"Setelah acara pesta kenaikan jabatan Exel menjadi COO, bantu aku mempersiapkan acara pernikahan Exel." Suara tegas Evan membuat Jericho menoleh menatapnya yang kini duduk di kursi COO di ruangan Exel. Ia sibuk mengecek beberapa berkas untuk meeting siang ini. "Apa Tuan yakin akan segera menikahkan mereka?" tanya Jericho dengan nada tak yakin. "Mau bagaimana lagi, Exel sangat bersikeras menikahi Hauri dalam waktu dekat. Aku takut bagaimana perasaan putraku, Jer," ujar Evan dengan wajah sedih. "Aku pernah ada di posisinya. Aku hanya takut Exel menyesal di kemudian hari." "Iya Tuan. Saya menyayangkan Hauri, kenapa gadis itu bisa memiliki penyakit keras seperti itu..." Jericho memasang wajah sedih dan khawatir. Sedangkan Evan, dia duduk bersandar di kursi kerja Exel dan mendongakkan kepalanya. "Bahkan leukimia yang diderita Hauri sudah memasuki stadium tiga, Jer. Hebatnya ... gadis itu masih bisa tersenyum dan bertingkah seolah-olah dirinya sehat dan baik-baik saja. Meskipun kondis
Setelah kembali dari taman, Exel segera membawa Hauri untuk pulang, karena Elizabeth sudah berkali-kali menghubunginya dan memintanya agar segera membawa Hauri pulang. Sesampainya di rumah, ternyata semuanya sedang berkumpul di sana. Termasuk ada kedua orang tua Exel yang duduk berdua di ruang keluarga, mereka terlihat menanti kedatangan Exel dan Hauri. "Exel, kemarilah..." Evan melambaikan tangannya. Dengan hati-hati, Exel berjalan mendekati Mama dan Papanya bersama Hauri.Elizabeth tersenyum manis saat Hauri duduk di sampingnya. Wajah pucat Hauri membuat Elizabeth merasa kasihan tiap menatap gadis ini. Melihat kondisi Hauri, Elizabeth merasa seperti bercermin pada kondisinya di masa lalu. "Bagaimana kata dokter tadi setelah terapi, Nak?" tanya Elizabeth mengusap pipi Hauri yang memerah kedinginan. "Exel yang bertemu Dokter William, Ma. Hauri tadi masih di ruang perawatan," jawab Hauri dengan suara lirih. Kedua orang tuanya lantas melirik Exel dengan tatapan lekat. "Bagaimana
Malam ini Hauri tidak bisa tidur. Gadis itu bingung memikirkan bahwa besok Exel dan keluarganya akan mengadakan pesta. Hauri juga akan ikut diajak pergi ke pesta tersebut. Dan kini, Hauri belum tertidur sampai pukul sebelas malam. Sedangkan Exel sedang pergi keluar bersama Evan dan Arthur untuk mengurus keperluan kantor."Aku pakai gaun yang mana ya, untuk besok? Aku takut salah memakai pakaian, nanti penampilanku malah membuat Exel malu," gerutu Hauri, gadis itu mengusap wajahnya bingung. Hauri kembali membuka lemari pakaiannya. Di dalam lemari kayu berwarna putih itu, berisi penuh pakaian-pakaian baru yang Elizabeth dan Exel belikan untuk Hauri. Gaun-gaun dan dress-dress mahal yang tertata rapi di dalam lemari tersebut sampai Hauri bingung ingin memakai yang mana. "Hemm ... mungkin Pauline besok akan ikut. Apa aku meminta pendapat Pauline saja, ya?" Hauri segera meraih ponselnya di atas nakas, ia mencoba mengirimkan pesan pada Pauline dan Pauline membaca pesanannya. Segera Hau
Sebuah pesta meriah digelar oleh Keluarga Collin di sebuah hotel bintang lima milik Evan. Pesta itu dihadiri oleh kalangan masyarakat kelas atas. Hauri datang bersama dengan Exel, gadis itu tampak sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun panjang berwarna biru langit. Berjalan bersama Exel, bergandengan tangan tampak sangat serasi. Namun, untuk bergabung dengan banyak orang di dalam tempat itu, Hauri sangat tidak percaya diri. "Exel, aku malu..." Hauri mendongak menatap Exel dengan wajah ekspresi yang tak yakin. Ia bahkan menghentikan langkahnya di depan pintu utama di mana para tamu masuk berganti ke dalam sana. "Malu kenapa, Sayang? Kau sangat cantik malam ini," ujar Exel merangkul hangat pundak Hauri. "Bukan itu. Tapi aku tidak pernah masuk ke dalam pesta, bergabung dengan orang-orang seperti ini ... aku tidak percaya diri, Exel. Apalagi keluargaku juga tidak ada di sini," seru Hauri melingkarkan satu tangannya di tubuh belakang Exel. Exel mengusap pundak Hauri dan mencob
Di tengah acara pesta, Hauri menyempatkan dirinya ke kamar kecil karena ia ingin mencuci tangannya yang terasa lengket. Ditemani oleh Exel, Hauri masuk ke kamar kecil. Sedangkan Exel menunggu di luar sana. Saat Hauri melepaskan sarung tangannya, gadis itu mulai membasuh telapak tangannya dengan air dingin perlahan-lahan. "Hmm, yang baru saja diperkenalkan sebagai anggota baru Keluarga Collin, kelihatannya bangga dan sedikit norak, ya?" Suara itu terdengar dingin dan penuh sindiran. Hauri mengangkat wajahnya menatap cermin besar di hadapannya. Dapat ia lihat kalau ada Lafenia di belakangnya saat ini.Hauri lantas menoleh dan menatapnya dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu mengatakan itu, Laf?" tanya Hauri bingung. Lafenia terkekeh pelan, ia membasuh tangannya pada wastafel di samping Hauri. "Tidak papa, aku hanya berbicara fakta." Lafenia menatap tajam ke arah Hauri. "Apa kau pikir kau pantas bersanding dengan Exel? Kau berusaha untuk tampil sempurna dan menutupi kekuranganmu,
Setelah melepaskan kemejanya yang kotor terkena darah dari hidung Hauri, Exel menggantinya dengan sweater hitam yang Jericho belikan untuknya. Malam ini, Exel berjaga di rumah sakit untuk menemani Hauri yang belum sadar sejak pingsan beberapa jam lalu. Exel sendirian di dalam ruangan di mana Hauri masih terbaring dengan kedua mata terpejam. Mama dan Papanya terpaksa pulang karena mereka besok memiliki urusan yang sangat penting. Menatap kekasihnya membuat Exel merasa sedih dan kasihan. Ia meraih tangan Hauri dan menggenggamnya dengan hangat. "Sayang ... segeralah bangun, aku sangat mencemaskanmu, Hau," lirih Exel meletakkan satu telapak tangan Hauri di pipinya. Sejak tadi, Exel tidak beranjak sedikitpun. Ia masih setia berada di sana. Dokter mengatakan kalau Hauri pasti akan segera sadar dalam waktu yang cepat. Tapi, bagi Exel waktu tercepat adalah lima menit, bukan hingga berjam-jam, sama saja itu terlalu lama untuknya. "Andai kau tahu betapa aku sangat mencemaskanmu, Hauri...
