"Sarapan yang banyak, semalam kau lupa minum obat, kan?" Ucapan penuh perhatian itu terucap dari bibir Exel pada sosok Hauri yang kini duduk di antara keluarganya di ruang makan. Gadis cantik berambut sebahu itu mengangguk kecil. "A-aku tertidur saat bersama Pauline. Aku lupa belum meminumnya," jawab Hauri. "Tidak papa, sekarang Hauri sarapan dulu yang kenyang. Nanti, jam sembilan ikut Mama ke rumah sakit. Mama sudah menghubunginya seorang dokter yang akan menangani Hauri," ujar Elizabeth dengan tenang dia berkata. "Ikutlah dengan Mama Elizabeth, Hau. Jangan khawatirkan kondisimu selama di sini, Papa yakin kau akan segera sembuh." Evan ikut menatap gadis itu. "Selama kau berada di antara kami, itu artinya kau sama seperti anak kami sendiri." Mendengar ungkapan Elizabeth dan Evan yang begitu tulus, Hauri merasa sedih. Mereka menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Betapa beruntungnya Hauri masih memiliki mereka di dunia ini. Belum lagi, masih ada Pauline yang menjadi adik se
"Wah, Pak Exel sudah kembali ke sini..." "Kabarnya beliau pindah menjadi pimpinan di perusahaan Kakeknya di Prancis. Tapi rumornya dia kembali bersama seorang wanita, benarkah?" Suara-suara bisikan para karyawan di kantor menyambut kedatangan Exel pagi ini. Laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam itu berjalan di belakang Papanya membawa beberapa map berkas di tangannya. Exel memang kembali ke Berlin, tetapi dia tidak melupakan tugasnya untuk mengawasi perusahaan milik Kakeknya yang dipegang oleh Paman Jonas, laki-laki yang menjadi satu-satunya orang kepercayaan sang Kakek. "Exel," panggil Evan lirih. "Ya, Pa?" "Kau dengar, bisikan semua orang?" tanya Evan, dia tersenyum tipis pada Exel. "Aku tidak peduli," jawab Exel santai. Evan sudah menduga hal ini. Mungkin sikapnya yang seperti ini memang menurun dari Evan. "Banyak karyawan yang galau saat Tuan Muda tidak bekerja di sini. Termasuk Lafenia, dia mencari menunggu Tuan pulang," sahut James berjalan di samping Exel. "Dia juga
Hari sudah sore, Exel hanya berdua dengan Lafenia di ruangan kerjanya. Gadis cantik bermata abu-abu itu sudah lama mengenalnya, dia adalah asisten pribadi yang dibawa Fredrik ke Zerenith Grup dan kini menjadi asisten pribadi Exel. "Laf, apa semua berkas-berkas hasil keputusan meeting sudah kau berikan pada Paman Jericho?" tanya Exel menatap gadis itu. "Sudah semuanya," jawab Lafenia. "Bagus." Exel mengangguk. "Ini sudah jam pulang, aku harus kembali cepat." Lafenia merapikan meja kerjanya sembari menatap Exel yang kini tengah memakai tuxedo hitamnya. Seharian ini, Exel tidak banyak bicara seperti dulu-dulu. Exel yang Lafenia kenali, dia adalah atasan yang tegas dan memberikan banyak pengarahan. Namun, setelah diangkat menjadi COO dan kembali dari Prancis, sosok Exel menjadi pendiam, juga dingin. "Pak Exel, tunggu!" pekik Lafenia mengejar Exel yang berjalan lebih dulu keluar dari dalam ruangannya. Mereka berjalan bersama, Lafenia mendongak menatap Exel dari samping. Saat hanya
