia tidak percaya dengan kabar yang dia dengar sendiri. Saat tiba di rumah sakit, ia menemukan beberapa polisi yang tadi menghubunginya nampak menunggunya di depan sebuah ruangan, yang sangat ramai oleh lalu lalang dokter dan perawat yang berlari terburu-buru. "Tuan Evander?" sapa seorang polisi tersebut begitu Evan mendekat. "Ya, di mana istriku sekarang? Di mana Elizabeth?" seru Evan panik melihat ruangan yang riuh."Nyonya Elizabeth masih berada di dalam, Tuan." Evan mengusap wajahnya yang memerah tergambar kekalutan yang luar biasa. Dalam hatinya, Evan terus berdoa tanpa henti semoga tidak terjadi hal yang buruk pada istrinya. Namun, saat Evan berdiri menanti-nanti, seorang suster keluar dari dalam ruangan itu membawa sebuah kain yang terbakar. "Tunggu...!" Evan menghentikan langkah suster itu. Ia menatap sisa kain mantel yang terbakar, mantel hangat yang baru satu minggu lalu Evan beli
Setelah pemakaman selesai, Evan masih berada di sana. Dia masih setia duduk di samping tanah peristirahatan terakhir istrinya. Langit yang mendung gelap dan hujan yang lebat seolah bersatu menangis atas kepergian Elizabeth. "Evan, ayo pulang nak, hujan semakin deras." Melody menyentuh dan menarik pundak Evan dengan pelan. "Kalian pulanglah dulu," jawab Evan tertunduk. "Aku masih ingin menemani Elizabeth untuk terakhir kali." Arshen menoleh pada istrinya, mereka berjalan pergi dan menunggu Evan dari kejauhan. Air hujan yang lebat, serta suara guntur di langit seperti cambuk putih membelah langit yang gelap diiringi suara keras mengerikan. Evan tahu, Elizabeth sangat takut dengan suara petir. Ia menundukkan kepalanya, tak bisa dibedakan mana air hujan dan mana air matanya yang mengalir. Hanya suara tangisannya yang terdengar. Tangis penuh dengan seribu penyesalan. 'Selama ini aku telah memperlakukanmu dengan buruk. Tapi kenapa? Kenapa harus secepat ini kau meninggalkanku, Elizab
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja
Napas Pauline tercekat saat ia melihat sosok Xander berdiri di depannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Pauline. Belum lagi Alicia yang kini memeluk kaku Xander dan anak itu berisik terus meminta gendong. "Om, itu Mamaku, ayo ... Alicia mau gendong. Katanya kalau bertemu Alicia mau digendong lagi! Ayoo, gendong!" pekik Alicia berjinjit-jinjit mengulurkan tangannya pada Xander.Lamunan Xander buyar karena anak itu, ia menunduk dan tersenyum pada Alicia. "Iya, Sayang..." Xander langsung menggendong Alicia dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya sebelum ia berjalan mendekati Pauline yang masih diam membeku di tempatnya. Alicia tersenyum lebar memeluk leher Xander dan menyandarkan kepalanya di sana. "Om, Alicia kok tahu kalau Alicia di sini?" tanya anak itu. "Tentu saja Om tahu, Sayang," jawab Xander. Pauline mengerjapkan kedua matanya dan napasnya terengah tiba-tiba. Ia tercengang melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Sejak kapan Alicia dekat dengan Xand
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be
Sore harinya, Exel tidak mengingkari janji untuk mengajak Alicia pergi jalan-jalan dengannya. Bahkan setelah siang tadi Alicia bertemu Exel dan menganggap kalau Exel sungguh-sungguh seorang Papanya, sejak saat itu juga Alicia tidak mau diturunkan dari gendongan Exel. Untung saja, Si kembar tidak banyak protes setelah mereka berdua paham kalau sebenarnya Alicia tidak memiliki Papa. "Dad, kita makan malam di sana yuk, Dad!" ajak Varo menunjuk sebuah rumah makan Jepang. "Iya, Sayang. Jangan lari, Vano!" pekik Exel saat kedua anaknya turun dari dalam mobil. Hauri menoleh pada Alicia yang kini berjinjit meminta gendong pada Exel. "Alicia, mau gendong Mama Hauri?" tawar wanita itu. "Tidak mau. Alicia mau gendong Papa saja, Mama Tante" jawab anak itu. Alicia tidak mau memanggil Mama secara langsung pada Hauri, hingga ia juga menyematkan nama Tante di belakangnya, sampai menjadi Mama Tante. Mereka semua berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut dan memilih tempat yang pas. "Papa,