Setelah semalam penuh Exel menemani Hauri di rumah sakit, pagi ini laki-laki itu tertidur dengan posisi duduk sembari menggenggam telapak tangan Hauri. Sedangkan Hauri tidak tidur sama sekali, dia tidak bisa tidur atau bahkan memejamkan kedua matanya. 'Kasihan Exel, pasti punggungnya sakit,' batin Hauri mengulurkan tangannya mengusap punggung Exel dengan lembut. Kegiatannya terhenti saat ia mendengar suara getaran ponsel milik Exel di atas meja. Hauri meraih ponsel hitam itu dan melihat nama Lafenia di sana. "Lafenia," gumam Hauri ragu-ragu ia menjawab panggilan itu, namun Hauri tetap menjawabnya dan tidak berbicara lebih dulu. "Halo Exel, hari ini mobilku masih tidak bisa. Bisa tidak kau mampir lewat depan rumahku dan kita berangkat bersama?" kata Lafenia di balik panggilan itu. "Jam sembilan nanti kan kita ada meeting, aku juga ingin mengajakmu makan siang bersama di cafe favorit kita ... halo, Exel? Kau masih ada di sana, kan?" Hauri meremas pelan ponsel di tangannya. "A-anu
Pauline masih menemani Hauri selama dua jam lamanya dan Exel juga belum kembali hingga detik ini. Sesekali Pauline menatap jam dinding, karena beberapa menit lagi ia harus segera pergi ke kampus.Ekspresinya yang cemas membuat Hauri mudah menebaknya. "Pauline, apa kau tidak ke kampus? Ini sudah jam delapan," ujar Hauri. "Ta-tapi nanti Kakak sendirian. Kalau terjadi apa-apa dengan Kakak, bagaimana?" Pauline memasang wajah sedih. "Aku tidak usah masuk saja, Kak. Tapi nanti Kakak jangan bilang-bilang ke Papa dan Mama, ya, nanti Pauline dimarah—""Ekhem...!" Suara deheman keras dari arah sofa membuat dua gadis itu menatap ke arah Arthur. Raut wajah Pauline menjadi amat masan. "Kalau Kak Hauri aku yakin tidak akan mengadu. Tapi si batu karang itu pasti akan mengadu ke Papa! Dia memang manusia paling menyebalkan!" omel Pauline. Hauri tersenyum hangat mengusap punggung Pauline. "Lebih baik Pauline pergi ke kampus sekarang. Kakak tidak papa sendirian di sini. Setelah ini pasti Kak Exel
Dengan langkah gontai Pauline sampai di rumah. Taksi yang ia pegang pun berhenti tepat di depan rumahnya. Wajah gadis itu tampak pucat dan layu. Kepala Pauline terasa kosong tak mampu memikirkan apapun saat ini. Bahkan saat ia masuk ke dalam rumahnya. "Loh ... Sayang, sudah pulang?" Suara Elizabeth menyambut kedatangannya. "Pauline bilang mau pulang sore bersama dengan Belle dan Glads?" tanya sang Mama lagi. Pauline menggeleng pelan. "Tidak, Ma," jawabnya lemas. "Ehh..." Elizabeth mengerjapkan kedua matanya saat Pauline yang tidak bersemangat sama dan lesu melewatinya begitu saja tanpa banyak cakap seperti biasanya. Wanita itu memperhatikan tatapan kosong Pauline yang begitu terpukul."Apa yang terjadi? Apa dia bertengkar dengan temannya lagi?" gumam Elizabeth bingung. "Dan ... kenapa juga Pauline pulang dengan taksi? Di mana Arthur?" Elizabeth tampak sangat kebingungan dan berpikir-pikir. "Ada apa, Sayang?" Suara Evander membuyarkan lamunannya. Elizabeth menatapnya. "Tidak p
Beberapa Bulan yang Lalu..."Kau pantas mendapatkan ini semua, Putri Evander," bisik seorang laki-laki dengan suara dalamnya memberikan jejak di sepanjang leher jenjang Pauline. Selain kecupan dan ciuman panas yang bertubi-tubi, sentuhan tangan laki-laki itu menyusuri lekuk tubuh polos gadis cantik yang kini menangis tak kuasa melawannya. Aroma alkohol yang menguat dari laki-laki itu membuat Pauline sangat ketakutan. "Ja-jangan, Arthur..." Pauline memejamkan kedua matanya kuat-kuat. "A-aku salah apa?Laki-laki itu tidak menyahutinya sedikitpun. Di dalam kamar yang temaram, Pauline terbaring atas ranjang di bawah kungkungan laki-laki tampan ini, Arthur Rowand, bodyguard setianya. Pauline tidak berdaya saat kedua lengannya dicengkeram kuat. Arthur mabuk berat dan mendatangi Pauline di kamar hotel, tempat Pauline menginap setelah acara ulang tahun temannya di luar kota. Laki-laki itu datang, langsung menciumnya dan mendorong Pauline ke atas ranjang, tak hanya itu, Arthur juga tak se
Hari ini Exel mendapatkan amanat dari sang Papa untuk menjaga Pauline di rumah. Bersama dengan Hauri, mereka berdua datang ke kediaman orang tuanya. Saat mereka baru saja datang, Hauri berjalan masuk lebih dulu. Ia tersenyum melihat seorang gadis cantik dengan perutnya yang besar, kini yang tengah berdiri di ruang makan tampak sedang membuat roti selai. "Selamat pagi," sapa Hauri tersenyum manis. Pauline menoleh dengan wajah piasnya, sebelum gadis cantik itu tersenyum. "Kakak ... Kakak datang dengan siapa?" tanya gadis itu. "Dengan Kak Exel," jawab Hauri sambil meletakkan paper bag besar berisi makanan dan buah-buahan di atas meja makan. "Pauline buat apa?" "Roti selai, Kak," jawab gadis itu. Dari arah depan, tampak Exel yang kini berjalan dan ia tersenyum melihat adiknya yang terlihat sibuk di ruang makan. "Pauline ... Kakak sudah belikan buah peach yang kemarin kau inginkan. Itu ada di dalam tas belanjaan Kak Hauri," ujar Exel mendekati sang adik dan mengecup pipinya. "Iya,
Beberapa Bulan Kemudian...Hari-hari berlalu dengan sangat baik. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan sangat mengesankan tiap harinya.Tak lama lagi, Hauri dan Exel akan menjadi orang tua. Mereka sangat bahagia saat tahu kalau anak yang sedang Hauri kandung ternyata ada dua bayi. Meskipun telah dinyatakan sembuh sejak beberapa bulan lalu, tapi Exel menjadi suami siaga untuk Hauri yang sebentar lagi akan melahirkan, hingga tinggal menghitung hari demi hari. "Jangan jalan jauh-jauh, Sayang ... nanti kau bisa kelelahan! Ingat kata Dokter Lilian, kau harus banyak istirahat," ujar Exel pada istrinya. "Iya. Masa jalan dari ruang tamu ke dapur saja kau mengomeliku," protes wanita cantik yang kini berdiri di belakang Exel sembari memegang perut besarnya. Exel terkekeh. Laki-laki itu kini tengah membuatkan susu untuk Hauri, sementara semua urusan rumah yang lainnya, pembantu mereka yang menangani. "Sudah, ini susunya. Cepat diminum dan dihabiskan," bujuk Exel menyerahkan segera susu
Tak ada yang bisa membujuk Pauline sama sekali. Baik Exel maupun kedua orang tuanya, hingga mereka semua menyerah dan membiarkan Pauline melakukan apapun yang dia sukai. Exel juga berpesan pada Mama dan Papanya untuk tidak memarahi adiknya bila terjadi sesuatu. Karena malam ini, Exel kembali pulang ke rumahnya. "Kasihan sekali Pauline ... aku memintanya besok untuk datang ke rumah kita. Siapa tahu dia mau," ujar Hauri. Exel mengangguk. "Aku rasa juga begitu. Semoga saja dia mau," jawabnya. Sepanjang perjalanan, Hauri bercerita ini dan itu. Gadis itu juga tidak henti-hentinya mengatakan kalau ia sangat mencemaskan adik iparnya. Exel pun memahami perasaan itu. Namun ia menganggap kalau Pauline sudah besar, pasti dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Jadi, Exel lebih fokus pada Istrinya dan juga pada rumah tangga mereka berdua. "Sayang, kau ingin membeli sesuatu?" tawar Exel menoleh pada istrinya. "Tidak, aku tidak ingin membeli apapun," jawab gadis itu. "Mama tadi memb