Setelah pergi dengan Pauline siang tadi, Exel mengomeli Hauri dan adiknya itu dengan kesal. Bukan tidak mengizinkan, hanya saja kondisi Hauri sedang sakit. Namun kenyataannya, Hauri justru malah memarahi Exel karena terlalu mengomeli Pauline. "Ulangi sekali lagi ya, kau mengajakmu Kak Hauri pergi tanpa sepengetahuan Kakak!" pekik Exel pada Pauline. Pauline mencebikkan bibirnya kesal berjalan di depan Exel membawa tasnya. Sementara Hauri bersama Exel, gadis itu terus memukuli lengan kekasihnya dengan kesal. "Sudah Sayang, aku yang mengajak Pauline. Kau tidak usah memarahinya seperti itu!" seru Hauri pada Exel. "Harusnya kan dia mikir, kau itu sedang sakit! Kau juga, sedang sakit kenapa malah pergi?!" pekik Exel menatapnya geram."Aku tadi—""Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Suara Elizabeth membuat Exel dan Hauri menoleh, di belakangnya ada Pauline yang memeluk sang Mama dengan erat. Tentu saja, Pauline mengadu pada Mamanya. Itulah jurus andalan Pauline saat dimarahi oleh Exel,
Hari sudah malam, Exel dan Hauri duduk berdua di balkon lantai dua. Mereka menikmati angin malam di penghujung musim dingin. Semenjak pindah dan tinggal di Berlin, Exel melihat banyak hal dari Hauri yang kemarin-kemarin tidak pernah ia ketahui. Dari Hauri mudah tersenyum, bahkan kadang Hauri menjadi sangat cerewet saat berdebat dengan Pauline. Seperti saat ini, Exel tengah menatapnya dari samping, menikmati wajah cantik gadis itu. "Emmm ... Exel, kenapa menatapku seperti itu?" tanya Hauri menyipitkan kedua matanya. "Tidak papa, kau sangat cantik malam ini," jawab Exel mengecup pipinya. "Exel..." Hauri mendorong wajah Exel dan ia tersenyum manis. Kata-kata manis, perlakuan yang lembut, adalah hal yang selalu Exel berikan pada Hauri hampir setiap hari. Exel menarik pundak Hauri untuk bersandar padanya. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya dengan tenang. "Apa besok ada jadwal ke rumah sakit lagi, Sayang?" tanya Exel. "Heem. Tapi siang, karena paginya Mama masih di butik," jawa
"Tinggalkan Evan! Karena sebentar lagi dia akan rujuk dengan mantan istrinya!" Tubuh Elizabeth tersentak kaget, kedua matanya melebar tak percaya mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh ibu mertuanya. Elizabeth Lawrence, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu meremas gaun pesta berwarna biru yang dia pakai. "A-apa maksud Mama mengatakan hal itu?" tanya Elizabeth dengan suara tercekat. "Apa kau tidak sadar? Sejak awal menikah hingga detik ini, Evan tidak pernah mencintaimu!” kata wanita paruh baya yang berpakaian glamor itu. “Karena cinta sejati Evan hanya Clarisa!” Elizabeth terdiam dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menyanggah, tapi lidahnya terasa kelu sebab ia tahu ibu mertuanya benar. Suaminya tidak pernah mencintainya. "Kau lihat di sana!” ujar Melodi—ibu mertuanya—ke arah sepasang manusia yang tengah bercengkerama akrab di tengah pesta. “Bukankah mereka tampak sangat serasi? Apa Evan pernah sehangat itu denganmu?” Elizabeth menelan ludah. Kata-kata itu menohok
Keesokan paginya... "Pakaikan baju baru untuk Exel, aku dan Clarisa akan mengajaknya pergi." Suara bariton berat dari Evander terdengar tegas pada Elizabeth yang tengah mendandani Exel pagi ini. Setelah semalaman tidak tidur di rumah, sekalinya pulang Evander kembali bersama Clarisa yang kini tengah menunggu di lantai satu. "Iya. Apa kau akan pulang di sore hari?" tanya Elizabeth sang suami. Sambil memakai tuxedo hitamnya, Evan menjawab, "Ya, agar Clarisa bisa puas bermain dengan Exel seharian." Elizabeth terdiam sejenak, merasa kini hari-harinya menjadi sangat menekan. Selain berkurangnya waktu bersama sang suami, Elizabeth mungkin akan sering kesepian karena Exel juga akan sering menghabiskan waktu dengan Clarisa. "Ma... ini Exel mau ke mana? Kok pakai baju baru?" Mungil suara Exel membuat Elizabeth tersenyum lembut, apalagi anak laki-lakinya itu cemberut menatapnya. "Exel hari ini ikut dengan Papa ya, Sayang. Ingat... tidak boleh nakal, tidak boleh nangis, dan tidak boleh
Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini. Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi. Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya. "Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya. "Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa. Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian. "Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dar
Hari sudah malam, Exel dan Hauri duduk berdua di balkon lantai dua. Mereka menikmati angin malam di penghujung musim dingin. Semenjak pindah dan tinggal di Berlin, Exel melihat banyak hal dari Hauri yang kemarin-kemarin tidak pernah ia ketahui. Dari Hauri mudah tersenyum, bahkan kadang Hauri menjadi sangat cerewet saat berdebat dengan Pauline. Seperti saat ini, Exel tengah menatapnya dari samping, menikmati wajah cantik gadis itu. "Emmm ... Exel, kenapa menatapku seperti itu?" tanya Hauri menyipitkan kedua matanya. "Tidak papa, kau sangat cantik malam ini," jawab Exel mengecup pipinya. "Exel..." Hauri mendorong wajah Exel dan ia tersenyum manis. Kata-kata manis, perlakuan yang lembut, adalah hal yang selalu Exel berikan pada Hauri hampir setiap hari. Exel menarik pundak Hauri untuk bersandar padanya. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya dengan tenang. "Apa besok ada jadwal ke rumah sakit lagi, Sayang?" tanya Exel. "Heem. Tapi siang, karena paginya Mama masih di butik," jawa
Setelah pergi dengan Pauline siang tadi, Exel mengomeli Hauri dan adiknya itu dengan kesal. Bukan tidak mengizinkan, hanya saja kondisi Hauri sedang sakit. Namun kenyataannya, Hauri justru malah memarahi Exel karena terlalu mengomeli Pauline. "Ulangi sekali lagi ya, kau mengajakmu Kak Hauri pergi tanpa sepengetahuan Kakak!" pekik Exel pada Pauline. Pauline mencebikkan bibirnya kesal berjalan di depan Exel membawa tasnya. Sementara Hauri bersama Exel, gadis itu terus memukuli lengan kekasihnya dengan kesal. "Sudah Sayang, aku yang mengajak Pauline. Kau tidak usah memarahinya seperti itu!" seru Hauri pada Exel. "Harusnya kan dia mikir, kau itu sedang sakit! Kau juga, sedang sakit kenapa malah pergi?!" pekik Exel menatapnya geram."Aku tadi—""Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Suara Elizabeth membuat Exel dan Hauri menoleh, di belakangnya ada Pauline yang memeluk sang Mama dengan erat. Tentu saja, Pauline mengadu pada Mamanya. Itulah jurus andalan Pauline saat dimarahi oleh Exel,
