Evan mengejar Clarisa yang kini berjalan di depan sana hendak menuju ke sebuah lift. Langkah lebar Evan semakin membuatnya dekat dengan wanita itu. "Tunggu!" Suara tegas laki-laki itu menghentikan langkah kaki Tania. Wanita cantik dengan rambut sebahu dan dress mewah berwarna biru itu, kini menoleh menatapnya. Dia memperhatikan Evan lekat-lekat. "Ya, Tuan?" Dia tersenyum seolah tak terjadi apapun. Evan mendekatinya dan menatapnya dengan tatapan benci dan marahnya. "Apa maksudmu dengan semua ini?" desis Evan, wajahnya memerah saat ia berhadapan dengan Tania. "Apa maksudmu menyamar menjadi pembantu, lalu kau pergi begitu saja, dan muncul sebagai orang yang baru! Kau pikir kau siapa, hah?!" Ucapan Evan yang penuh penekanan, mendesak, dan menyudutkan ini membuat Tania terdiam sejenak sebelum dia terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita itu bersedekap angkuh dan tersenyum. "Apa maksud Anda, Tuan?" Tania menaikkan kedua alisnya dan wanita itu terkekeh tiba-tiba sebelum d
Makan malam sudah siap, anak-anak sengaja menolak makan lebih awal, mereka ingin makan bersama dengan Papanya. Exel dan Pauline menunggu Evan di ruang makan. Mereka nampak menanti-nanti, sementara Elizabeth masih membantu Bibi di dapur. "Ma, Exel panggil Papa dulu ya, setelah itu makan malam bersama-sama," ujar Exel menatap sang Mama. "Iya Sayang," jawab Elizabeth. Anak laki-laki itu bergegas turun dari atas kursi dan berjalan ke depan. Exel melangkah pelan, dia mengintip dari balik pintu kayu ke arah ruangan kerja Papanya. Anak itu melihat ruangan kerja Papanya yang berantakan, semua kertas seperti sampah yang berhamburan di lantai. Kedua pupil mata Exel melebar saat anak itu melihat Papanya marah-marah dan menyapu beberapa map berkas di atas meja, hanya dengan sekali sapuan tangannya. "Papa..." Suara Exel membuat Evan yang tengah marah-marah pun menoleh cepat. Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar melihat ada putranya di sana. "Papa kenapa?" Exel berjalan masuk ke dalam ruan
Keesokan paginya, Elizabeth kembali menjalani hari seperti biasa. Suaminya pun kini bersiap untuk pergi, jauh lebih pagi dari sebelum-sebelumnya. Elizabeth yang kini berada di dapur, wanita itu memperhatikan Evan yang berjalan menuruni tangga lengkap dengan tuxedo hitam yang dia pakai. "Sayang, kau tidak sarapan dulu?" tanya Elizabeth mendekatinya. "Mau aku buatkan bekal? Tunggu sepuluh menit saja, atau aku siapkan sandwich, atau—" "Tidak Eli, aku harus berangkat cepat. Siang nanti aku akan ada pertemuan, jadi aku harus berangkat lebih pagi," ujar Evan menolaknya. "Tapi kau harus sarapan, Evan..." "Aku akan membelinya di luar," jawab Evan sembari berjalan ke arah teras. Elizabeth pun berjalan di belakangnya dan terus mengikuti suaminya. "Apa nanti kau juga akan pulang malam?" tanya Elizabeth lagi. "Entahlah, mungkin tidak. Yang jelas, jangan menungguku," jawab Evan sebelum dia masuk ke dalam mobil. "Kalau besok?"Elizabeth bertanya lagi, kali ini nada suaranya merendah tiba-t
"Om Daniel mau kan, antarkan kita dan Mama pulang? Exel dan Adik Pauline capek jalan kaki…" Exel mendongak menatap Daniel saat mereka hendak beranjak dari taman bermain. Mendengar permintaan anak laki-laki itu, Daniel pun langsung terkekeh. Ia mengusap pucuk kepala Exel dengan gemas."Tentu saja, tumben sekali Exel ... biasanya Exel akan marah saat Mama dekat sama Om," ujar Daniel pada anak itu. "Iya. Tapi kan sekarang karena Mama sedang membawa belanjaan, mengajak Exel dan Pauline, jadi kalau jalan kaki akan repot, Om," jelas anak itu. Daniel terkekeh mendengarnya. "Oh ... seperti itu?" Sementara Elizabeth hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dengan tingkah Exel. Anak laki-laki itu mengajak adiknya masuk ke dalam mobil milik Daniel. Mereka pun bergegas pergi, Daniel mengantarkan Elizabeth pulang ke rumahnya. "Ma, nanti malam janji ya sama Exel dan Adik Pauline, kalau Mama mau telfon Papa," ujar Exel pada sang Mama. “Pokoknya Papa harus pulang! Papa kan tidak boleh lupa ha
Sejak siang, Elizabeth sibuk memasak dan membuat kue yang anak-anaknya minta. Seperti yang sudah Elizabeth rencanakan sejak semalam. Kalau suaminya sibuk, maka ia akan melaksanakan pesta kecil-kecilan dengan anaknya, Elizabeth bingung harus melakukan apalagi saat Exel dan Pauline rewel. "Semuanya sudah siap!" seru Elizabeth tersenyum manis menatap semua sajian di atas meja makan. Wanita itu menepuk kedua telapak tangannya dan menghela napasnya lega, dia melirik satu kursi yang harusnya ditempati Evan malam ini. Tapi apa boleh buat..."Aku juga sebenarnya tidak ingin mengadakan pesta seperti ini tampanmu, Evan," ucap lirih Elizabeth dengan wajah sendu. Tak ingin sedih berlama-lama, Elizabeth pun bergegas naik ke lantai dua, wanita itu melihat kedua buah hatinya yang tengah bermain di dalam kamarnya. "Sayang, jangan lompat-lompat di sana ya, nanti bisa jatuh dari atas sofa, Pauline..." Elizabeth memperhatikan putrinya. "Iya Mama..." Anak itu langsung turun dari berlarian lagi. Se
Acara makan malam yang Elizabeth impikan sejak beberapa bulan lalu, merayakan ulang tahun pernikahannya dengan anak dan suaminya. Elizabeth merasa sangat bersyukur, setidaknya meskipun hal itu sangat sederhana, namun waktu yang Evan berikan untuknya sangatlah bermakna. "Sayang, masakanku tidak terlalu banyak, aku ... aku benar-benar tidak menduga kau akan pulang secepat ini," ujar Elizabeth pada Evan di sampingnya. "Tidak papa, ini saja sudah cukup untuk kita berempat," jawab Evan mengusap pucuk kepala Elizabeth. Senyuman yang terlukis indah di kedua sudut bibirnya, seolah bisa mengungkapkan betapa bangganya Evan pada Elizabeth. Laki-laki itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Elizabeth dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, untuk makan malam hari ini, Sayang," ucap Evan berbisik. Elizabeth mengangguk pelan dengan kedua pipinya yang merona. "Iya ... terima kasih juga sudah menyempatkan waktumu untukku." Tidak ada jawaban dari Evan, laki-laki itu melirik dua bu
Acara jalan-jalan menjadi sangat kacau saat Elizabeth melihat Tania. Dan gilanya, wanita itu berpura-pura tidak mengenalinya!Elizabeth sangat kesal dengan wanita itu. Bahkan dirinya sampai ditegur oleh rekan Evan, di sisi lain, memang Elizabeth yakin kalau wanita tadi, benar-benar Tania. "Beraninya dia berpura-pura tidak mengenaliku!" seru Elizabeth saat ia masuk ke dalam kamar dan melemparkan tasnya. “Dia pikir dia siapa?!”"Dasar wanita jahat, pembohong!" seru Elizabeth dengan wajah kesalnya, dia duduk di tepian ranjang. Evan memperhatikannya, laki-laki itu berjalan mendekati Elizabeth."Sayang..." Istrinya hanya diam dan meliriknya dengan wajah kesal. Tentu saja Elizabeth kesal, pasalnya Evan tidak mau membantunya mengatakan siapa Tania sebenarnya saat tadi berada di mall. "Kau sudah tahu semua ini, kan? Kau sudah mengetahui tentang Tania, sekalipun dia menjadi istri rekanmu?" tanya Elizabeth pada sang suami. Evan pun mengangguk. "Ya, Sayang. Kapan hari aku mengetahuinya, aku
Mengetahui bahwa tamu yang datang ke butiknya adalah Tania, rasa kesal dan benci di hati Elizabeth semakin menjadi-jadi. Namun, hal itu tidak menghentikan Elizabeth untuk mendekatinya. Ia berjalan dengan elegan mendekati Tania. "Selamat pagi, Nyonya Tania," sapa Elizabeth tersenyum tipis dan ramah, seperti biasa.Tania menoleh, wanita itu melepaskan kacamata yang dia pakai."Selamat pagi, Nyonya Elizabeth Lawrence." Tania tersenyum manis. "Jadi ... butik ini milik Nyonya?" tanya wanita itu. "Bukannya sejak awal Anda tahu," jawab Elizabeth menekan kuat amarah yang meradang untuk tidak meluap-luap. "Asisten saya bilang, Anda ingin saya temani memilih-milih barang di butik saya? Mari, saya akan temani..." Elizabeth dengan anggun melangkah mendahului Tania dan menunjukkan beberapa model-model koleksi busana yang dibuat dan dipasarkan khusus di butiknya.Ia pun dengan sopan meminta Tania untuk memilih dengan senang hati. Tania pun melangkah memilih beberapa gaun musim semi yang sangat
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat