Kondisi Hauri sudah lebih baik hari ini. Daniel selaku dokter yang menangani Hauri pun mengizinkannya untuk pulang. Bersama Exel yang selalu menemaninya, Hauri kini keluar dari dalam gedung rumah sakit. "Exel ... aku pulang ke rumahku sendiri, ya," pinta Hauri sembari dirangkul oleh Exel. "Tidak usah. Kalau di sana siapa yang akan merawatmu nanti, Hau?" Exel bersikeras. Laki-laki itu membuka pintu mobilnya. Sejak pagi tadi, Hauri sudah membujuk Exel kalau dia akan pulang sendiri, tapi Exel tetap saja melarangnya!Hauri masuk ke dalam mobil, di depan ada Jericho yang mengemudikan mobil milik Exel. Sepanjang perjalanan Hauri hanya diam dan melamun. Meskipun Exel seolah-olah tahu kalau Hauri ingin pergi, dan melarangnya dengan cara apapun. Tapi rasanya hal itu tidak bisa menghentikan Hauri. "Tuan Exel, pagi tadi Opa menghubungi saya. Katanya jam sembilan nanti ada meeting penting, Tuan Exel yang diminta untuk datang," ujar Jericho. "Kan masih jam sembilan nanti, Paman. Sekarang ma
Sedangkan Exel, ia menemui Oma-nya sendirian. Padahal pagi ini, Melodi ingin bertemu dengan Hauri dan memastikan kondisi gadis itu baik-baik saja. Tetapi, justru kini Melodi melihat cucu laki-lakinya masuk ke dalam rumah seorang diri. "Loh, kekasihmu mana, Exel? Kau bilang pada Oma tadi katanya dia pulang dari rumah sakit pagi ini denganmu. Sekarang, mana dia?" tanya Melodi menatap cucu laki-lakinya. Exel melepaskan mantel yang ia pakai dan melemparkannya ke arah sofa dengan kasar. "Dia meminta pulang," jawab Exel dengan nada kesal. "Pu-pulang, bagaimana? Kau bilang dia sedang sakit, bagaimana bisa kau mengizinkan dia pulang, Exel?!" pekik Melodi menatap tajam cucu laki-lakinya itu. "Dia yang meminta untuk pulang, Oma. Aku sudah melarangnya, tapi dia sangat keras kepala!" pekik Exel, ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Melodi berdiri dengan tongkat berwarna silver yang menjadi penyangga berdirinya. Tatapan wanita tua itu menajam ke arah Exel. Seperti tidak bisa lagi rasany
Exel mencari Hauri di rumahnya, namun rumah itu terkunci rapat dan tidak menunjukkan keberadaan gadis itu di sana. Ia mencari-cari di mana kekasihnya saat ini. Exel panik sendiri, menanti-nanti Hauri di depan rumah gadis itu. "Ke mana Hauri? Kenapa dia tidak ada?" seru Exel kesal. "Paman Jericho bilang dia mengantarkan Hauri ke rumahnya, tapi kenapa dia tidak ada?!"Exel mengacak rambutnya, menghubungi Hauri berkali-kali dan tidak ada dijawab juga. "Hauri ... Hauri, kau ke mana, Hau?!" rutuk Exel kesal. Sejenak Exel terdiam. Pikirannya yang diam-diam menakutinya sendiri, Exel tersentak pelan, saat benaknya menebak kalau saja kini Hauri tengah bersama dengan Robert. Rasa khawatir di dalam hatinya pun kian membuncah saat itu juga. Exel kembali masuk ke dalam mobilnya, ia mencari Robert saat itu juga. Exel tahu, Robert memiliki sebuah apartemen di tengah kota. Jericho yang memberikan informasi ini padanya sejak dia menyelidiki tentang Robert beberapa minggu yang lalu. "Sampai dia