Hari sudah sore, Exel hanya berdua dengan Lafenia di ruangan kerjanya. Gadis cantik bermata abu-abu itu sudah lama mengenalnya, dia adalah asisten pribadi yang dibawa Fredrik ke Zerenith Grup dan kini menjadi asisten pribadi Exel. "Laf, apa semua berkas-berkas hasil keputusan meeting sudah kau berikan pada Paman Jericho?" tanya Exel menatap gadis itu. "Sudah semuanya," jawab Lafenia. "Bagus." Exel mengangguk. "Ini sudah jam pulang, aku harus kembali cepat." Lafenia merapikan meja kerjanya sembari menatap Exel yang kini tengah memakai tuxedo hitamnya. Seharian ini, Exel tidak banyak bicara seperti dulu-dulu. Exel yang Lafenia kenali, dia adalah atasan yang tegas dan memberikan banyak pengarahan. Namun, setelah diangkat menjadi COO dan kembali dari Prancis, sosok Exel menjadi pendiam, juga dingin. "Pak Exel, tunggu!" pekik Lafenia mengejar Exel yang berjalan lebih dulu keluar dari dalam ruangannya. Mereka berjalan bersama, Lafenia mendongak menatap Exel dari samping. Saat hanya
"Wah, Pak Exel sudah kembali ke sini..." "Kabarnya beliau pindah menjadi pimpinan di perusahaan Kakeknya di Prancis. Tapi rumornya dia kembali bersama seorang wanita, benarkah?" Suara-suara bisikan para karyawan di kantor menyambut kedatangan Exel pagi ini. Laki-laki tampan berbalut tuxedo hitam itu berjalan di belakang Papanya membawa beberapa map berkas di tangannya. Exel memang kembali ke Berlin, tetapi dia tidak melupakan tugasnya untuk mengawasi perusahaan milik Kakeknya yang dipegang oleh Paman Jonas, laki-laki yang menjadi satu-satunya orang kepercayaan sang Kakek. "Exel," panggil Evan lirih. "Ya, Pa?" "Kau dengar, bisikan semua orang?" tanya Evan, dia tersenyum tipis pada Exel. "Aku tidak peduli," jawab Exel santai. Evan sudah menduga hal ini. Mungkin sikapnya yang seperti ini memang menurun dari Evan. "Banyak karyawan yang galau saat Tuan Muda tidak bekerja di sini. Termasuk Lafenia, dia mencari menunggu Tuan pulang," sahut James berjalan di samping Exel. "Dia juga
"Sarapan yang banyak, semalam kau lupa minum obat, kan?" Ucapan penuh perhatian itu terucap dari bibir Exel pada sosok Hauri yang kini duduk di antara keluarganya di ruang makan. Gadis cantik berambut sebahu itu mengangguk kecil. "A-aku tertidur saat bersama Pauline. Aku lupa belum meminumnya," jawab Hauri. "Tidak papa, sekarang Hauri sarapan dulu yang kenyang. Nanti, jam sembilan ikut Mama ke rumah sakit. Mama sudah menghubunginya seorang dokter yang akan menangani Hauri," ujar Elizabeth dengan tenang dia berkata. "Ikutlah dengan Mama Elizabeth, Hau. Jangan khawatirkan kondisimu selama di sini, Papa yakin kau akan segera sembuh." Evan ikut menatap gadis itu. "Selama kau berada di antara kami, itu artinya kau sama seperti anak kami sendiri." Mendengar ungkapan Elizabeth dan Evan yang begitu tulus, Hauri merasa sedih. Mereka menganggapnya seperti anak mereka sendiri. Betapa beruntungnya Hauri masih memiliki mereka di dunia ini. Belum lagi, masih ada Pauline yang menjadi adik se
Pauline membawa Hauri ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua di lorong sebelah kiri. Kedua gadis itu berjalan bersamaan, namun saat berada di depan kamar, Pauline menghentikan langkahnya karena di sofa tampak ada Arthur yang duduk mendongakkan kepalanya dengan mata terpejam. "Pauline ... itu siapa?" tanya Hauri menatap ke arah Arthur. "Itu ... anu, pokoknya dia mengganggu terus keberadaannya. Jadi, abaikan saja!" seru Pauline tersenyum lebar.Hauri pun menurutinya dan mereka masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar bernuansa putih dan biru muda itu, Hauri melihat banyak sekali paper bag berukuran besar ditata berjajar banyak di atas ranjang. "Kak, lihat ... ini semua hadiah dariku untuk Kakak. Karena Mama bilang kalau Kakak akan menetap di sini, jadi akut tidak akan bosan di rumah," ujar Pauline memeluk Hauri. Hauri tersenyum senang, ia juga membalas pelukan Hauri seolah gadis itu adalah adiknya sendiri. "Terima kasih banyak ya, Pauline. Kakak tidak bisa membawakan apapun untuk
