"Hauri, Sayang bangun ... Hauri!" Exel memekik keras-keras saat kekasihnya pingsan dengan keadaan menggigil kedinginan. Satu petugas tadi pun mendekati Exel dengan wajah panik. Namun dia tidak berani mengatakan apapun, apalagi melihat Exel menangis memeluk Hauri. Exel tidak bisa menahan air matanya saat wajah pucat Hauri begitu menghantuinya saat ini. "Sayang, bertahanlah," lirih Exel melepaskan syal hitam yang ia pakai dan memakaikan pada Hauri. "Tuan, pakaian mantel yang Tuan pakai untuk selimut," ujar penjaga itu pada Exel. Saat itu juga Exel melepaskan mantelnya dan menyelimutkan pada Hauri, mendekapnya dengan seerat mungkin. Exel mengambil ponselnya dan menghubungi Jericho saat itu juga. "Halo, Paman ... datanglah ke stasiun sekarang. Aku tidak mau tahu apapun yang terjadi di luar, datanglah sekarang, Paman!" pekik Exel dengan suara sedihnya, ia hampir menangis. "Baik Tuan. Saya ke sana sekarang!" Panggilan itu langsung tertutup. Exel menatap Hauri yang mulai bernapas d
Melodi tersenyum saat Hauri menyapanya dengan wajah terkejut. Ia mampu menebak, pasti gadis itu takut dengan keberadaannya saat ini. Begitu Melodi mendekat, Hauri hendak bangun dan menyibak selimutnya. Namun Exel lebih dulu mendekat dan melarangnya."Tidak papa, duduk saja di situ. Tubuhmu masih belum fit betul, Nak," ujar Melodi pada Hauri. "Iya Oma," jawab Hauri lirih. Melodi duduk di samping Hauri dan menatap lekat wajah ayu gadis itu. "Kenapa takut dengan Oma? Apa Oma menyeramkan?" tanya Melodi terkekeh kecil. Ekspresi Hauri yang semula takut, kini menjadi samar ia tersenyum. "Maaf, Oma," cicit gadis itu. "Hauri sudah lama tidak melihat Oma." "Iya. Oma juga sering melihatmu saat kau masih kecil, dulu sering membawa Exel pulang ke rumahmu sampai Oma dan Papanya Exel bingung mencari-cari," ujar Melodi. "Tapi sekarang lihat, kau yang mengejutkan Oma. Kau dulu sangat kecil dan cengeng, sekarang sudah tumbuh besar dan secantik ini. Pantas saja kalau Exel tidak bisa berpaling dar
"Maafkan aku Hidan, sepertinya perjodohan Sera dan Exel tidak bisa kita lanjutkan ... aku tidak ingin memaksakan perasaan Exel."Wajah Hidan dan istrinya terkejut ketika mendengar apa yang Arshen katakan barusan. Kini, Arshen dan Exel mendatangi kediaman Hidan untuk membatalkan perjodohan itu. Meskipun pada awalnya pernikahan itu hanya untuk kelancaran bisnis, namun pada dasarnya perasaan cinta tidak bisa dipaksakan. Hidan menyergah napasnya panjang. "Tidak papa, Tuan Arshen. Saya paham. Sejak awal saya melihat Exel, saya tahu kalau Exel kemungkinan besar sulit menerima Serafina, apalagi putriku itu sangat manja dan keras kepala," ujar Hidan tersenyum tipis. "Sera juga punya laki-laki yang dia sukai, sebenarnya..." Risele menyela.Kening Exel mengerut mendengar hal itu. Sera punya lelaki yang disukai?Baguslah bila perjodohan ini batal, gadis itu memang tidak baik sejak awal. "Saya minta maaf, Om dan Tante. Sampaikan juga maaf saya pada Sera," ujar Exel menundukkan kepalanya mem