Hauri masuk ke dalam kamar Pauline. Di sana, ia melihat Pauline yang tengah sibuk dengan kanvas dan cat airnya. Entah sejak kapan gadis itu senang mengurung diri dan menyendiri. Pauline duduk di balkon kamarnya, hingga ia tidak tahu bila Hauri masuk ke dalam kamarnya. "Wahh ... cantik sekali gambaranmu, Pauline," puji Hauri tiba-tiba. Suaranya membuat Pauline sontak menoleh ke belakang di mana Hauri berdiri. Pauline tersenyum manis. "Kakak, sejak kapan Kakak di sana?" tanyanya. Hauri tersenyum tipis. "Sejak tadi. Pauline saja yang tidak tahu," jawabnya. "Sini, Kak." Perlahan Hauri melangkah mendekatinya. Ia duduk di samping Pauline yang masih meneruskan lukisannya. "Sejak kapan suka melukis? Kakak tidak pernah melihatmu suka melukis biasanya," ujar Hauri bertanya. Pauline tersenyum. "Sudah lama, Kak. Tapi memang tidak Pauline kasih tunjuk pada siapapun. Semua kanvasnya juga Pauline sembunyikan di dalam ruangan ganti," jawab gadis itu. Hauri terkekeh. "Pauline ... Pauline, k
Kabar kehamilan Hauri sudah terdengar oleh semua keluarga, bahkan beberapa teman Exel juga mengucapkan selamat pada mereka. Termasuk sahabat dekatnya, Heiner yang malam ini datang berkunjung ke rumah mereka membawakan beberapa makanan dan buah-buahan. Sejak dulu hingga kini, memang Heiner yang jauh lebih dekat dan perhatian. "Sekarang tinggal kau saja yang belum menikah, Heiner. Mau sampai kapan kau terus menyendiri?" tanya Exel pada sahabatnya itu. Heiner terkekeh. "Entahlah, tapi aku benar-benar menikmati hidupku saat ini," jawabnya."Saat waktunya tiba, jodohmu pasti juga akan datang, Heiner," sahut Hauri mendekati dua laki-laki itu membawakan cemilan dan juga buah-buahan. "Benar, Hau. Aku malah berpikir kalau aku ingin mendekati Pauline ... supaya aku merasakan, sepertinya enak juga menjadi menantu Keluarga Collin," ujarnya dengan percaya diri, sebelum sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya. Exel menatap tajam dan kesal. "Kalau kau ingin mendekati adikku, kau harus melawa
Pagi ini Hauri pergi ke rumah sakit ditemani oleh Exel. Tetapi, ia tidak pergi menemui Dokter William lagi, melainkan Hauri akan pergi ke dokter kandungan saat ini.Bersama dengan suaminya, Hauri baru saja menyelesaikan pemeriksaan. Mereka duduk menunggu hasil periksa dengan perasaan mendebarkan. "Nyonya pasti sering pusing dan mual akhir-akhir ini?" tanya dokter perempuan itu. Hauri mengangguk. "Iya dok, kemarin saat menghubungi Mama mertua saya, Mama meminta saya untuk langsung periksa," ujarnya. Dokter itu tersenyum. "Ya, memang seharusnya begitu, Nyonya," jawabnya. "Dan ... dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, Nyonya saat ini sudah mengandung berusia hampir lima minggu. Mungkin Nyonya tidak sadar saat Nyonya mengalami terlambat datang bulan." Hauri terdiam menggenggam erat tangan Exel. Laki-laki itu juga tercengang, tak percaya diselimuti kebahagiaan yang luar biasa. "Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Exel dengan kedua mata berbinar-binar. "Benar, Tuan. Selam
Beberapa Minggu Kemudian....Suara hujan deras malam ini membuat suasana menjadi sangat dingin. Hauri, gadis cantik itu duduk di sofa di dalam ruang tamu seorang diri. Sementara Exel, suaminya berada di dalam ruangan kerjanya dan tampak sedang bertelfonan dengan rekan kerjanya membahas meeting siang tadi. "Dia selalu memprioritaskan pekerjaanmu daripada aku, sekarang. Apa dia sudah bosan padaku?" Hauri mengomel kesal. Ia memeluk bantalan sofa erat-erat. "Laki-laki sepertinya memang sangat tega." Lebih dari satu jam Hauri menggerutu dengan sikap Exel yang menyebalkan. Gadis itu marah dan kesal lantaran Exel tiba-tiba menerima meeting sore tadi, padahal Exel sudah berjanji mengajak Hauri jalan-jalan. Hauri yang sudah sangat senang pun ia menolak untuk dibohongi. Karena tak sekali dua kali Exel selalu mengajaknya pergi, tapi ujung-ujungnya selalu gagal. Tak lama kemudian, Exel keluar dari dalam ruangan kerjanya. Ia menoleh ke arah Hauri yang duduk di sofa dengan wajah kesal. "Say