Kedatangan Hauri dan Exel disambut hangat oleh Elizabeth dan Evan. Sungguh, Elizabeth terkejut melihat perubahan Hauri saat ini. Gadis itu sangat kurus, namun dia gadis yang sangat cantik dengan kulitnya yang seputih salju. Mereka berempat kini duduk di ruang keluarga, Exel duduk di samping Hauri yang tengah dirangkul oleh Elizabeth. "Ya ampun Nak, padahal dulu saat kau masih kecil, pipimu sangat gembul ... sekarang kenapa bisa kurus seperti ini, Hau?" Elizabeth mengusap pipi Hauri pelan. "Tidak papa, Tante," jawab gadis itu. "Karena dia sakit, Ma," sahut Exel memperhatikan Mama dan kekasihnya. Ekspresi Elizabeth menjadi sedih, wanita itu mengusap pundak Hauri dengan lembut. "Tante harap setelah Hauri berada di sini, Hauri patuh pada Tante. Nanti Tante akan membantu Hauri sampai sembuh, kita obatkan Hauri pada dokter yang dulu menyembuhkan Tante, ya..." Elizabeth dengan sangat sabar dan lembut mengatakan Hauri. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya Tante..." Sementara Exel terdiam
"Kita akan pulang ke Berlin sekarang. Pakai syalnya yang benar, jangan sampai kedinginan..."Exel memasangkan syal putih yang melingkar di leher Hauri dengan nyaman. Ia tidak mau Hauri sampai kedinginan, Exel benar-benar memastikan gadis itu tetap hangat. "Apa Opa sudah tahu kalau kita akan ke Berlin? Kita tidak pamitan dengan Oma dan Opa?" tanya Hauri berjalan membuntuti Exel. "Aku kemarin sudah berpamitan pada Opa kalau kita akan pulang dalam waktu cepat," jawab Exel. "Tapi aku kan belum berpamitan dengan Oma. Apa Oma tidak marah kalau aku tidak berpamitan?" tanya Hauri lagi. "Tidak Sayang. Sudahlah, ayo cepat berangkat ... tidak biasanya kau banyak bicara seperti ini." Exel menatap Hauri yang berdiri di belakangnya. Gadis itu tersenyum manis hingga nampak deretan gigi putihnya. "Iya. Karena aku sangat bersemangat, Exel. Aku sangat senang sekali," ujar gadis itu. Exel tersenyum tipis. "Ada lagi nanti yang jauh lebih senang dan heboh setelah kedatanganmu nanti," ujarnya. "Pas
Sejak semalam hingga menjelang pagi, Hauri belum juga tertidur. Gadis itu menonton film, ditemani oleh Exel yang setia menjadi tempat sandaran punggung kecil Hauri. Sesekali Exel memejamkan matanya karena dia merasa begitu lelah hari ini, tapi entah kenapa Hauri setiap malam tidak pernah bisa tidur. "Huhh ... kaget!" serunya tiba-tiba, dia reflek memeluk Exel dan meremas lengan kekar yang melingkar di perutnya dengan tangan kirinya. Exel membuka matanya pelan. "Jangan menonton film hantu lagi, Sayang. Sudah malam, Hau ... tidur, tidur," ujar Exel menarik pinggang ramping Hauri untuk semakin berbaring. "Filmnya bagus, masa iya anaknya meninggal ibunya tidak tahu, terus anaknya gentayangan menghantui ibunya yang meninggalkannya ... heummm, kalau aku jadi anaknya, aku juga akan menghantui ibuku!" pekik Hauri tanpa sadar dia mengomel dengan wajah cemberut dan kedua pipinya yang memerah merona. Exel tersenyum memandangnya, dengan sengaja ia meraih remote televisi dan langsung mematika