Di tempat lain, Hauri berjalan membawa keranjang berisi kelopak bunga mawar di dalam keranjang rotan. Dan bunga bouquet putih dalam pelukannya. Gadis itu berjalan dengan langkah lemahnya memasuki kawasan tanah pemakaman, di hamparan ilalang yang luas di seberang sana. Dan langit jingga luar membentang membuat nyeri di hati dan tubuh Hauri semakin menyiksa. Hauri menghentikan langkahnya di sebuah gundukan tanah dan sebuah papan bertuliskan nama mendiang Papanya. Senyuman terukir indah di bibir Hauri seketika. "Papa ... Hauri datang, Pa," ucap gadis itu. Perlahan, ia menabur kelopak mawar merah di dalam keranjang ke atas gundukan tanah di mana Papanya dikebumikan. Hauri juga meletakkan bouquet bunga yang ia bawa. "Papa, Hauri ingin meminta maaf pada Papa. Mungkin selama ini Hauri jarang berkunjung. Dan ... sekarang Hauri ingin mengatakan hal yang begitu membuat hati Hauri sedih," lirih gadis itu tertunduk menangis. "Besok pagi, Hauri akan pergi ke Colmar. Hauri akan tinggal dengan
Malam ini Hauri berkemas dan bersiap. Gadis itu membawa semua pakaiannya ke dalam tas besar miliknya. Dia akan pergi ke stasiun tengah malam. Meskipun keretanya berangkat besok pagi, namun ia tidak mau Exel datang ke sini besok pagi-pagi sekali hanya untuk menggagalkan rencananya. Tepat pukul sebelas malam, Hauri keluar dari dalam rumahnya. Ia berdiri di halte menunggu bus kota yang beroperasi di malam hari. "Hufftt ... dinginnya malam ini," gumam Hauri mengusap kedua telapak tangannya. Gadis itu membuka ponselnya, dia membaca pesan dari Bibinya yang mengatakan besok siang Bibinya akan menunggu di stasiun Colmar.Hauri tersenyum senang mendengar hal itu. Tentu saja ia bersemangat. "Aku tidak sabar bertemu dengan Bibi Veny. Pasti Bibi Veny juga merasakan hal yang sama." Cukup lama Hauri duduk di bangku halte, sampai akhirnya sebuah bus berhenti di sana. Segera Hauri masuk ke dalam bus dan ia memilih tempat duduk yang nyaman. Hauri tidak menghubungi Exel atau mengirim pesan apapu
Exel mendatangi kediaman Hauri, rumah itu benar-benar kosong. Bahkan gorden ditutup rapat dan tidak ada tanda-tanda keberadaan siapapun di dalam sana. Ponsel Hauri juga tidak bisa lagi dihubungi. Exel tidak tahu Hauri pergi ke mana, namun ia yakin gadis itu pasti benar-benar belum pergi meninggalkan Paris. Ponsel Exel tiba-tiba berdering, nama Jericho terpampang di layar ponselnya. Segera ia menjawabnya dengan cepat. "Halo, Paman Jericho?" jawab Exel dengan suara paniknya. "Halo Tuan, ada pemberitahuan sebentar lagi akan ada badai salju. Tuan, sejak semalam salju sudah sangat lebat, tidak mungkin kalau ada kendaraan mobil atau bus pergi ke arah luar kota Colmar, coba Tuan pergi ke stasiun sebelum pukul tujuh, saya yakin Hauri pasti ada di sana," jelas Jericho di balik panggilan itu. "Aku ke sana sekarang." Panggilan itu langsung diputus oleh Exel begitu saja. Saat itu juga Exel bergegas masuk ke dalam mobilnya dan bergegas pergi menuju ke stasiun seperti yang Jericho sarankan.
"Hauri, Sayang bangun ... Hauri!" Exel memekik keras-keras saat kekasihnya pingsan dengan keadaan menggigil kedinginan. Satu petugas tadi pun mendekati Exel dengan wajah panik. Namun dia tidak berani mengatakan apapun, apalagi melihat Exel menangis memeluk Hauri. Exel tidak bisa menahan air matanya saat wajah pucat Hauri begitu menghantuinya saat ini. "Sayang, bertahanlah," lirih Exel melepaskan syal hitam yang ia pakai dan memakaikan pada Hauri. "Tuan, pakaian mantel yang Tuan pakai untuk selimut," ujar penjaga itu pada Exel. Saat itu juga Exel melepaskan mantelnya dan menyelimutkan pada Hauri, mendekapnya dengan seerat mungkin. Exel mengambil ponselnya dan menghubungi Jericho saat itu juga. "Halo, Paman ... datanglah ke stasiun sekarang. Aku tidak mau tahu apapun yang terjadi di luar, datanglah sekarang, Paman!" pekik Exel dengan suara sedihnya, ia hampir menangis. "Baik Tuan. Saya ke sana sekarang!" Panggilan itu langsung tertutup. Exel menatap Hauri yang mulai bernapas d
Melodi tersenyum saat Hauri menyapanya dengan wajah terkejut. Ia mampu menebak, pasti gadis itu takut dengan keberadaannya saat ini. Begitu Melodi mendekat, Hauri hendak bangun dan menyibak selimutnya. Namun Exel lebih dulu mendekat dan melarangnya."Tidak papa, duduk saja di situ. Tubuhmu masih belum fit betul, Nak," ujar Melodi pada Hauri. "Iya Oma," jawab Hauri lirih. Melodi duduk di samping Hauri dan menatap lekat wajah ayu gadis itu. "Kenapa takut dengan Oma? Apa Oma menyeramkan?" tanya Melodi terkekeh kecil. Ekspresi Hauri yang semula takut, kini menjadi samar ia tersenyum. "Maaf, Oma," cicit gadis itu. "Hauri sudah lama tidak melihat Oma." "Iya. Oma juga sering melihatmu saat kau masih kecil, dulu sering membawa Exel pulang ke rumahmu sampai Oma dan Papanya Exel bingung mencari-cari," ujar Melodi. "Tapi sekarang lihat, kau yang mengejutkan Oma. Kau dulu sangat kecil dan cengeng, sekarang sudah tumbuh besar dan secantik ini. Pantas saja kalau Exel tidak bisa berpaling dar
Beberapa Bulan Kemudian...Hari-hari berlalu dengan sangat baik. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan sangat mengesankan tiap harinya.Tak lama lagi, Hauri dan Exel akan menjadi orang tua. Mereka sangat bahagia saat tahu kalau anak yang sedang Hauri kandung ternyata ada dua bayi. Meskipun telah dinyatakan sembuh sejak beberapa bulan lalu, tapi Exel menjadi suami siaga untuk Hauri yang sebentar lagi akan melahirkan, hingga tinggal menghitung hari demi hari. "Jangan jalan jauh-jauh, Sayang ... nanti kau bisa kelelahan! Ingat kata Dokter Lilian, kau harus banyak istirahat," ujar Exel pada istrinya. "Iya. Masa jalan dari ruang tamu ke dapur saja kau mengomeliku," protes wanita cantik yang kini berdiri di belakang Exel sembari memegang perut besarnya. Exel terkekeh. Laki-laki itu kini tengah membuatkan susu untuk Hauri, sementara semua urusan rumah yang lainnya, pembantu mereka yang menangani. "Sudah, ini susunya. Cepat diminum dan dihabiskan," bujuk Exel menyerahkan segera susu
Tak ada yang bisa membujuk Pauline sama sekali. Baik Exel maupun kedua orang tuanya, hingga mereka semua menyerah dan membiarkan Pauline melakukan apapun yang dia sukai. Exel juga berpesan pada Mama dan Papanya untuk tidak memarahi adiknya bila terjadi sesuatu. Karena malam ini, Exel kembali pulang ke rumahnya. "Kasihan sekali Pauline ... aku memintanya besok untuk datang ke rumah kita. Siapa tahu dia mau," ujar Hauri. Exel mengangguk. "Aku rasa juga begitu. Semoga saja dia mau," jawabnya. Sepanjang perjalanan, Hauri bercerita ini dan itu. Gadis itu juga tidak henti-hentinya mengatakan kalau ia sangat mencemaskan adik iparnya. Exel pun memahami perasaan itu. Namun ia menganggap kalau Pauline sudah besar, pasti dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Jadi, Exel lebih fokus pada Istrinya dan juga pada rumah tangga mereka berdua. "Sayang, kau ingin membeli sesuatu?" tawar Exel menoleh pada istrinya. "Tidak, aku tidak ingin membeli apapun," jawab gadis itu. "Mama tadi memb
