Exel menghubungi salah satu dokter untuk memeriksa kondisi Hauri. Meskipun pendarahan di hidungnya sudah berhenti, namun hal itu tidak membuat wajah Hauri berkurang pucatnya. Setelah ia meminum beberapa butir obat yang dokter resepkan dan bawakan, Hauri pun tertidur lelap terlentang dengan selimut tebal menutupi tubuhnya hingga dada. Exel bersama Dokter Mariana, mereka berdua duduk di sebuah ruangan yang berada di lantai dua. "Bagaimana keadaan Hauri, dok?" tanya Exel. "Apa ada suatu penyakit yang berbahaya terjadi padanya?" Dokter Mariana mengangguk. "Benar Tuan. Lebih baik Tuan bisa membawa Nona ke rumah sakit untuk mengetahui penyakitnya lebih jelas lagi. Saya sendiri tidak berani menebak atau menganalisa, karena melihat dari ruam di kulit dan bercak-bercak merah di seluruh permukaan kulitnya, sepertinya Nona Hauri menginap penyakit yang sangat serius." Penjelasan Dokter Mariana membuat Exel tercenung. Sejak awal Exel menduga hal ini, tetapi Hauri juga tidak mau, dan benar-ben
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Exel sudah bangun. Laki-laki itu merasakan kebas di lengan kanannya seperti ada beban berat yang bertumpu di sana. Namun saat ia membuka mata, Exel menemukan sosok Hauri yang terlelap dengan begitu cantik menjadikan lengan Exel sebagai bantal. Tidur meringkuk seperti anak kecil, dengan wajahnya yang masih pucat. Exel mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Hauri dengan penuh kasih sayang. "Cepatlah sembuh, Sayang," bisik Exel lirih. Laki-laki itu terdiam menatapi wajah Hauri tanpa bosan, mengingat semalam gadis itu bercerita panjang lebar tentang kenapa dia bisa seperti ini, dan tentang bagaimana bisa menikah dengan Robert, laki-laki yang sama sekali tidak Hauri cintai. Hauri juga mengaku kalau Robert tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Hauri selalu menolak dan memilih dipukuli saat Robert meminta untuk tidur atau menghabiskan malam bersamanya. Karena Hauri tidak mau membohongi dirinya sendiri, ia sangat mencintai Exel lebih dari segala hal
Usai kembali dari rumah sakit, Exel pun pergi ke kantornya. Ia menyempatkan waktu untuk fokus bekerja. Di sana, Exel ternyata sudah ditunggu oleh Serafina. Entah sejak kapan gadis itu berada di sana menantinya. "Exel, kenapa kau datang lebih siang? Aku menunggumu dari jam tujuh," keluh Serafina berjalan mengekori Exel. "Aku sibuk dan tidak punya waktu untuk basa-basi. Jadi, pergilah..." Dengan mudah Exel mengusir Serafina saat itu juga. "A-apa maksudmu? Kau mengusirku?!" pekik Serafina dengan kesal. Langkah Exel terhenti saat itu juga. Ia membalikkan badannya menatap Serafina dengan tatapan dingin dan tajam. "Lebih tepatnya aku tidak punya waktu untuk meladeni gadis sepertimu. Pergilah, Ser..." "Aku akan mengadukanmu pada Opa!" pekik Serafina mengepalkan kedua tangannya kesal. Gadis ini, kekanakan dan licik! Tanpa menjawab atau menentang, saat itu juga Exel kembali membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya lebih lebar dengan Jericho di belakangnya. Exel mengabaikan Seraf
Hari berganti, Hauri tampak ceria seperti biasanya. Pagi ini ia berdiri di teras samping kediaman Exel sembari menatap langit mendung dan menatap salju yang turun dengan tipis dan terasa begitu lembutnya. Suara derap langkah kaki membuat Hauri menoleh cepat. Nampak Ferdion—ajudan Exel yang kini tersenyum dan berjalan ke arahnya. "Selamat pagi, Nona ... Nona sedang apa?" tanya laki-laki itu. "Tidak ada. Senang saja rasanya berdiri di sini," jawab Hauri tersenyum hingga matanya menyipit. Ferdion berdiri di samping pilar yang menjadi jaraknya dengan Hauri saat ini. "Saya senang melihat Nona Hauri tersenyum dan nyaman berada di tempat ini. Saya pikir, Tuan Exel hanya bermain-main tentang Nona yang disakiti oleh suami Nona," ujar Ferdion. "Saya berharap ... Nona bisa di sini lebih dari satu bulan, atau mungkin selamanya. Supaya Tuan bisa menjaga Nona dengan baik." Hauri terhening di tempatnya. Gadis itu mengerjapkan kedua mata sipitnya menatap salju yang turun. Ferdion
