Exel membawa Hauri ke rumah sakit malam itu. Meskipun gadis itu senantiasa menolak dan mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, namun Exel tidak bisa dibohongi dengan kondisinya yang buruk. Sesampainya di rumah sakit, Hauri pun langsung ditangani oleh Daniel dan beberapa suster. Hauri tidak pingsan dan ia setia menutup mulutnya dengan tangannya. "Hau, apa kepalamu sangat-sangat pusing, Nak?" hanya Daniel memeriksanya. "Iya Om," jawab gadis itu. "Sabar sebentar, ya..." Daniel menatap beberapa suster dan rekan dokter lainnya untuk membantu menangani Hauri. Bahkan gadis itu dipindahkan ke kamar perawatan yang lain. Exel hanya berjalan mengikutinya. Sampai Hauri dibawa ke dalam ruangan dan Exel menunggu di luar, di lorong yang sangat sepi ia duduk sendirian di sana.Exel terdiam, ia membayangkan dulu Mama Elizabeth-nya sakit dan berjuang sendirian. Betapa sedihnya waktu itu, dan Exel juga masih sangat kecil tidak bisa berbuat apa-apa. "Exel..." Suara bariton Daniel membuyarkan la
"Jadi tidak ada yang tahu kalau Exel akan dijodohkan, ya?" Hauri berucap lirih, gadis itu menatap ke arah luar jendela di dalam kamar rawat inapnya. Mengingat Dokter Daniel pun tidak mengetahui kalau Exel akan dituangkan dengan gadis bernama Sabrina. Itu artinya memang perjodohan itu masih baru saja diikat. "Kenapa aku tidak bisa tenang begini? Kenapa aku bingung bagaimana dengan nasibku?" lirih Hauri tertunduk menatap punggung tangannya tempat jarum infus berada. "Aku harus memantapkan keputusanku. Aku akan pergi ke Colmar ke tempat Bibi Veny." Pintu ruangan itu terbuka, Hauri menatap Exel yang berjalan masuk ke dalam sana membawa paper bag besar di tangannya. Laki-laki itu menatapnya beberapa detik sebelum dia tersenyum. "Bagaimana? Sudah mendingan?" tanya Exel berjalan mendekati Hauri. "Sudah. Om Daniel tadi yang menemaniku, terus ada suster yang memanggilnya. Katanya ada pasien yang sedang drop," jawab gadis itu.Exel mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Hauri dengan
"Aku sudah mempunyai kekasih, Oma. Dia adalah teman masa kecilku dulu, dia bernama Hauri. Aku yakin Oma pasti mengenal dengan gadis itu." Penjelasan Exel membuat Melodi sedikit terkejut, pasalnya wanita tua itu juga tahu tentang Hauri. Apalagi keluarga Hauri dulunya juga sangat cukup sering didengar, dari kejayaan perusahaannya, hingga kejatuhannya bahkan namanya kini yang tidak lagi terdengar. "Ha-Hauri...." Melodi berucap lirih. "Di mana dia sekarang, Nak? Oma tidak pernah mengetahui keberadaannya setelah Papanya meninggal." "Hauri ada bersamaku, Oma. Sekarang dia sedang sakit dan kondisinya juga sangat menurun," ujar Exel jujur. "Hauri sakit seperti Mama Elizabeth dulu." "Hah?" Melodi semakin terkejut. "Kanker darah?" Exel mengangguk. "Iya Oma. Bahkan sekarang aku meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Itu lah alasan kenapa aku jarang menemui kalian, karena aku sibuk bekerja dan sibuk menjaga Hauri." Berkali-kali Exel mengusap wajahnya, ia tidak mau menunjukkan seberapa b
Exel sampai di rumah sakit setelah beberapa menit perjalanan. Saat ia tiba, di sana Exel melihat Hauri tengah bersama Ferdion dan meraka sepertinya tengah berbincang serius. Perlahan Exel menghentikan langkahnya di depan pintu dan memperhatikan mereka dari celah pintu yang sedikit terbuka. "Aku mendengar pertengkaran Exel dan Opanya kapan hari. Saat itu juga aku tahu, kalau laki-laki yang aku cintai akan menikah dengan gadis lain," ujar Hauri pada Ferdion. "Tetapi ... aku rasa ini semua impas. Tidak papa. Aku juga pernah menyakiti Exel dan meninggalkannya untuk menikah dengan Robert. Aku akan menerima ini dengan lapang dada." "Lalu apa yang akan Nona lakukan? Kenapa Nona bertanya-tanya tentang kota Colmar?" tanya Ferdion. Hauri tertunduk menangis meremas selimutnya. "Aku ingin pergi, aku tidak mau menjadi beban untuk Exel. Keberadaanku di sini sangat tidak pantas karena aku masih berstatus istri dari Robert. Tetapi ... aku menjadi beban berat untuk Exel." Ferdion tidak menjawab,
Kondisi Hauri sudah lebih baik hari ini. Daniel selaku dokter yang menangani Hauri pun mengizinkannya untuk pulang. Bersama Exel yang selalu menemaninya, Hauri kini keluar dari dalam gedung rumah sakit. "Exel ... aku pulang ke rumahku sendiri, ya," pinta Hauri sembari dirangkul oleh Exel. "Tidak usah. Kalau di sana siapa yang akan merawatmu nanti, Hau?" Exel bersikeras. Laki-laki itu membuka pintu mobilnya. Sejak pagi tadi, Hauri sudah membujuk Exel kalau dia akan pulang sendiri, tapi Exel tetap saja melarangnya!Hauri masuk ke dalam mobil, di depan ada Jericho yang mengemudikan mobil milik Exel. Sepanjang perjalanan Hauri hanya diam dan melamun. Meskipun Exel seolah-olah tahu kalau Hauri ingin pergi, dan melarangnya dengan cara apapun. Tapi rasanya hal itu tidak bisa menghentikan Hauri. "Tuan Exel, pagi tadi Opa menghubungi saya. Katanya jam sembilan nanti ada meeting penting, Tuan Exel yang diminta untuk datang," ujar Jericho. "Kan masih jam sembilan nanti, Paman. Sekarang ma
Sedangkan Exel, ia menemui Oma-nya sendirian. Padahal pagi ini, Melodi ingin bertemu dengan Hauri dan memastikan kondisi gadis itu baik-baik saja. Tetapi, justru kini Melodi melihat cucu laki-lakinya masuk ke dalam rumah seorang diri. "Loh, kekasihmu mana, Exel? Kau bilang pada Oma tadi katanya dia pulang dari rumah sakit pagi ini denganmu. Sekarang, mana dia?" tanya Melodi menatap cucu laki-lakinya. Exel melepaskan mantel yang ia pakai dan melemparkannya ke arah sofa dengan kasar. "Dia meminta pulang," jawab Exel dengan nada kesal. "Pu-pulang, bagaimana? Kau bilang dia sedang sakit, bagaimana bisa kau mengizinkan dia pulang, Exel?!" pekik Melodi menatap tajam cucu laki-lakinya itu. "Dia yang meminta untuk pulang, Oma. Aku sudah melarangnya, tapi dia sangat keras kepala!" pekik Exel, ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Melodi berdiri dengan tongkat berwarna silver yang menjadi penyangga berdirinya. Tatapan wanita tua itu menajam ke arah Exel. Seperti tidak bisa lagi rasany
Exel mencari Hauri di rumahnya, namun rumah itu terkunci rapat dan tidak menunjukkan keberadaan gadis itu di sana. Ia mencari-cari di mana kekasihnya saat ini. Exel panik sendiri, menanti-nanti Hauri di depan rumah gadis itu. "Ke mana Hauri? Kenapa dia tidak ada?" seru Exel kesal. "Paman Jericho bilang dia mengantarkan Hauri ke rumahnya, tapi kenapa dia tidak ada?!"Exel mengacak rambutnya, menghubungi Hauri berkali-kali dan tidak ada dijawab juga. "Hauri ... Hauri, kau ke mana, Hau?!" rutuk Exel kesal. Sejenak Exel terdiam. Pikirannya yang diam-diam menakutinya sendiri, Exel tersentak pelan, saat benaknya menebak kalau saja kini Hauri tengah bersama dengan Robert. Rasa khawatir di dalam hatinya pun kian membuncah saat itu juga. Exel kembali masuk ke dalam mobilnya, ia mencari Robert saat itu juga. Exel tahu, Robert memiliki sebuah apartemen di tengah kota. Jericho yang memberikan informasi ini padanya sejak dia menyelidiki tentang Robert beberapa minggu yang lalu. "Sampai dia
Di tempat lain, Hauri berjalan membawa keranjang berisi kelopak bunga mawar di dalam keranjang rotan. Dan bunga bouquet putih dalam pelukannya. Gadis itu berjalan dengan langkah lemahnya memasuki kawasan tanah pemakaman, di hamparan ilalang yang luas di seberang sana. Dan langit jingga luar membentang membuat nyeri di hati dan tubuh Hauri semakin menyiksa. Hauri menghentikan langkahnya di sebuah gundukan tanah dan sebuah papan bertuliskan nama mendiang Papanya. Senyuman terukir indah di bibir Hauri seketika. "Papa ... Hauri datang, Pa," ucap gadis itu. Perlahan, ia menabur kelopak mawar merah di dalam keranjang ke atas gundukan tanah di mana Papanya dikebumikan. Hauri juga meletakkan bouquet bunga yang ia bawa. "Papa, Hauri ingin meminta maaf pada Papa. Mungkin selama ini Hauri jarang berkunjung. Dan ... sekarang Hauri ingin mengatakan hal yang begitu membuat hati Hauri sedih," lirih gadis itu tertunduk menangis. "Besok pagi, Hauri akan pergi ke Colmar. Hauri akan tinggal dengan
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja