Hari berganti, Hauri tampak ceria seperti biasanya. Pagi ini ia berdiri di teras samping kediaman Exel sembari menatap langit mendung dan menatap salju yang turun dengan tipis dan terasa begitu lembutnya. Suara derap langkah kaki membuat Hauri menoleh cepat. Nampak Ferdion—ajudan Exel yang kini tersenyum dan berjalan ke arahnya. "Selamat pagi, Nona ... Nona sedang apa?" tanya laki-laki itu. "Tidak ada. Senang saja rasanya berdiri di sini," jawab Hauri tersenyum hingga matanya menyipit. Ferdion berdiri di samping pilar yang menjadi jaraknya dengan Hauri saat ini. "Saya senang melihat Nona Hauri tersenyum dan nyaman berada di tempat ini. Saya pikir, Tuan Exel hanya bermain-main tentang Nona yang disakiti oleh suami Nona," ujar Ferdion. "Saya berharap ... Nona bisa di sini lebih dari satu bulan, atau mungkin selamanya. Supaya Tuan bisa menjaga Nona dengan baik." Hauri terhening di tempatnya. Gadis itu mengerjapkan kedua mata sipitnya menatap salju yang turun. Ferdion
Exel mengajak Hauri ke rumah sakit. Gadis itu awalnya sempat menolak ajakannya kemarin, tapi kini mobil Exel sudah sampai di depan gedung rumah sakit. Saat mereka turun dari dalam mobil, Exel mengulurkan tangannya pada sang kekasih. "Ayo, aku sudah membuat janji dengan seseorang," ujarnya. "De-dengan siapa? Ki-kita ke sini tidak untuk aneh-aneh kan? Kau tidak mengajakku mengecekkan kondisiku kan? Aku itu tidak papa, Exel..." Hauri menggerutu sembari memeluk lengan Exel."Sudah, Hau... ikut saja denganku, ayo," ajak Exel. Mau tidak mau, mereka berdua pun bergegas masuk ke dalam rumah sakit. Terasa jelas remasan tangan Hauri di lengan Exel. Memang Exel tahu, sejak dulu Hauri sangat takut dengan jarum suntik, pantaslah dia selalu menghindari semua ini."Exel..." Hauri merengek kecil saat mereka tiba di depan sebuah ruangan. Pintu ruangan itu terbuka, nampak seorang laki-laki berjas putih yang tersenyum pada Exel dan Hauri yang baru saja masuk. "Om, selamat pagi," sapa Exel mengulu
Setelah pemeriksaan beberapa jam lamanya, Daniel meminta Exel dan Hauri untuk pulang. Daniel juga meresepkan sebuah obat untuk Hauri untuk meredakan pusingnya. Hasil pemeriksaan memerlukan banyak waktu, hingga Daniel akan menghubungi Exel bila sudah selesai.Kini, Hauri dan Exel keluar dari dalam rumah sakit. Wajah Hauri semakin pucat saat ini, Exel merangkulnya dengan erat tanpa melepaskannya sama sekali. Hingga mereka sampai di parkiran dan masuk ke dalam mobil. "Apa kepalamu pusing, hem?" tanya Exel mengelus pucuk kepala Hauri. Gadis itu menggeleng. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Exel saat itu juga, bahkan gadis itu menangis pilu dengan menutup wajahnya. Exel tahu, Hauri pasti takut. "Tidak papa, Sayang. Kau pasti akan sembuh, kita tunggu hasilnya beberapa hari lagi, okay?" Exel mengusap air mata di pipi Hauri. Laki-laki itu tersenyum, dia berusaha membuat Hauri yakin kalau dia akan sembuh. "Ke-kenapa baru sekarang aku merasa takut," ucap Hauri di sela isaknya. "Bagaim