Hauri masuk ke dalam kamar Pauline. Di sana, ia melihat Pauline yang tengah sibuk dengan kanvas dan cat airnya. Entah sejak kapan gadis itu senang mengurung diri dan menyendiri. Pauline duduk di balkon kamarnya, hingga ia tidak tahu bila Hauri masuk ke dalam kamarnya. "Wahh ... cantik sekali gambaranmu, Pauline," puji Hauri tiba-tiba. Suaranya membuat Pauline sontak menoleh ke belakang di mana Hauri berdiri. Pauline tersenyum manis. "Kakak, sejak kapan Kakak di sana?" tanyanya. Hauri tersenyum tipis. "Sejak tadi. Pauline saja yang tidak tahu," jawabnya. "Sini, Kak." Perlahan Hauri melangkah mendekatinya. Ia duduk di samping Pauline yang masih meneruskan lukisannya. "Sejak kapan suka melukis? Kakak tidak pernah melihatmu suka melukis biasanya," ujar Hauri bertanya. Pauline tersenyum. "Sudah lama, Kak. Tapi memang tidak Pauline kasih tunjuk pada siapapun. Semua kanvasnya juga Pauline sembunyikan di dalam ruangan ganti," jawab gadis itu. Hauri terkekeh. "Pauline ... Pauline, k
Kabar kehamilan Hauri sudah terdengar oleh semua keluarga, bahkan beberapa teman Exel juga mengucapkan selamat pada mereka. Termasuk sahabat dekatnya, Heiner yang malam ini datang berkunjung ke rumah mereka membawakan beberapa makanan dan buah-buahan. Sejak dulu hingga kini, memang Heiner yang jauh lebih dekat dan perhatian. "Sekarang tinggal kau saja yang belum menikah, Heiner. Mau sampai kapan kau terus menyendiri?" tanya Exel pada sahabatnya itu. Heiner terkekeh. "Entahlah, tapi aku benar-benar menikmati hidupku saat ini," jawabnya."Saat waktunya tiba, jodohmu pasti juga akan datang, Heiner," sahut Hauri mendekati dua laki-laki itu membawakan cemilan dan juga buah-buahan. "Benar, Hau. Aku malah berpikir kalau aku ingin mendekati Pauline ... supaya aku merasakan, sepertinya enak juga menjadi menantu Keluarga Collin," ujarnya dengan percaya diri, sebelum sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya. Exel menatap tajam dan kesal. "Kalau kau ingin mendekati adikku, kau harus melawa
Pagi ini Hauri pergi ke rumah sakit ditemani oleh Exel. Tetapi, ia tidak pergi menemui Dokter William lagi, melainkan Hauri akan pergi ke dokter kandungan saat ini.Bersama dengan suaminya, Hauri baru saja menyelesaikan pemeriksaan. Mereka duduk menunggu hasil periksa dengan perasaan mendebarkan. "Nyonya pasti sering pusing dan mual akhir-akhir ini?" tanya dokter perempuan itu. Hauri mengangguk. "Iya dok, kemarin saat menghubungi Mama mertua saya, Mama meminta saya untuk langsung periksa," ujarnya. Dokter itu tersenyum. "Ya, memang seharusnya begitu, Nyonya," jawabnya. "Dan ... dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, Nyonya saat ini sudah mengandung berusia hampir lima minggu. Mungkin Nyonya tidak sadar saat Nyonya mengalami terlambat datang bulan." Hauri terdiam menggenggam erat tangan Exel. Laki-laki itu juga tercengang, tak percaya diselimuti kebahagiaan yang luar biasa. "Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Exel dengan kedua mata berbinar-binar. "Benar, Tuan. Selam
Beberapa Minggu Kemudian....Suara hujan deras malam ini membuat suasana menjadi sangat dingin. Hauri, gadis cantik itu duduk di sofa di dalam ruang tamu seorang diri. Sementara Exel, suaminya berada di dalam ruangan kerjanya dan tampak sedang bertelfonan dengan rekan kerjanya membahas meeting siang tadi. "Dia selalu memprioritaskan pekerjaanmu daripada aku, sekarang. Apa dia sudah bosan padaku?" Hauri mengomel kesal. Ia memeluk bantalan sofa erat-erat. "Laki-laki sepertinya memang sangat tega." Lebih dari satu jam Hauri menggerutu dengan sikap Exel yang menyebalkan. Gadis itu marah dan kesal lantaran Exel tiba-tiba menerima meeting sore tadi, padahal Exel sudah berjanji mengajak Hauri jalan-jalan. Hauri yang sudah sangat senang pun ia menolak untuk dibohongi. Karena tak sekali dua kali Exel selalu mengajaknya pergi, tapi ujung-ujungnya selalu gagal. Tak lama kemudian, Exel keluar dari dalam ruangan kerjanya. Ia menoleh ke arah Hauri yang duduk di sofa dengan wajah kesal. "Say
Elizabeth sungguh mengunjungi Hauri pagi ini. Ia membawakan banyak cemilan dan juga makanan lainnya. Ditemani oleh Pauline yang juga ikut datang berkunjung bersama sang Mama. Kedatangan mereka disambut dengan senang oleh Hauri dan Exel. "Maaf ya, Ma, Hauri belum menyiapkan makanan apapun. Hauri bangun kesiangan," ujar gadis itu. "Iya, Sayang, tidak papa." Elizabeth tersenyum hangat. Pauline menatap sang Kakak ipar. "Kak Hauri seperti Pauline saja," ujarnya. "Semalam aku juga lembur karena tugas, Kak. Jadi tadi bangun kesiangan, mandi, bersiap sebentar terus langsung ke sini. Kalau Kak Hauri sibuk apa sampai bangun kesiangan?" Pertanyaan itu membuat Hauri merasa malu tiba-tiba. Sambil menyiapkan minuman di dapur, tanpa terasa pipinya merah mengingat semalam ia hanya menghabiskan sepanjang malam dengan suaminya. "Pauline, setiap orang itu punya kesibukan sendiri-sendiri. Begadang bukan hanya mengerjakan tugas, insomnia juga bisa," sahut Elizabeth menanggapi putrinya. "Emmm ... be
"Aku rasa, aku tidak bisa berkumpul dengan para wanita seperti istri rekan kerjamu tadi, Sayang."Hauri menatap Exel yang kini melepaskan kemeja putihnya dan menoleh pada Hauri yang tengah duduk di tepi ranjang kamar mereka. "Bukan tidak bisa, hanya belum terbiasa," jawabnya. "Mereka semua awalnya bertanya tentang kesibukanku, lalu bisnisku, lalu sedikit bertanya-tanya tentang latar belakangku," ujar Hauri bercerita. Dengan iris mata hitamnya, Hauri menatap sang suami lekat-lekat. "Apa memang seperti itu, perbincangan para masyarakat kelas atas?" tanyanya. Exel terdiam sesaat. Laki-laki itu membalikkan badan dan berjalan mendekati sang istri. "Tidak semua. Buktinya Mama ... juga tidak seperti mereka, kan?" "Heem. Aku pikir orang yang aku temui semuanya akan seperti Mama, ternyata tidak." Exel menyahut kimono putih di atas ranjang dan tersenyum pada Hauri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang ganti. Hauri mengembuskan napasnya panjang dan berbaring di atas ranjang. Sampai Exe
Setelah pertengkaran kemarin-kemarin, hubungan Exel dan Hauri kembali terjalin hangat. Exel benar-benar merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya. Malam ini, mereka berdua tampak bersiap-siap pergi. Exel mendapatkan ajakan makan malam bersama para rekan dan sahabatnya di sebuah restoran. Exel pun datang dalam acara itu bersama Hauri. "Sayang...." "Hm?" Exel menoleh menatap Hauri yang memeluk lengannya. "Kenapa?" "Apa temanmu ada yang sudah punya istri?" tanya Hauri."Ada. Ada beberapa dari mereka yang sudah menikah, sepertinya istrinya juga diajak. Nanti kau harus menyapa mereka, oke?" Exel tersenyum mengecup pucuk kepala Hauri. Gadis itu mengangguk. "Iya." Dengan balutan dress panjang berwarna merah, dibalut blazer hitam berbahan hangat, Hauri tampak cantik malam ini. Rambutnya yang sudah panjang sebahu pun tertata rapi dengan hiasan jepit mutiara. Bersama dengan Exel, mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran. Di sana, tampak seorang laki-laki melambaikan t