Setelah Hauri mengetahui semuanya, gadis itu merasa lega. Berbulan-bulan lamanya ia disiksa oleh Robert dalam keadaan sakit, dan bersyukurnya ia kalau laki-laki itu ternyata bukan siapa-siapanya. Hauri mengerjapkan kedua matanya saat ranjang yang ia tempati kini bergerak. Exel tak tahu kalau Hauri tidak tidur, ia memeluknya dari belakang dan mengecup pucuk kepala gadis itu berulang kali. "Hem? Kau tidak tidur?" Exel terkejut saat gadis itu meraih tangannya. "Aku tidak bisa tidur," jawab Hauri, sebelum ia menunjuk ke arah luar jendela kamarnya. "Exel lihat, di batang pohon yang besar itu ada tupainya. Dia membawa sesuatu dari luar dan masuk ke dalam terowongan di batang pohon itu lagi berkali-kali," ujar Hauri.Exel menarik selimut menutupi tubuh Hauri dan ia diam memeluknya. "Apa kau menyukainya?" tanya Exel berbisik."Heem. Aku kasihan, pasti dia punya anak di dalam terowongan itu. Bagaimana kalau kita lihat ke luar?" Hauri berbalik menatap Exel. Alih-alih menjawab, Exel malah
Usai rencana pergi ke Colmar gagal, Hauri menjadi gelisah karena ia urung bertemu dengan keluarganya di sana. Meskipun setiap hari ia juga menghubungi Bibi Veny, namun hal itu tidak mengobati rindu di hati Hauri pada Bibinya tersebut. Hingga Hauri sering-sering melamun. Seperti sore ini, Hauri duduk diam di balkon lantai dua. Ia baru saja menghubungi Bibinya, dan Bibinya berkata kalau dia sudah menyiapkan segala hal untuk kedatangan Hauri, tetapi justru Hauri tidak datang ke sana. "Sayang ... kau di mana? Hau..." Suara Exel memanggilnya berkali-kali membuat Hauri langsung menoleh cepat ke arah pintu.Barulah laki-laki itu menemukan keberadaannya. Exel berjalan mendekatinya membawa sebuah paper bag di tangannya. "Kenapa di sini sendiri? Aku pikir kau di bawah dengan Bibi," ujar Exel. "Ini, aku belikan cake stroberi untukmu." "Terima kasih, Exel," ucapnya. "Heem. Sama-sama..." Exel melepaskan tuxedo hitamnya, laki-laki itu duduk menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit
"Om, bagaimana hasil pemeriksaan Hauri? Apa kondisinya membaik?" Exel kini hanya berdua dengan Daniel di dalam ruangan pribadi Dokter itu. Sedangkan Hauri menunggu di ruang sebelah untuk beristirahat beberapa saat usai menjalani sebuah pengobatan. Daniel mengembuskan napasnya pelan. "Om pikir perkembangan Hauri akan membaik, tetapi justru sebaliknya, Exel." "Ma-maksud Om?" Exel menatap lekat wajah Daniel yang terlihat sedih. "Kanker yang berada dalam tubuh Hauri bisa dikatakan masuk ke dalam kategori stadium dua, Exel. Tapi Hauri terlihat seolah baik-baik saja, meskipun sebenarnya tubuhnya juga lemas dan sakit semua. Dulu Mamamu saat mengalami hal yang sama seperti Hauri saat ini, Mamamu dia hari sekali ke rumah sakit, dan mudah pingsan. Tapi kau lihat Hauri ... dia bahkan bisa bertahan dan masih terlihat baik-baik saja, dia menahan semua sakitnya." Penjelasan Daniel membuat Exel bungkam. Benar sekali apa yang Daniel katakan, Hauri memang ingin terlihat baik-baik saja, meskipun s
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Exel baru saja kembali dari rumah sang Kakek. Ia sengaja berpamitan sekarang pada Kakeknya untuk pulang ke Berlin. Tadinya, Exel pikir kalau Kakeknya akan marah, tapi ternyata Kakeknya mengizinkan Exel pulang dan tetap mengurus perusahaan di bawah naungan Exel dan Evan yang jauh di Jerman nanti. Kini, Exel berjalan masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu melihat Hauri berdiri di dapur seorang diri, dia tengah membuat sesuatu. "Apa yang dia lakukan?" gumam Exel sembari melepaskan mantel hangat yang dia pakai. Laki-laki itu melangkah mendekatinya. Exel melihat Hauri merebus air di dapur dan dia juga mencuci termos minumnya. Gadis itu selalu memilih merebusnya sendiri, daripada menghangatkan air secara praktis. "Kenapa merebus air sendiri? Bibi di mana?" tanya Exel mendekat, laki-laki itu langsung menggulung lengan kemejanya dan merebut termos yang tengah Hauri cuci. Sementara Hauri terkejut dengan keberadaan Exel di sana tiba-tiba. Gadis itu memb
Sejak semalam hingga menjelang pagi, Hauri belum juga tertidur. Gadis itu menonton film, ditemani oleh Exel yang setia menjadi tempat sandaran punggung kecil Hauri. Sesekali Exel memejamkan matanya karena dia merasa begitu lelah hari ini, tapi entah kenapa Hauri setiap malam tidak pernah bisa tidur. "Huhh ... kaget!" serunya tiba-tiba, dia reflek memeluk Exel dan meremas lengan kekar yang melingkar di perutnya dengan tangan kirinya. Exel membuka matanya pelan. "Jangan menonton film hantu lagi, Sayang. Sudah malam, Hau ... tidur, tidur," ujar Exel menarik pinggang ramping Hauri untuk semakin berbaring. "Filmnya bagus, masa iya anaknya meninggal ibunya tidak tahu, terus anaknya gentayangan menghantui ibunya yang meninggalkannya ... heummm, kalau aku jadi anaknya, aku juga akan menghantui ibuku!" pekik Hauri tanpa sadar dia mengomel dengan wajah cemberut dan kedua pipinya yang memerah merona. Exel tersenyum memandangnya, dengan sengaja ia meraih remote televisi dan langsung mematika
Beberapa Bulan Kemudian...Hari-hari berlalu dengan sangat baik. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan sangat mengesankan tiap harinya.Tak lama lagi, Hauri dan Exel akan menjadi orang tua. Mereka sangat bahagia saat tahu kalau anak yang sedang Hauri kandung ternyata ada dua bayi. Meskipun telah dinyatakan sembuh sejak beberapa bulan lalu, tapi Exel menjadi suami siaga untuk Hauri yang sebentar lagi akan melahirkan, hingga tinggal menghitung hari demi hari. "Jangan jalan jauh-jauh, Sayang ... nanti kau bisa kelelahan! Ingat kata Dokter Lilian, kau harus banyak istirahat," ujar Exel pada istrinya. "Iya. Masa jalan dari ruang tamu ke dapur saja kau mengomeliku," protes wanita cantik yang kini berdiri di belakang Exel sembari memegang perut besarnya. Exel terkekeh. Laki-laki itu kini tengah membuatkan susu untuk Hauri, sementara semua urusan rumah yang lainnya, pembantu mereka yang menangani. "Sudah, ini susunya. Cepat diminum dan dihabiskan," bujuk Exel menyerahkan segera susu
Tak ada yang bisa membujuk Pauline sama sekali. Baik Exel maupun kedua orang tuanya, hingga mereka semua menyerah dan membiarkan Pauline melakukan apapun yang dia sukai. Exel juga berpesan pada Mama dan Papanya untuk tidak memarahi adiknya bila terjadi sesuatu. Karena malam ini, Exel kembali pulang ke rumahnya. "Kasihan sekali Pauline ... aku memintanya besok untuk datang ke rumah kita. Siapa tahu dia mau," ujar Hauri. Exel mengangguk. "Aku rasa juga begitu. Semoga saja dia mau," jawabnya. Sepanjang perjalanan, Hauri bercerita ini dan itu. Gadis itu juga tidak henti-hentinya mengatakan kalau ia sangat mencemaskan adik iparnya. Exel pun memahami perasaan itu. Namun ia menganggap kalau Pauline sudah besar, pasti dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Jadi, Exel lebih fokus pada Istrinya dan juga pada rumah tangga mereka berdua. "Sayang, kau ingin membeli sesuatu?" tawar Exel menoleh pada istrinya. "Tidak, aku tidak ingin membeli apapun," jawab gadis itu. "Mama tadi memb
Hauri masuk ke dalam kamar Pauline. Di sana, ia melihat Pauline yang tengah sibuk dengan kanvas dan cat airnya. Entah sejak kapan gadis itu senang mengurung diri dan menyendiri. Pauline duduk di balkon kamarnya, hingga ia tidak tahu bila Hauri masuk ke dalam kamarnya. "Wahh ... cantik sekali gambaranmu, Pauline," puji Hauri tiba-tiba. Suaranya membuat Pauline sontak menoleh ke belakang di mana Hauri berdiri. Pauline tersenyum manis. "Kakak, sejak kapan Kakak di sana?" tanyanya. Hauri tersenyum tipis. "Sejak tadi. Pauline saja yang tidak tahu," jawabnya. "Sini, Kak." Perlahan Hauri melangkah mendekatinya. Ia duduk di samping Pauline yang masih meneruskan lukisannya. "Sejak kapan suka melukis? Kakak tidak pernah melihatmu suka melukis biasanya," ujar Hauri bertanya. Pauline tersenyum. "Sudah lama, Kak. Tapi memang tidak Pauline kasih tunjuk pada siapapun. Semua kanvasnya juga Pauline sembunyikan di dalam ruangan ganti," jawab gadis itu. Hauri terkekeh. "Pauline ... Pauline, k
Kabar kehamilan Hauri sudah terdengar oleh semua keluarga, bahkan beberapa teman Exel juga mengucapkan selamat pada mereka. Termasuk sahabat dekatnya, Heiner yang malam ini datang berkunjung ke rumah mereka membawakan beberapa makanan dan buah-buahan. Sejak dulu hingga kini, memang Heiner yang jauh lebih dekat dan perhatian. "Sekarang tinggal kau saja yang belum menikah, Heiner. Mau sampai kapan kau terus menyendiri?" tanya Exel pada sahabatnya itu. Heiner terkekeh. "Entahlah, tapi aku benar-benar menikmati hidupku saat ini," jawabnya."Saat waktunya tiba, jodohmu pasti juga akan datang, Heiner," sahut Hauri mendekati dua laki-laki itu membawakan cemilan dan juga buah-buahan. "Benar, Hau. Aku malah berpikir kalau aku ingin mendekati Pauline ... supaya aku merasakan, sepertinya enak juga menjadi menantu Keluarga Collin," ujarnya dengan percaya diri, sebelum sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya. Exel menatap tajam dan kesal. "Kalau kau ingin mendekati adikku, kau harus melawa
Pagi ini Hauri pergi ke rumah sakit ditemani oleh Exel. Tetapi, ia tidak pergi menemui Dokter William lagi, melainkan Hauri akan pergi ke dokter kandungan saat ini.Bersama dengan suaminya, Hauri baru saja menyelesaikan pemeriksaan. Mereka duduk menunggu hasil periksa dengan perasaan mendebarkan. "Nyonya pasti sering pusing dan mual akhir-akhir ini?" tanya dokter perempuan itu. Hauri mengangguk. "Iya dok, kemarin saat menghubungi Mama mertua saya, Mama meminta saya untuk langsung periksa," ujarnya. Dokter itu tersenyum. "Ya, memang seharusnya begitu, Nyonya," jawabnya. "Dan ... dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, Nyonya saat ini sudah mengandung berusia hampir lima minggu. Mungkin Nyonya tidak sadar saat Nyonya mengalami terlambat datang bulan." Hauri terdiam menggenggam erat tangan Exel. Laki-laki itu juga tercengang, tak percaya diselimuti kebahagiaan yang luar biasa. "Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Exel dengan kedua mata berbinar-binar. "Benar, Tuan. Selam
Beberapa Minggu Kemudian....Suara hujan deras malam ini membuat suasana menjadi sangat dingin. Hauri, gadis cantik itu duduk di sofa di dalam ruang tamu seorang diri. Sementara Exel, suaminya berada di dalam ruangan kerjanya dan tampak sedang bertelfonan dengan rekan kerjanya membahas meeting siang tadi. "Dia selalu memprioritaskan pekerjaanmu daripada aku, sekarang. Apa dia sudah bosan padaku?" Hauri mengomel kesal. Ia memeluk bantalan sofa erat-erat. "Laki-laki sepertinya memang sangat tega." Lebih dari satu jam Hauri menggerutu dengan sikap Exel yang menyebalkan. Gadis itu marah dan kesal lantaran Exel tiba-tiba menerima meeting sore tadi, padahal Exel sudah berjanji mengajak Hauri jalan-jalan. Hauri yang sudah sangat senang pun ia menolak untuk dibohongi. Karena tak sekali dua kali Exel selalu mengajaknya pergi, tapi ujung-ujungnya selalu gagal. Tak lama kemudian, Exel keluar dari dalam ruangan kerjanya. Ia menoleh ke arah Hauri yang duduk di sofa dengan wajah kesal. "Say
Elizabeth sungguh mengunjungi Hauri pagi ini. Ia membawakan banyak cemilan dan juga makanan lainnya. Ditemani oleh Pauline yang juga ikut datang berkunjung bersama sang Mama. Kedatangan mereka disambut dengan senang oleh Hauri dan Exel. "Maaf ya, Ma, Hauri belum menyiapkan makanan apapun. Hauri bangun kesiangan," ujar gadis itu. "Iya, Sayang, tidak papa." Elizabeth tersenyum hangat. Pauline menatap sang Kakak ipar. "Kak Hauri seperti Pauline saja," ujarnya. "Semalam aku juga lembur karena tugas, Kak. Jadi tadi bangun kesiangan, mandi, bersiap sebentar terus langsung ke sini. Kalau Kak Hauri sibuk apa sampai bangun kesiangan?" Pertanyaan itu membuat Hauri merasa malu tiba-tiba. Sambil menyiapkan minuman di dapur, tanpa terasa pipinya merah mengingat semalam ia hanya menghabiskan sepanjang malam dengan suaminya. "Pauline, setiap orang itu punya kesibukan sendiri-sendiri. Begadang bukan hanya mengerjakan tugas, insomnia juga bisa," sahut Elizabeth menanggapi putrinya. "Emmm ... be
"Aku rasa, aku tidak bisa berkumpul dengan para wanita seperti istri rekan kerjamu tadi, Sayang."Hauri menatap Exel yang kini melepaskan kemeja putihnya dan menoleh pada Hauri yang tengah duduk di tepi ranjang kamar mereka. "Bukan tidak bisa, hanya belum terbiasa," jawabnya. "Mereka semua awalnya bertanya tentang kesibukanku, lalu bisnisku, lalu sedikit bertanya-tanya tentang latar belakangku," ujar Hauri bercerita. Dengan iris mata hitamnya, Hauri menatap sang suami lekat-lekat. "Apa memang seperti itu, perbincangan para masyarakat kelas atas?" tanyanya. Exel terdiam sesaat. Laki-laki itu membalikkan badan dan berjalan mendekati sang istri. "Tidak semua. Buktinya Mama ... juga tidak seperti mereka, kan?" "Heem. Aku pikir orang yang aku temui semuanya akan seperti Mama, ternyata tidak." Exel menyahut kimono putih di atas ranjang dan tersenyum pada Hauri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang ganti. Hauri mengembuskan napasnya panjang dan berbaring di atas ranjang. Sampai Exe
Setelah pertengkaran kemarin-kemarin, hubungan Exel dan Hauri kembali terjalin hangat. Exel benar-benar merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya. Malam ini, mereka berdua tampak bersiap-siap pergi. Exel mendapatkan ajakan makan malam bersama para rekan dan sahabatnya di sebuah restoran. Exel pun datang dalam acara itu bersama Hauri. "Sayang...." "Hm?" Exel menoleh menatap Hauri yang memeluk lengannya. "Kenapa?" "Apa temanmu ada yang sudah punya istri?" tanya Hauri."Ada. Ada beberapa dari mereka yang sudah menikah, sepertinya istrinya juga diajak. Nanti kau harus menyapa mereka, oke?" Exel tersenyum mengecup pucuk kepala Hauri. Gadis itu mengangguk. "Iya." Dengan balutan dress panjang berwarna merah, dibalut blazer hitam berbahan hangat, Hauri tampak cantik malam ini. Rambutnya yang sudah panjang sebahu pun tertata rapi dengan hiasan jepit mutiara. Bersama dengan Exel, mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran. Di sana, tampak seorang laki-laki melambaikan t