Exel mengajak Hauri ke rumah sakit. Gadis itu awalnya sempat menolak ajakannya kemarin, tapi kini mobil Exel sudah sampai di depan gedung rumah sakit. Saat mereka turun dari dalam mobil, Exel mengulurkan tangannya pada sang kekasih. "Ayo, aku sudah membuat janji dengan seseorang," ujarnya. "De-dengan siapa? Ki-kita ke sini tidak untuk aneh-aneh kan? Kau tidak mengajakku mengecekkan kondisiku kan? Aku itu tidak papa, Exel..." Hauri menggerutu sembari memeluk lengan Exel."Sudah, Hau... ikut saja denganku, ayo," ajak Exel. Mau tidak mau, mereka berdua pun bergegas masuk ke dalam rumah sakit. Terasa jelas remasan tangan Hauri di lengan Exel. Memang Exel tahu, sejak dulu Hauri sangat takut dengan jarum suntik, pantaslah dia selalu menghindari semua ini."Exel..." Hauri merengek kecil saat mereka tiba di depan sebuah ruangan. Pintu ruangan itu terbuka, nampak seorang laki-laki berjas putih yang tersenyum pada Exel dan Hauri yang baru saja masuk. "Om, selamat pagi," sapa Exel mengulu
Setelah pemeriksaan beberapa jam lamanya, Daniel meminta Exel dan Hauri untuk pulang. Daniel juga meresepkan sebuah obat untuk Hauri untuk meredakan pusingnya. Hasil pemeriksaan memerlukan banyak waktu, hingga Daniel akan menghubungi Exel bila sudah selesai.Kini, Hauri dan Exel keluar dari dalam rumah sakit. Wajah Hauri semakin pucat saat ini, Exel merangkulnya dengan erat tanpa melepaskannya sama sekali. Hingga mereka sampai di parkiran dan masuk ke dalam mobil. "Apa kepalamu pusing, hem?" tanya Exel mengelus pucuk kepala Hauri. Gadis itu menggeleng. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Exel saat itu juga, bahkan gadis itu menangis pilu dengan menutup wajahnya. Exel tahu, Hauri pasti takut. "Tidak papa, Sayang. Kau pasti akan sembuh, kita tunggu hasilnya beberapa hari lagi, okay?" Exel mengusap air mata di pipi Hauri. Laki-laki itu tersenyum, dia berusaha membuat Hauri yakin kalau dia akan sembuh. "Ke-kenapa baru sekarang aku merasa takut," ucap Hauri di sela isaknya. "Bagaim
"Exel tidak pernah menemui Sera, Opa! Padahal Sera berkali-kali menghubungi Exel, tapi Exel selalu saja mengabaikan Sera!" Omelan itu terdengar dari Serafina, gadis cantik berani bergelombang panjang yang kini datang ke kediaman Arshen dan Melodi dengan wajah marah. Serafina memang jujur, sejak ia bertemu dengan Exel, tak sekalipun Exel peduli dengannya. Padahal Serafina sudah bersemangat dan senang karena dijodohkan dengan Exel, seorang pemimpin perusahaan, tampan dan mempesona, satu-satunya putra penerus dari keluarga Collin. "Terus Sera harus bagaimana, Opa? Apa iya, Sera harus melupakan Exel begitu saja? Perjodohan ini bagaimana? Serafina juga memutuskan untuk menuntaskan kuliah sampai akhir tahun ini demi perjodohan dengan Exel. Kalau Papa tahu, Papa bisa marah." Serafina menatap dua orang tua di hadapannya saat ini. Melodi pun mendekatinya dan mengusap pundak Serafina dengan lembut. "Sera, biar nanti Oma dan Opa yang menasehati Exel ya, Nak. Sera tidak perlu khawatir," buju
Sejak siang hingga sore, Hauri berdiam diri di dalam kamar. Gadis itu menghabiskan waktunya untuk melamun berjam-jam. Hauri mengingat kalau mendiang Papanya memiliki saudara di kota Colmar, tapi Hauri sudah lama tidak menghubungi Bibinya itu. "Huhhh ... apa yang harus aku lakukan? Kalau aku langsung ke Colmar, apa Bibi Veny akan menerimaku? Bibi Veny kan pernah bertengkar hebat dengan Mama." Hauri memeluk kedua lututnya, pandangannya menatap ke arah hujan salju yang turun. "Tapi aku harus mencobanya bertemu dengannya." "Bertemu siapa?" Suara bariton tegas itu membuat Hauri sontak menoleh ke belakang dengan cepat. Sosok Exel berdiri di ambang pintu menatapnya. Hauri menatap Exel terkejut. Sejak kapan laki-laki itu ada di sana? Sorot matanya yang tak seceria seperti biasanya saat ia melihat Exel. Exel melangkah ke arahnya, laki-laki itu mengusap pucuk kepala Hauri dengan lembut. "Kau tadi berbicara sendiri, ingin bertemu siapa, Sayang?" tanya Exel menundukkan kepalanya. Senyuma
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merangkul Pauline. Gadis
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan