Sama seperti kemarin-kemarin, tiap malam Elizabeth selalu menunggu kepulangan Evan dengan perasaan jemu. Elizabeth tidak pernah mencoba berpikir yang tidak-tidak pada suaminya. Namun, wanita itu sedih saat Exel dan Pauline selalu menanyakan ke mana Papanya hingga malam hari tidak kunjung pulang. Saat ini, Elizabeth berdiri di dekat jendela rumahnya, menatap pemandangan luar yang malam ini sedang gerimis. "Kau di mana, Evan? Kenapa tidak menjawab panggilanku? Kau bilang kau akan lembur, tapi ini sudah terlalu malam..." Elizabeth menoleh menatap ke arah jam dinding kayu yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Wanita itu meremas selendang bermotif kotak-kotak dari kain flanel tebal, yang kini menutupi kedua pundaknya. Elizabeth tertunduk kecewa. 'Kalau seperti ini terus, harus dengan cara apa lagi aku membohongi anak-anak ... bagaimana kalau besok mereka marah lagi?' Elizabeth memejamkan kedua matanya dan mengembuskan napasnya panjang. Perlahan, ia menarik gorden putih di depa
Elizabeth menghindari pertanyaan anak-anaknya yang melulu menanyakan tentang Papanya yang tidak pernah ada waktu untuk mereka. Siang ini, Elizabeth mengajak Exel dan Pauline ke rumah lamanya, di sana, anak-anaknya bermain ditemani oleh Bibi Meria yang sangat menyayangi dua bocah manis tersebut. Dari jauh Elizabeth duduk diam dan perasaannya bercampur aduk saat ia memperhatikan buah hatinya. "Elize..." Suara sang Nenek membuyarkan lamunannya. Elizabeth menoleh cepat, wanita muda berparas cantik itu mendongak dan langsung mengelap air matanya dengan cepat. "Nenek?" Elizabeth tertunduk dan menyeka air matanya lagi. "Loh, kenapa kau menangis, Nak?" tanya Nenek Berta menyentuh pundak Elizabeth dan duduk di sampingnya. "Tidak papa, Nek," jawab Elizabeth mencoba tersenyum. "Tidak mungkin tidak ada apa-apa kau menangis. Kenapa? Elize ... kau bertengkar dengan Evan?" Berta mengusap rambut panjang Elizabeth. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tertunduk dan berusaha untuk men
Keesokan harinya, Evan kembali fokus pada pekerjaannya lagi. Setelah ia mengatakan yang sejujurnya pada sang istri tentang apa yang terjadi pada perusahaannya. Hari ini menjadi penentu bagi nasib perusahaan milik Evan. Meeting penting yang kembali diulang, setelah proyek sudah setengah jalan, hal ini sangat melelahkan untuk Evan. Di dalam ruangan yang luas, di perusahaan besar milik seorang Kian Arlando, laki-laki yang berusia empat puluh lima tahunan lebih, yang beberapa menit memimpin rapat penting di perusahaannya, bersama banyak orang-orang luar biasa di dalamnya. "Tuan..." Suara Jericho terdengar, ajudan itu menatap Tuannya yang duduk di sampingnya. Evan yang tadinya berbincang dengan salah satu rekannya, kini menoleh ke arah Jericho. "Ada apa, Jer?" tanya Evan. "Sepertinya, Tuan akan dipanggil oleh si Pak Tua itu," ujar Jericho berbisik. Dengan cepat Evan mempertahankan Tuan Kian di depan sana yang kini menyisihkan berkas milik Evan.Laki-laki tua itu membuka berkas bersa
Evan mengejar Clarisa yang kini berjalan di depan sana hendak menuju ke sebuah lift. Langkah lebar Evan semakin membuatnya dekat dengan wanita itu. "Tunggu!" Suara tegas laki-laki itu menghentikan langkah kaki Tania. Wanita cantik dengan rambut sebahu dan dress mewah berwarna biru itu, kini menoleh menatapnya. Dia memperhatikan Evan lekat-lekat. "Ya, Tuan?" Dia tersenyum seolah tak terjadi apapun. Evan mendekatinya dan menatapnya dengan tatapan benci dan marahnya. "Apa maksudmu dengan semua ini?" desis Evan, wajahnya memerah saat ia berhadapan dengan Tania. "Apa maksudmu menyamar menjadi pembantu, lalu kau pergi begitu saja, dan muncul sebagai orang yang baru! Kau pikir kau siapa, hah?!" Ucapan Evan yang penuh penekanan, mendesak, dan menyudutkan ini membuat Tania terdiam sejenak sebelum dia terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita itu bersedekap angkuh dan tersenyum. "Apa maksud Anda, Tuan?" Tania menaikkan kedua alisnya dan wanita itu terkekeh tiba-tiba sebelum d
Makan malam sudah siap, anak-anak sengaja menolak makan lebih awal, mereka ingin makan bersama dengan Papanya. Exel dan Pauline menunggu Evan di ruang makan. Mereka nampak menanti-nanti, sementara Elizabeth masih membantu Bibi di dapur. "Ma, Exel panggil Papa dulu ya, setelah itu makan malam bersama-sama," ujar Exel menatap sang Mama. "Iya Sayang," jawab Elizabeth. Anak laki-laki itu bergegas turun dari atas kursi dan berjalan ke depan. Exel melangkah pelan, dia mengintip dari balik pintu kayu ke arah ruangan kerja Papanya. Anak itu melihat ruangan kerja Papanya yang berantakan, semua kertas seperti sampah yang berhamburan di lantai. Kedua pupil mata Exel melebar saat anak itu melihat Papanya marah-marah dan menyapu beberapa map berkas di atas meja, hanya dengan sekali sapuan tangannya. "Papa..." Suara Exel membuat Evan yang tengah marah-marah pun menoleh cepat. Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar melihat ada putranya di sana. "Papa kenapa?" Exel berjalan masuk ke dalam ruan
Keesokan paginya, Elizabeth kembali menjalani hari seperti biasa. Suaminya pun kini bersiap untuk pergi, jauh lebih pagi dari sebelum-sebelumnya. Elizabeth yang kini berada di dapur, wanita itu memperhatikan Evan yang berjalan menuruni tangga lengkap dengan tuxedo hitam yang dia pakai. "Sayang, kau tidak sarapan dulu?" tanya Elizabeth mendekatinya. "Mau aku buatkan bekal? Tunggu sepuluh menit saja, atau aku siapkan sandwich, atau—" "Tidak Eli, aku harus berangkat cepat. Siang nanti aku akan ada pertemuan, jadi aku harus berangkat lebih pagi," ujar Evan menolaknya. "Tapi kau harus sarapan, Evan..." "Aku akan membelinya di luar," jawab Evan sembari berjalan ke arah teras. Elizabeth pun berjalan di belakangnya dan terus mengikuti suaminya. "Apa nanti kau juga akan pulang malam?" tanya Elizabeth lagi. "Entahlah, mungkin tidak. Yang jelas, jangan menungguku," jawab Evan sebelum dia masuk ke dalam mobil. "Kalau besok?"Elizabeth bertanya lagi, kali ini nada suaranya merendah tiba-t
"Om Daniel mau kan, antarkan kita dan Mama pulang? Exel dan Adik Pauline capek jalan kaki…" Exel mendongak menatap Daniel saat mereka hendak beranjak dari taman bermain. Mendengar permintaan anak laki-laki itu, Daniel pun langsung terkekeh. Ia mengusap pucuk kepala Exel dengan gemas."Tentu saja, tumben sekali Exel ... biasanya Exel akan marah saat Mama dekat sama Om," ujar Daniel pada anak itu. "Iya. Tapi kan sekarang karena Mama sedang membawa belanjaan, mengajak Exel dan Pauline, jadi kalau jalan kaki akan repot, Om," jelas anak itu. Daniel terkekeh mendengarnya. "Oh ... seperti itu?" Sementara Elizabeth hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dengan tingkah Exel. Anak laki-laki itu mengajak adiknya masuk ke dalam mobil milik Daniel. Mereka pun bergegas pergi, Daniel mengantarkan Elizabeth pulang ke rumahnya. "Ma, nanti malam janji ya sama Exel dan Adik Pauline, kalau Mama mau telfon Papa," ujar Exel pada sang Mama. “Pokoknya Papa harus pulang! Papa kan tidak boleh lupa ha
Sejak siang, Elizabeth sibuk memasak dan membuat kue yang anak-anaknya minta. Seperti yang sudah Elizabeth rencanakan sejak semalam. Kalau suaminya sibuk, maka ia akan melaksanakan pesta kecil-kecilan dengan anaknya, Elizabeth bingung harus melakukan apalagi saat Exel dan Pauline rewel. "Semuanya sudah siap!" seru Elizabeth tersenyum manis menatap semua sajian di atas meja makan. Wanita itu menepuk kedua telapak tangannya dan menghela napasnya lega, dia melirik satu kursi yang harusnya ditempati Evan malam ini. Tapi apa boleh buat..."Aku juga sebenarnya tidak ingin mengadakan pesta seperti ini tampanmu, Evan," ucap lirih Elizabeth dengan wajah sendu. Tak ingin sedih berlama-lama, Elizabeth pun bergegas naik ke lantai dua, wanita itu melihat kedua buah hatinya yang tengah bermain di dalam kamarnya. "Sayang, jangan lompat-lompat di sana ya, nanti bisa jatuh dari atas sofa, Pauline..." Elizabeth memperhatikan putrinya. "Iya Mama..." Anak itu langsung turun dari berlarian lagi. Se