Exel mencari Hauri di rumahnya, namun rumah itu terkunci rapat dan tidak menunjukkan keberadaan gadis itu di sana. Ia mencari-cari di mana kekasihnya saat ini. Exel panik sendiri, menanti-nanti Hauri di depan rumah gadis itu. "Ke mana Hauri? Kenapa dia tidak ada?" seru Exel kesal. "Paman Jericho bilang dia mengantarkan Hauri ke rumahnya, tapi kenapa dia tidak ada?!"Exel mengacak rambutnya, menghubungi Hauri berkali-kali dan tidak ada dijawab juga. "Hauri ... Hauri, kau ke mana, Hau?!" rutuk Exel kesal. Sejenak Exel terdiam. Pikirannya yang diam-diam menakutinya sendiri, Exel tersentak pelan, saat benaknya menebak kalau saja kini Hauri tengah bersama dengan Robert. Rasa khawatir di dalam hatinya pun kian membuncah saat itu juga. Exel kembali masuk ke dalam mobilnya, ia mencari Robert saat itu juga. Exel tahu, Robert memiliki sebuah apartemen di tengah kota. Jericho yang memberikan informasi ini padanya sejak dia menyelidiki tentang Robert beberapa minggu yang lalu. "Sampai dia
Di tempat lain, Hauri berjalan membawa keranjang berisi kelopak bunga mawar di dalam keranjang rotan. Dan bunga bouquet putih dalam pelukannya. Gadis itu berjalan dengan langkah lemahnya memasuki kawasan tanah pemakaman, di hamparan ilalang yang luas di seberang sana. Dan langit jingga luar membentang membuat nyeri di hati dan tubuh Hauri semakin menyiksa. Hauri menghentikan langkahnya di sebuah gundukan tanah dan sebuah papan bertuliskan nama mendiang Papanya. Senyuman terukir indah di bibir Hauri seketika. "Papa ... Hauri datang, Pa," ucap gadis itu. Perlahan, ia menabur kelopak mawar merah di dalam keranjang ke atas gundukan tanah di mana Papanya dikebumikan. Hauri juga meletakkan bouquet bunga yang ia bawa. "Papa, Hauri ingin meminta maaf pada Papa. Mungkin selama ini Hauri jarang berkunjung. Dan ... sekarang Hauri ingin mengatakan hal yang begitu membuat hati Hauri sedih," lirih gadis itu tertunduk menangis. "Besok pagi, Hauri akan pergi ke Colmar. Hauri akan tinggal dengan
Malam ini Hauri berkemas dan bersiap. Gadis itu membawa semua pakaiannya ke dalam tas besar miliknya. Dia akan pergi ke stasiun tengah malam. Meskipun keretanya berangkat besok pagi, namun ia tidak mau Exel datang ke sini besok pagi-pagi sekali hanya untuk menggagalkan rencananya. Tepat pukul sebelas malam, Hauri keluar dari dalam rumahnya. Ia berdiri di halte menunggu bus kota yang beroperasi di malam hari. "Hufftt ... dinginnya malam ini," gumam Hauri mengusap kedua telapak tangannya. Gadis itu membuka ponselnya, dia membaca pesan dari Bibinya yang mengatakan besok siang Bibinya akan menunggu di stasiun Colmar.Hauri tersenyum senang mendengar hal itu. Tentu saja ia bersemangat. "Aku tidak sabar bertemu dengan Bibi Veny. Pasti Bibi Veny juga merasakan hal yang sama." Cukup lama Hauri duduk di bangku halte, sampai akhirnya sebuah bus berhenti di sana. Segera Hauri masuk ke dalam bus dan ia memilih tempat duduk yang nyaman. Hauri tidak menghubungi Exel atau mengirim pesan apapu
Exel mendatangi kediaman Hauri, rumah itu benar-benar kosong. Bahkan gorden ditutup rapat dan tidak ada tanda-tanda keberadaan siapapun di dalam sana. Ponsel Hauri juga tidak bisa lagi dihubungi. Exel tidak tahu Hauri pergi ke mana, namun ia yakin gadis itu pasti benar-benar belum pergi meninggalkan Paris. Ponsel Exel tiba-tiba berdering, nama Jericho terpampang di layar ponselnya. Segera ia menjawabnya dengan cepat. "Halo, Paman Jericho?" jawab Exel dengan suara paniknya. "Halo Tuan, ada pemberitahuan sebentar lagi akan ada badai salju. Tuan, sejak semalam salju sudah sangat lebat, tidak mungkin kalau ada kendaraan mobil atau bus pergi ke arah luar kota Colmar, coba Tuan pergi ke stasiun sebelum pukul tujuh, saya yakin Hauri pasti ada di sana," jelas Jericho di balik panggilan itu. "Aku ke sana sekarang." Panggilan itu langsung diputus oleh Exel begitu saja. Saat itu juga Exel bergegas masuk ke dalam mobilnya dan bergegas pergi menuju ke stasiun seperti yang Jericho sarankan.
"Hauri, Sayang bangun ... Hauri!" Exel memekik keras-keras saat kekasihnya pingsan dengan keadaan menggigil kedinginan. Satu petugas tadi pun mendekati Exel dengan wajah panik. Namun dia tidak berani mengatakan apapun, apalagi melihat Exel menangis memeluk Hauri. Exel tidak bisa menahan air matanya saat wajah pucat Hauri begitu menghantuinya saat ini. "Sayang, bertahanlah," lirih Exel melepaskan syal hitam yang ia pakai dan memakaikan pada Hauri. "Tuan, pakaian mantel yang Tuan pakai untuk selimut," ujar penjaga itu pada Exel. Saat itu juga Exel melepaskan mantelnya dan menyelimutkan pada Hauri, mendekapnya dengan seerat mungkin. Exel mengambil ponselnya dan menghubungi Jericho saat itu juga. "Halo, Paman ... datanglah ke stasiun sekarang. Aku tidak mau tahu apapun yang terjadi di luar, datanglah sekarang, Paman!" pekik Exel dengan suara sedihnya, ia hampir menangis. "Baik Tuan. Saya ke sana sekarang!" Panggilan itu langsung tertutup. Exel menatap Hauri yang mulai bernapas d
Melodi tersenyum saat Hauri menyapanya dengan wajah terkejut. Ia mampu menebak, pasti gadis itu takut dengan keberadaannya saat ini. Begitu Melodi mendekat, Hauri hendak bangun dan menyibak selimutnya. Namun Exel lebih dulu mendekat dan melarangnya."Tidak papa, duduk saja di situ. Tubuhmu masih belum fit betul, Nak," ujar Melodi pada Hauri. "Iya Oma," jawab Hauri lirih. Melodi duduk di samping Hauri dan menatap lekat wajah ayu gadis itu. "Kenapa takut dengan Oma? Apa Oma menyeramkan?" tanya Melodi terkekeh kecil. Ekspresi Hauri yang semula takut, kini menjadi samar ia tersenyum. "Maaf, Oma," cicit gadis itu. "Hauri sudah lama tidak melihat Oma." "Iya. Oma juga sering melihatmu saat kau masih kecil, dulu sering membawa Exel pulang ke rumahmu sampai Oma dan Papanya Exel bingung mencari-cari," ujar Melodi. "Tapi sekarang lihat, kau yang mengejutkan Oma. Kau dulu sangat kecil dan cengeng, sekarang sudah tumbuh besar dan secantik ini. Pantas saja kalau Exel tidak bisa berpaling dar
"Maafkan aku Hidan, sepertinya perjodohan Sera dan Exel tidak bisa kita lanjutkan ... aku tidak ingin memaksakan perasaan Exel."Wajah Hidan dan istrinya terkejut ketika mendengar apa yang Arshen katakan barusan. Kini, Arshen dan Exel mendatangi kediaman Hidan untuk membatalkan perjodohan itu. Meskipun pada awalnya pernikahan itu hanya untuk kelancaran bisnis, namun pada dasarnya perasaan cinta tidak bisa dipaksakan. Hidan menyergah napasnya panjang. "Tidak papa, Tuan Arshen. Saya paham. Sejak awal saya melihat Exel, saya tahu kalau Exel kemungkinan besar sulit menerima Serafina, apalagi putriku itu sangat manja dan keras kepala," ujar Hidan tersenyum tipis. "Sera juga punya laki-laki yang dia sukai, sebenarnya..." Risele menyela.Kening Exel mengerut mendengar hal itu. Sera punya lelaki yang disukai?Baguslah bila perjodohan ini batal, gadis itu memang tidak baik sejak awal. "Saya minta maaf, Om dan Tante. Sampaikan juga maaf saya pada Sera," ujar Exel menundukkan kepalanya mem
Setelah Hauri mengetahui semuanya, gadis itu merasa lega. Berbulan-bulan lamanya ia disiksa oleh Robert dalam keadaan sakit, dan bersyukurnya ia kalau laki-laki itu ternyata bukan siapa-siapanya. Hauri mengerjapkan kedua matanya saat ranjang yang ia tempati kini bergerak. Exel tak tahu kalau Hauri tidak tidur, ia memeluknya dari belakang dan mengecup pucuk kepala gadis itu berulang kali. "Hem? Kau tidak tidur?" Exel terkejut saat gadis itu meraih tangannya. "Aku tidak bisa tidur," jawab Hauri, sebelum ia menunjuk ke arah luar jendela kamarnya. "Exel lihat, di batang pohon yang besar itu ada tupainya. Dia membawa sesuatu dari luar dan masuk ke dalam terowongan di batang pohon itu lagi berkali-kali," ujar Hauri.Exel menarik selimut menutupi tubuh Hauri dan ia diam memeluknya. "Apa kau menyukainya?" tanya Exel berbisik."Heem. Aku kasihan, pasti dia punya anak di dalam terowongan itu. Bagaimana kalau kita lihat ke luar?" Hauri berbalik menatap Exel. Alih-alih menjawab, Exel malah
Malam ini Hauri tidak bisa tidur. Gadis itu bingung memikirkan bahwa besok Exel dan keluarganya akan mengadakan pesta. Hauri juga akan ikut diajak pergi ke pesta tersebut. Dan kini, Hauri belum tertidur sampai pukul sebelas malam. Sedangkan Exel sedang pergi keluar bersama Evan dan Arthur untuk mengurus keperluan kantor."Aku pakai gaun yang mana ya, untuk besok? Aku takut salah memakai pakaian, nanti penampilanku malah membuat Exel malu," gerutu Hauri, gadis itu mengusap wajahnya bingung. Hauri kembali membuka lemari pakaiannya. Di dalam lemari kayu berwarna putih itu, berisi penuh pakaian-pakaian baru yang Elizabeth dan Exel belikan untuk Hauri. Gaun-gaun dan dress-dress mahal yang tertata rapi di dalam lemari tersebut sampai Hauri bingung ingin memakai yang mana. "Hemm ... mungkin Pauline besok akan ikut. Apa aku meminta pendapat Pauline saja, ya?" Hauri segera meraih ponselnya di atas nakas, ia mencoba mengirimkan pesan pada Pauline dan Pauline membaca pesanannya. Segera Hau
Setelah kembali dari taman, Exel segera membawa Hauri untuk pulang, karena Elizabeth sudah berkali-kali menghubunginya dan memintanya agar segera membawa Hauri pulang. Sesampainya di rumah, ternyata semuanya sedang berkumpul di sana. Termasuk ada kedua orang tua Exel yang duduk berdua di ruang keluarga, mereka terlihat menanti kedatangan Exel dan Hauri. "Exel, kemarilah..." Evan melambaikan tangannya. Dengan hati-hati, Exel berjalan mendekati Mama dan Papanya bersama Hauri.Elizabeth tersenyum manis saat Hauri duduk di sampingnya. Wajah pucat Hauri membuat Elizabeth merasa kasihan tiap menatap gadis ini. Melihat kondisi Hauri, Elizabeth merasa seperti bercermin pada kondisinya di masa lalu. "Bagaimana kata dokter tadi setelah terapi, Nak?" tanya Elizabeth mengusap pipi Hauri yang memerah kedinginan. "Exel yang bertemu Dokter William, Ma. Hauri tadi masih di ruang perawatan," jawab Hauri dengan suara lirih. Kedua orang tuanya lantas melirik Exel dengan tatapan lekat. "Bagaimana
"Setelah acara pesta kenaikan jabatan Exel menjadi COO, bantu aku mempersiapkan acara pernikahan Exel." Suara tegas Evan membuat Jericho menoleh menatapnya yang kini duduk di kursi COO di ruangan Exel. Ia sibuk mengecek beberapa berkas untuk meeting siang ini. "Apa Tuan yakin akan segera menikahkan mereka?" tanya Jericho dengan nada tak yakin. "Mau bagaimana lagi, Exel sangat bersikeras menikahi Hauri dalam waktu dekat. Aku takut bagaimana perasaan putraku, Jer," ujar Evan dengan wajah sedih. "Aku pernah ada di posisinya. Aku hanya takut Exel menyesal di kemudian hari." "Iya Tuan. Saya menyayangkan Hauri, kenapa gadis itu bisa memiliki penyakit keras seperti itu..." Jericho memasang wajah sedih dan khawatir. Sedangkan Evan, dia duduk bersandar di kursi kerja Exel dan mendongakkan kepalanya. "Bahkan leukimia yang diderita Hauri sudah memasuki stadium tiga, Jer. Hebatnya ... gadis itu masih bisa tersenyum dan bertingkah seolah-olah dirinya sehat dan baik-baik saja. Meskipun kondis
"Menikah, kau bilang?" Evan menatap putranya dengan serius. Laki-laki itu terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Exel menatap Papanya lekat-lekat, apakah Papanya tidak percaya? Atau mungkin ucapannya terdengar seperti lelucon? "Aku serius, Pa," kata Exel lagi. "Papa tahu kau serius, Exel. Tapi setidaknya lihatlah kondisi Hauri. Tidak hanya itu, kondisi sekitar juga sangat penting!" seru Evan menjelaskan. "Paling tidak, sampai Hauri sembuh lima puluh persen dulu. Jangan sampai terdengar orang di luaran sana kalau istrimu sakit-sakitan, apa kau tidak kasihan padanya kalau dia semakin dihujat? Kau yakin Hauri akan baik-baik saja kalau dia mendengar ocehan orang tentangmu?"Exel bungkam seketika, bibirnya mengatup rapat. Untuk pertama kali ada permintaannya yang ditolak oleh sang Papa. Namun Exel sadar bila alasan yang Papanya berikan juga yang terbaik untuknya.Tetapi, Evan yang menatap ekspresi sedih Exel saat ini membuatnya tidak tega. Evan yakin kalau Exel pasti takut. Dia
Hari sudah malam, Exel dan Hauri duduk berdua di balkon lantai dua. Mereka menikmati angin malam di penghujung musim dingin. Semenjak pindah dan tinggal di Berlin, Exel melihat banyak hal dari Hauri yang kemarin-kemarin tidak pernah ia ketahui. Dari Hauri mudah tersenyum, bahkan kadang Hauri menjadi sangat cerewet saat berdebat dengan Pauline. Seperti saat ini, Exel tengah menatapnya dari samping, menikmati wajah cantik gadis itu. "Emmm ... Exel, kenapa menatapku seperti itu?" tanya Hauri menyipitkan kedua matanya. "Tidak papa, kau sangat cantik malam ini," jawab Exel mengecup pipinya. "Exel..." Hauri mendorong wajah Exel dan ia tersenyum manis. Kata-kata manis, perlakuan yang lembut, adalah hal yang selalu Exel berikan pada Hauri hampir setiap hari. Exel menarik pundak Hauri untuk bersandar padanya. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya dengan tenang. "Apa besok ada jadwal ke rumah sakit lagi, Sayang?" tanya Exel. "Heem. Tapi siang, karena paginya Mama masih di butik," jawa
Setelah pergi dengan Pauline siang tadi, Exel mengomeli Hauri dan adiknya itu dengan kesal. Bukan tidak mengizinkan, hanya saja kondisi Hauri sedang sakit. Namun kenyataannya, Hauri justru malah memarahi Exel karena terlalu mengomeli Pauline. "Ulangi sekali lagi ya, kau mengajakmu Kak Hauri pergi tanpa sepengetahuan Kakak!" pekik Exel pada Pauline. Pauline mencebikkan bibirnya kesal berjalan di depan Exel membawa tasnya. Sementara Hauri bersama Exel, gadis itu terus memukuli lengan kekasihnya dengan kesal. "Sudah Sayang, aku yang mengajak Pauline. Kau tidak usah memarahinya seperti itu!" seru Hauri pada Exel. "Harusnya kan dia mikir, kau itu sedang sakit! Kau juga, sedang sakit kenapa malah pergi?!" pekik Exel menatapnya geram."Aku tadi—""Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Suara Elizabeth membuat Exel dan Hauri menoleh, di belakangnya ada Pauline yang memeluk sang Mama dengan erat. Tentu saja, Pauline mengadu pada Mamanya. Itulah jurus andalan Pauline saat dimarahi oleh Exel,
Hari sudah sore, Exel hanya berdua dengan Lafenia di ruangan kerjanya. Gadis cantik bermata abu-abu itu sudah lama mengenalnya, dia adalah asisten pribadi yang dibawa Fredrik ke Zerenith Grup dan kini menjadi asisten pribadi Exel. "Laf, apa semua berkas-berkas hasil keputusan meeting sudah kau berikan pada Paman Jericho?" tanya Exel menatap gadis itu. "Sudah semuanya," jawab Lafenia. "Bagus." Exel mengangguk. "Ini sudah jam pulang, aku harus kembali cepat." Lafenia merapikan meja kerjanya sembari menatap Exel yang kini tengah memakai tuxedo hitamnya. Seharian ini, Exel tidak banyak bicara seperti dulu-dulu. Exel yang Lafenia kenali, dia adalah atasan yang tegas dan memberikan banyak pengarahan. Namun, setelah diangkat menjadi COO dan kembali dari Prancis, sosok Exel menjadi pendiam, juga dingin. "Pak Exel, tunggu!" pekik Lafenia mengejar Exel yang berjalan lebih dulu keluar dari dalam ruangannya. Mereka berjalan bersama, Lafenia mendongak menatap Exel dari samping. Saat hanya
"Wah, Pak Exel sudah kembali ke sini..." "Kabarnya beliau pindah menjadi pimpinan di perusahaan Kakeknya di Prancis. Tapi rumornya dia kembali bersama seorang wanita, benarkah?" Suara-suara bisikan para karyawan di kantor menyambut kedatangan Exel pagi ini. Laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam itu berjalan di belakang Papanya membawa beberapa map berkas di tangannya. Exel memang kembali ke Berlin, tetapi dia tidak melupakan tugasnya untuk mengawasi perusahaan milik Kakeknya yang dipegang oleh Paman Jonas, laki-laki yang menjadi satu-satunya orang kepercayaan sang Kakek. "Exel," panggil Evan lirih. "Ya, Pa?" "Kau dengar, bisikan semua orang?" tanya Evan, dia tersenyum tipis pada Exel. "Aku tidak peduli," jawab Exel santai. Evan sudah menduga hal ini. Mungkin sikapnya yang seperti ini memang menurun dari Evan. "Banyak karyawan yang galau saat Tuan Muda tidak bekerja di sini. Termasuk Lafenia, dia mencari menunggu Tuan pulang," sahut James berjalan di samping Exel. "Dia juga
"Sarapan yang banyak, semalam kau lupa minum obat, kan?" Ucapan penuh perhatian itu terucap dari bibir Exel pada sosok Hauri yang kini duduk di antara keluarganya di ruang makan. Gadis cantik berambut sebahu itu mengangguk kecil. "A-aku tertidur saat bersama Pauline. Aku lupa belum meminumnya," jawab Hauri. "Tidak papa, sekarang Hauri sarapan dulu yang kenyang. Nanti, jam sembilan ikut Mama ke rumah sakit. Mama sudah menghubunginya seorang dokter yang akan menangani Hauri," ujar Elizabeth dengan tenang dia berkata. "Ikutlah dengan Mama Elizabeth, Hau. Jangan khawatirkan kondisimu selama di sini, Papa yakin kau akan segera sembuh." Evan ikut menatap gadis itu. "Selama kau berada di antara kami, itu artinya kau sama seperti anak kami sendiri." Mendengar ungkapan Elizabeth dan Evan yang begitu tulus, Hauri merasa sedih. Mereka menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Betapa beruntungnya Hauri masih memiliki mereka di dunia ini. Belum lagi, masih ada Pauline yang menjadi adik se