"Kita akan pulang ke Berlin sekarang. Pakai syalnya yang benar, jangan sampai kedinginan..."Exel memasangkan syal putih yang melingkar di leher Hauri dengan nyaman. Ia tidak mau Hauri sampai kedinginan, Exel benar-benar memastikan gadis itu tetap hangat. "Apa Opa sudah tahu kalau kita akan ke Berlin? Kita tidak pamitan dengan Oma dan Opa?" tanya Hauri berjalan membuntuti Exel. "Aku kemarin sudah berpamitan pada Opa kalau kita akan pulang dalam waktu cepat," jawab Exel. "Tapi aku kan belum berpamitan dengan Oma. Apa Oma tidak marah kalau aku tidak berpamitan?" tanya Hauri lagi. "Tidak Sayang. Sudahlah, ayo cepat berangkat ... tidak biasanya kau banyak bicara seperti ini." Exel menatap Hauri yang berdiri di belakangnya. Gadis itu tersenyum manis hingga nampak deretan gigi putihnya. "Iya. Karena aku sangat bersemangat, Exel. Aku sangat senang sekali," ujar gadis itu. Exel tersenyum tipis. "Ada lagi nanti yang jauh lebih senang dan heboh setelah kedatanganmu nanti," ujarnya. "Pas
Kedatangan Hauri dan Exel disambut hangat oleh Elizabeth dan Evan. Sungguh, Elizabeth terkejut melihat perubahan Hauri saat ini. Gadis itu sangat kurus, namun dia gadis yang sangat cantik dengan kulitnya yang seputih salju. Mereka berempat kini duduk di ruang keluarga, Exel duduk di samping Hauri yang tengah dirangkul oleh Elizabeth. "Ya ampun Nak, padahal dulu saat kau masih kecil, pipimu sangat gembul ... sekarang kenapa bisa kurus seperti ini, Hau?" Elizabeth mengusap pipi Hauri pelan. "Tidak papa, Tante," jawab gadis itu. "Karena dia sakit, Ma," sahut Exel memperhatikan Mama dan kekasihnya. Ekspresi Elizabeth menjadi sedih, wanita itu mengusap pundak Hauri dengan lembut. "Tante harap setelah Hauri berada di sini, Hauri patuh pada Tante. Nanti Tante akan membantu Hauri sampai sembuh, kita obatkan Hauri pada dokter yang dulu menyembuhkan Tante, ya..." Elizabeth dengan sangat sabar dan lembut mengatakan Hauri. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya Tante..." Sementara Exel terdiam
Pauline membawa Hauri ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua di lorong sebelah kiri. Kedua gadis itu berjalan bersamaan, namun saat berada di depan kamar, Pauline menghentikan langkahnya karena di sofa tampak ada Arthur yang duduk mendongakkan kepalanya dengan mata terpejam. "Pauline ... itu siapa?" tanya Hauri menatap ke arah Arthur. "Itu ... anu, pokoknya dia mengganggu terus keberadaannya. Jadi, abaikan saja!" seru Pauline tersenyum lebar.Hauri pun menurutinya dan mereka masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar bernuansa putih dan biru muda itu, Hauri melihat banyak sekali paper bag berukuran besar ditata berjajar banyak di atas ranjang. "Kak, lihat ... ini semua hadiah dariku untuk Kakak. Karena Mama bilang kalau Kakak akan menetap di sini, jadi akut tidak akan bosan di rumah," ujar Pauline memeluk Hauri. Hauri tersenyum senang, ia juga membalas pelukan Hauri seolah gadis itu adalah adiknya sendiri. "Terima kasih banyak ya, Pauline. Kakak tidak bisa membawakan apapun untuk
"Sarapan yang banyak, semalam kau lupa minum obat, kan?" Ucapan penuh perhatian itu terucap dari bibir Exel pada sosok Hauri yang kini duduk di antara keluarganya di ruang makan. Gadis cantik berambut sebahu itu mengangguk kecil. "A-aku tertidur saat bersama Pauline. Aku lupa belum meminumnya," jawab Hauri. "Tidak papa, sekarang Hauri sarapan dulu yang kenyang. Nanti, jam sembilan ikut Mama ke rumah sakit. Mama sudah menghubunginya seorang dokter yang akan menangani Hauri," ujar Elizabeth dengan tenang dia berkata. "Ikutlah dengan Mama Elizabeth, Hau. Jangan khawatirkan kondisimu selama di sini, Papa yakin kau akan segera sembuh." Evan ikut menatap gadis itu. "Selama kau berada di antara kami, itu artinya kau sama seperti anak kami sendiri." Mendengar ungkapan Elizabeth dan Evan yang begitu tulus, Hauri merasa sedih. Mereka menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Betapa beruntungnya Hauri masih memiliki mereka di dunia ini. Belum lagi, masih ada Pauline yang menjadi adik se
"Wah, Pak Exel sudah kembali ke sini..." "Kabarnya beliau pindah menjadi pimpinan di perusahaan Kakeknya di Prancis. Tapi rumornya dia kembali bersama seorang wanita, benarkah?" Suara-suara bisikan para karyawan di kantor menyambut kedatangan Exel pagi ini. Laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam itu berjalan di belakang Papanya membawa beberapa map berkas di tangannya. Exel memang kembali ke Berlin, tetapi dia tidak melupakan tugasnya untuk mengawasi perusahaan milik Kakeknya yang dipegang oleh Paman Jonas, laki-laki yang menjadi satu-satunya orang kepercayaan sang Kakek. "Exel," panggil Evan lirih. "Ya, Pa?" "Kau dengar, bisikan semua orang?" tanya Evan, dia tersenyum tipis pada Exel. "Aku tidak peduli," jawab Exel santai. Evan sudah menduga hal ini. Mungkin sikapnya yang seperti ini memang menurun dari Evan. "Banyak karyawan yang galau saat Tuan Muda tidak bekerja di sini. Termasuk Lafenia, dia mencari menunggu Tuan pulang," sahut James berjalan di samping Exel. "Dia juga
Hari sudah sore, Exel hanya berdua dengan Lafenia di ruangan kerjanya. Gadis cantik bermata abu-abu itu sudah lama mengenalnya, dia adalah asisten pribadi yang dibawa Fredrik ke Zerenith Grup dan kini menjadi asisten pribadi Exel. "Laf, apa semua berkas-berkas hasil keputusan meeting sudah kau berikan pada Paman Jericho?" tanya Exel menatap gadis itu. "Sudah semuanya," jawab Lafenia. "Bagus." Exel mengangguk. "Ini sudah jam pulang, aku harus kembali cepat." Lafenia merapikan meja kerjanya sembari menatap Exel yang kini tengah memakai tuxedo hitamnya. Seharian ini, Exel tidak banyak bicara seperti dulu-dulu. Exel yang Lafenia kenali, dia adalah atasan yang tegas dan memberikan banyak pengarahan. Namun, setelah diangkat menjadi COO dan kembali dari Prancis, sosok Exel menjadi pendiam, juga dingin. "Pak Exel, tunggu!" pekik Lafenia mengejar Exel yang berjalan lebih dulu keluar dari dalam ruangannya. Mereka berjalan bersama, Lafenia mendongak menatap Exel dari samping. Saat hanya
Setelah pergi dengan Pauline siang tadi, Exel mengomeli Hauri dan adiknya itu dengan kesal. Bukan tidak mengizinkan, hanya saja kondisi Hauri sedang sakit. Namun kenyataannya, Hauri justru malah memarahi Exel karena terlalu mengomeli Pauline. "Ulangi sekali lagi ya, kau mengajakmu Kak Hauri pergi tanpa sepengetahuan Kakak!" pekik Exel pada Pauline. Pauline mencebikkan bibirnya kesal berjalan di depan Exel membawa tasnya. Sementara Hauri bersama Exel, gadis itu terus memukuli lengan kekasihnya dengan kesal. "Sudah Sayang, aku yang mengajak Pauline. Kau tidak usah memarahinya seperti itu!" seru Hauri pada Exel. "Harusnya kan dia mikir, kau itu sedang sakit! Kau juga, sedang sakit kenapa malah pergi?!" pekik Exel menatapnya geram."Aku tadi—""Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Suara Elizabeth membuat Exel dan Hauri menoleh, di belakangnya ada Pauline yang memeluk sang Mama dengan erat. Tentu saja, Pauline mengadu pada Mamanya. Itulah jurus andalan Pauline saat dimarahi oleh Exel,
Hari sudah malam, Exel dan Hauri duduk berdua di balkon lantai dua. Mereka menikmati angin malam di penghujung musim dingin. Semenjak pindah dan tinggal di Berlin, Exel melihat banyak hal dari Hauri yang kemarin-kemarin tidak pernah ia ketahui. Dari Hauri mudah tersenyum, bahkan kadang Hauri menjadi sangat cerewet saat berdebat dengan Pauline. Seperti saat ini, Exel tengah menatapnya dari samping, menikmati wajah cantik gadis itu. "Emmm ... Exel, kenapa menatapku seperti itu?" tanya Hauri menyipitkan kedua matanya. "Tidak papa, kau sangat cantik malam ini," jawab Exel mengecup pipinya. "Exel..." Hauri mendorong wajah Exel dan ia tersenyum manis. Kata-kata manis, perlakuan yang lembut, adalah hal yang selalu Exel berikan pada Hauri hampir setiap hari. Exel menarik pundak Hauri untuk bersandar padanya. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya dengan tenang. "Apa besok ada jadwal ke rumah sakit lagi, Sayang?" tanya Exel. "Heem. Tapi siang, karena paginya Mama masih di butik," jawa
Tiga jam lebih Pauline tertidur dengan menjadikan lengan kanan Xander sebagai sandarannya. Pegal dan kebas Xander rasakan, tapi tak sedikitpun laki-laki itu mengeluh atau mengalihkan kepala Pauline yang bersandar padanya.Hingga tak lama kemudian, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumah itu. "Di depan ada mobilnya Xander, tapi kenapa sepi sekali..." Suara Exel terdengar, diikuti derap langkah kaki. "Pauline juga tidak ada, Sayang." Suara Hauri menyahuti. Sampai akhirnya Exel menoleh ke arah ruang keluarga. Di sana tampak Xander melambai-lambai tangan padanya. "Itu mereka di sana," ujar Hauri. Hauri dan Exel melihat Pauline yang tertidur dalam pelukan Xander. "Loh, kenapa dia bisa tidur di sini?" tanya Exel menatap adiknya. "Iya. Aku menemaninya, dia di rumah sendirian. Aku baru saja mengantarkannya ke rumah sakit, dia mengeluh perutnya terasa sesak," jelas Xander dengan suara berbisik. Perlahan-lahan, Exel menarik lengan adiknya. Namun kegiatannya justru membuat Pauline
Sepulang dari rumah sakit, Xander mengajak Pauline makan siang bersama di sebuah rumah makan mewah, yang berada di hotel bintang lima. Xander membebaskan Pauline untuk memilih makanan apapun yang diinginkan gadis itu. "Makan yang banyak, kalau ada yang ingin tambah bilang saja," ujar Xander menatapnya. "Emmm ... aku tadi tidak salah pilih menu kan, Kak?" tanyanya tiba-tiba. Ia menatap menu makanannya dan menatap lagi menu makanan milik Xander. Laki-laki itu paham, ia langsung menggeser piringnya ke hadapan Pauline. Barulah gadis itu tersenyum padanya. "Tidak marah, kan?" "Tidak, Pauline..." Xander mengusap pucuk kepala Pauline dengan lembut dan penuh kasih sayang. Gadis itu memakannya dengan lahap, Xander merasa lega melihat Pauline yang sangat bersemangat seperti ini. "Pauline, aku boleh bertanya sesuatu padamu...." Gadis itu mengangguk. "Tanya apa?" Xander tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya menyilakan rambut Pauline lagi ke belakang telinganya. "Kalau misalkan kau
"Tuan, sebentar lagi ada jadwal untuk bertemu dengan Tuan Wister pukul sepu—""Batalkan!" Xander menyela cepat. "Aku ada acara penting pagi ini." Julius yang berjalan di belakangnya pun langsung mencoret jadwal yang ditolak oleh Xander. Decakan kesal terdengar lagi dari bubur Xander. Laki-laki itu menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Aku harus pergi sekarang juga," ujar Xander menatap ajudannya tersebut. "Tuan mau ke mana?" Alih-alih menjawab, Xander justru bergegas pergi saat itu juga meninggalkan Julius di lorong kantor. Xander keluar dari dalam kantornya, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan penuh sambil mengumpat-umpat. "Bagaimana bisa meeting ini memakan waktu lebih lama dari dugaanku!" geramnya. "Gadis itu, pasti sendiri!" **Sementara di suatu tempat, Pauline duduk seorang diri di sebuah bangku tunggu di dalam rumah sakit. Gadis itu menunggu antrean namanya dipanggil di dalam poli kand
Usai lelah berjalan-jalan ke sana dan kemari, Xander mengajak Pauline duduk di sebuah bangku kayu di sebuah taman yang masih menjadi satu kawasan dengan pasar malam. Pauline menatap beberapa barang yang ia beli. Wajahnya sangat antusias dan ceria, hingga membuat Xander juga merasa senang. "Kau tidak lelah?" tanya Xander sambil menyilakkan rambut panjang Pauline ke belakang telinga. "Tidak, Kak." Pauline menatap lampu hias di tangannya dan sebuah jepit mutiara yang Xander belikan untuknya. "Aku akan memakai jepit ini besok, saat pergi ke rumah sakit." Xander menatapnya dengan senyuman tipis. "Ke rumah sakit?" "Heem, besok ada jadwal cek kandunganku. Tapi aku akan meminta antar Paman Jericho saja ke sana, nanti aku masuk sendiri..." Pauline memasang wajah pias. "Rasanya aneh, kadang juga nelangsa ... saat semua orang datang bersama suami mereka. Tapi..." Gadis itu menyentuh perutnya di balik dress panjang berwarna kuning cerah itu. "Anakku tidak punya seorang Papa ... bahkan aku
Xander tidak pernah main-main dengan ucapannya. Malam ini, laki-laki itu mengunjungi kediaman Evan, tepat pukul setengah tujuh malam. Kedatangannya dibukakan pintu oleh Pauline, lagi-lagi. Gadis itu mendongak menatap Xander yang tersenyum padanya. "Ka-Kak Xander kenapa ke sini? Kak Exel sudah pulang dan—""Aku ingin bertemu dengan Adiknya Exel," jawab laki-laki itu membungkukkan badannya tepat di hadapan wajah Pauline. Kedua pipi Pauline bersemu. Gadis itu mundur satu langkah dan mengulurkan tangannya meminta Xander masuk. Tak lama kemudian, tampak Evan keluar dari dalam ruangan kerjanya. Dia tersenyum saat melihat sosok Xander masuk ke dalam rumah dan diikuti Pauline di belakangnya. "Ternyata ada tamu," ujar Evan tersenyum. "Iya, Om." "Kau sudah membuat janji dengan Exel? Apa kalian sengaja ketemuan di sini?" tanya Evan kini duduk di hadapan Xander. Dari belakang muncul Elizabeth. "Mungkin Exel sebentar lagi juga ke sini." Xander terkekeh. "Tidak Om, Tante. Saya tidak membua
Evan dan Elizabeth pergi ke luar kota sejak petang. Mereka berdua meninggalkan Pauline di rumah dengan Exel dan Hauri. Pauline sudah bangun sejak pukul lima, tepatnya sejak Mama dan Papanya pergi. Hingga kini, gadis itu duduk di dalam rumah, diam melamun mengusap perutnya sembari menatap suasana pagi yang berkabut. "Aku ingin memakan sesuatu yang manis," ucap Aleena menatap perutnya dan mengelusnya pelan. "Kau ingin makan dengan apa, Nak? Kenapa Mama ingin makan yang manis-manis?" Pauline tersenyum. "Emm ... jam segini di mana ada orang menjual cupcake rasa stroberi? Ingin sekali rasanya..." Pauline yang tengah sibuk mengusap perutnya, tiba-tiba ia melihat cahaya lampu mobil yang menyala dan sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumahnya. Bila penjaga depan mengizinkan orang itu masuk ke pekarangan rumah, berarti orang itu adalah orang terdekat keluarganya. Gadis itu beranjak seketika. "Siapa?" gumamnya. Pauline berjalan membuka pintu rumahnya, udara dingin dan kabut pu
"Salah satu Cucu Keluarga Rowand menghamili adikku, dia merenggutnya tanpa belas kasih, adikku sempat hampir gila selama beberapa minggu gara-gara bajingan Arthur!" Mendengar cerita panjang lebar yang Exel ungkapkan, Xander hampir tak percaya sama sekali dengan kenyataan pahit tentang Pauline yang ia dengar. Rasa kesal dan marah membumbung di dalam hatinya. Tak heran bila Pauline yang dulunya gadis kecil ceria berubah murung seperti itu, bahkan tatapannya padanya seperti takut dan benci, padahal kali ini mereka bertemu setelah terpisah semenjak mereka masih kecil. Xander menyandarkan punggungnya di kursi kayu di teras samping rumah orang tua Exel. "Di mana sekarang laki-laki bernama Arthur itu?" tanya Xander dengan wajah dingin dan datar. "Entahlah. Aku dan Papa masih terus melakukan penelusuran dan pencarian pada keluarga Rowand," jawab Exel. "Mereka semua harus membayar apa yang telah mereka lakukan pada adikku." "Aku akan ikut mencari tahu tentang mereka," ujar Xander menatap
Hari berlalu, musim pun berganti. Usia kandungan Pauline sudah beranjak ke lima bulan dan sudah tampak menyembul besar. Bersama dengan sang Mama, pagi ini Pauline datang ke dokter untuk memeriksakan kondisi bayinya. Dan hasil pemeriksaan mengatakan kalau kandungan Pauline benar-benar sehat. "Sayang, sebelum pulang, Pauline tidak menginginkan sesuatu?" tawar Elizabeth menatap putrinya. "Kue, roti, atau buah?" "Emm ... Pauline ingin beli es krim di dekat taman, Ma. Seperti yang kemarin Kakak belikan," jawab gadis itu. "Oke, kita ke sana sekarang. Jalan kaki saja, bagaimana?" tawar Elizabeth. Dengan antusias Pauline menganggukkan kepalanya. Gadis itu berjalan ke sebuah kedai es krim bersama Mamanya. Pauline menatap taman yang tampak sangat ramai pagi ini. Ia melihat anak-anak kecil berlarian bersama orang tua mereka. "Sayang, ini es krimnya ... rasa stroberi, kan?" Elizabeth menyerahkan pada sang putri. "Iya, Ma. Terima kasih." Pauline tersenyum manis meraih es krim
Mual-mual hebat dialami oleh Pauline setiap hari hingga membuatnya frustasi. Namun, perhatian Mama dan Papanya tidak pernah luput sehari pun. Seperti pagi ini, Pauline baru saja memuntahkan isi perutnya, padahal ia baru saja sarapan. Hingga wajahnya sangat pucat dan tubuhnya lemas. "Sayang, minum teh hangatnya dulu, Nak..." Elizabeth meraih segelas teh yang dibawakan oleh pembantunya. Ia merangkul Pauline yang duduk memeluknya. Gadis itu meminum teh hingga habis dan diam dengan napas yang mulai teratur. "Sampai kapan aku seperti ini, Ma?" tanya gadis itu memeluk Elizabeth. "Aku tidak suka, anak ini sangat menyiksa!" "Hussss ... Sayang, tidak boleh bilang seperti itu, Nak." Elizabeth mendekapnya dengan hangat. Pauline menyembunyikan wajahnya dalam pelukan sang Mama. "Pauline gugurkan saja anak ini, Ma. Pauline tidak tahan lagi ... lagipula dia tidak punya seorang Papa. Hidupnya pasti akan menderita, lebih baik Pauline gugurkan saja...""Apa yang kau katakan, Sayang? Melakukan h