"Exel tidak pernah menemui Sera, Opa! Padahal Sera berkali-kali menghubungi Exel, tapi Exel selalu saja mengabaikan Sera!" Omelan itu terdengar dari Serafina, gadis cantik berani bergelombang panjang yang kini datang ke kediaman Arshen dan Melodi dengan wajah marah. Serafina memang jujur, sejak ia bertemu dengan Exel, tak sekalipun Exel peduli dengannya. Padahal Serafina sudah bersemangat dan senang karena dijodohkan dengan Exel, seorang pemimpin perusahaan, tampan dan mempesona, satu-satunya putra penerus dari keluarga Collin. "Terus Sera harus bagaimana, Opa? Apa iya, Sera harus melupakan Exel begitu saja? Perjodohan ini bagaimana? Serafina juga memutuskan untuk menuntaskan kuliah sampai akhir tahun ini demi perjodohan dengan Exel. Kalau Papa tahu, Papa bisa marah." Serafina menatap dua orang tua di hadapannya saat ini. Melodi pun mendekatinya dan mengusap pundak Serafina dengan lembut. "Sera, biar nanti Oma dan Opa yang menasehati Exel ya, Nak. Sera tidak perlu khawatir," buju
Sejak siang hingga sore, Hauri berdiam diri di dalam kamar. Gadis itu menghabiskan waktunya untuk melamun berjam-jam. Hauri mengingat kalau mendiang Papanya memiliki saudara di kota Colmar, tapi Hauri sudah lama tidak menghubungi Bibinya itu. "Huhhh ... apa yang harus aku lakukan? Kalau aku langsung ke Colmar, apa Bibi Veny akan menerimaku? Bibi Veny kan pernah bertengkar hebat dengan Mama." Hauri memeluk kedua lututnya, pandangannya menatap ke arah hujan salju yang turun. "Tapi aku harus mencobanya bertemu dengannya." "Bertemu siapa?" Suara bariton tegas itu membuat Hauri sontak menoleh ke belakang dengan cepat. Sosok Exel berdiri di ambang pintu menatapnya. Hauri menatap Exel terkejut. Sejak kapan laki-laki itu ada di sana? Sorot matanya yang tak seceria seperti biasanya saat ia melihat Exel. Exel melangkah ke arahnya, laki-laki itu mengusap pucuk kepala Hauri dengan lembut. "Kau tadi berbicara sendiri, ingin bertemu siapa, Sayang?" tanya Exel menundukkan kepalanya. Senyuma
Exel membawa Hauri ke rumah sakit malam itu. Meskipun gadis itu senantiasa menolak dan mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, namun Exel tidak bisa dibohongi dengan kondisinya yang buruk. Sesampainya di rumah sakit, Hauri pun langsung ditangani oleh Daniel dan beberapa suster. Hauri tidak pingsan dan ia setia menutup mulutnya dengan tangannya. "Hau, apa kepalamu sangat-sangat pusing, Nak?" hanya Daniel memeriksanya. "Iya Om," jawab gadis itu. "Sabar sebentar, ya..." Daniel menatap beberapa suster dan rekan dokter lainnya untuk membantu menangani Hauri. Bahkan gadis itu dipindahkan ke kamar perawatan yang lain. Exel hanya berjalan mengikutinya. Sampai Hauri dibawa ke dalam ruangan dan Exel menunggu di luar, di lorong yang sangat sepi ia duduk sendirian di sana.Exel terdiam, ia membayangkan dulu Mama Elizabeth-nya sakit dan berjuang sendirian. Betapa sedihnya waktu itu, dan Exel juga masih sangat kecil tidak bisa berbuat apa-apa. "Exel..." Suara bariton Daniel membuyarkan la
"Jadi tidak ada yang tahu kalau Exel akan dijodohkan, ya?" Hauri berucap lirih, gadis itu menatap ke arah luar jendela di dalam kamar rawat inapnya. Mengingat Dokter Daniel pun tidak mengetahui kalau Exel akan dituangkan dengan gadis bernama Sabrina. Itu artinya memang perjodohan itu masih baru saja diikat. "Kenapa aku tidak bisa tenang begini? Kenapa aku bingung bagaimana dengan nasibku?" lirih Hauri tertunduk menatap punggung tangannya tempat jarum infus berada. "Aku harus memantapkan keputusanku. Aku akan pergi ke Colmar ke tempat Bibi Veny." Pintu ruangan itu terbuka, Hauri menatap Exel yang berjalan masuk ke dalam sana membawa paper bag besar di tangannya. Laki-laki itu menatapnya beberapa detik sebelum dia tersenyum. "Bagaimana? Sudah mendingan?" tanya Exel berjalan mendekati Hauri. "Sudah. Om Daniel tadi yang menemaniku, terus ada suster yang memanggilnya. Katanya ada pasien yang sedang drop," jawab gadis itu.Exel mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Hauri dengan
"Aku sudah mempunyai kekasih, Oma. Dia adalah teman masa kecilku dulu, dia bernama Hauri. Aku yakin Oma pasti mengenal dengan gadis itu." Penjelasan Exel membuat Melodi sedikit terkejut, pasalnya wanita tua itu juga tahu tentang Hauri. Apalagi keluarga Hauri dulunya juga sangat cukup sering didengar, dari kejayaan perusahaannya, hingga kejatuhannya bahkan namanya kini yang tidak lagi terdengar. "Ha-Hauri...." Melodi berucap lirih. "Di mana dia sekarang, Nak? Oma tidak pernah mengetahui keberadaannya setelah Papanya meninggal." "Hauri ada bersamaku, Oma. Sekarang dia sedang sakit dan kondisinya juga sangat menurun," ujar Exel jujur. "Hauri sakit seperti Mama Elizabeth dulu." "Hah?" Melodi semakin terkejut. "Kanker darah?" Exel mengangguk. "Iya Oma. Bahkan sekarang aku meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Itu lah alasan kenapa aku jarang menemui kalian, karena aku sibuk bekerja dan sibuk menjaga Hauri." Berkali-kali Exel mengusap wajahnya, ia tidak mau menunjukkan seberapa b
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan
Exel kembali masuk ke dalam kamar di mana Hauri menunggunya. Namun, dapat ia lihat wajah suaminya yang kini tampak sangat sebal dan kesal hingga membuat Hauri bertanya-tanya. "Exel ... ada apa?" tanya gadis itu. Exel menggeleng. "Tidak papa, Sayang," jawabannya pelan dan mendekati Hauri lagi. "Air hangatnya sebentar lagi akan dibawa ke sini. Biar aku bantu obati." "Iya, terima kasih," jawab Hauri. "Aku tidak pernah memakai sepatu high heels. Jadinya merepotkan seperti ini...." Exel tersenyum tipis menatap istrinya tersebut. "Tidak papa, Sayang. Tidak ada yang merepotkan." Barulah beberapa menit kemudian pintu kamar hotel mereka terketuk. Exel membuka pintu dan melihat seorang pelayan wanita membawakan sebuah bak kecil berisi air hangat dan handuk berukuran kecil. Exel kembali masuk ke dalam kamar dan mendekati Hauri. "Mana kakinya," ujar laki-laki itu. "Aku bisa sendiri, tidak usah dibantu juga tidak papa," jawab Hauri merasa tak enak hati. "Hau..." Exel mengangkat wajahnya d
Pesta pernikahan yang diharapkan oleh Exel setelah sekian lama pun akhirnya tiba. Hari ini, Hauri—teman kecilnya resmi menjadi istri Exel. Di depan para tamu di dalam hall pernikahan yang sangat megah dan mewah, mereka menyaksikan pernikahan Exel dan Hauri. Semua orang menjadi saksi perjanjian suci ikatan sehidup semati. Semua teman-teman Exel datang ke pesta itu, termasuk Lafenia, Heiner, dan juga yang lainnya. "Akhirnya, kau yang lebih dulu menikah ternyata, ya..." Eithan menepuk pundak Exel. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu tersenyum. "Tentu saja, kalian segeralah menyusul," ujar Exel. "Aku mau mencari yang modelan Hauri dulu," sahut Heiner menatap Hauri dan menaikkan kedua alisnya. Hauri hanya tersenyum tipis, gadis itu hari ini tampak sangat cantik dengan balutan gaun pengantin dan memakai mahkota kecil sebagai hiasan kepalanya. Exel berdecak mendengar ucapan Heiner. "Tidak papa mencari yang seperti istriku, asal jangan istriku! Paham kau!" sinisnya. "Tenang saja