Acara makan malam yang Elizabeth impikan sejak beberapa bulan lalu, merayakan ulang tahun pernikahannya dengan anak dan suaminya. Elizabeth merasa sangat bersyukur, setidaknya meskipun hal itu sangat sederhana, namun waktu yang Evan berikan untuknya sangatlah bermakna. "Sayang, masakanku tidak terlalu banyak, aku ... aku benar-benar tidak menduga kau akan pulang secepat ini," ujar Elizabeth pada Evan di sampingnya. "Tidak papa, ini saja sudah cukup untuk kita berempat," jawab Evan mengusap pucuk kepala Elizabeth. Senyuman yang terlukis indah di kedua sudut bibirnya, seolah bisa mengungkapkan betapa bangganya Evan pada Elizabeth. Laki-laki itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Elizabeth dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, untuk makan malam hari ini, Sayang," ucap Evan berbisik. Elizabeth mengangguk pelan dengan kedua pipinya yang merona. "Iya ... terima kasih juga sudah menyempatkan waktumu untukku." Tidak ada jawaban dari Evan, laki-laki itu melirik dua bu
Acara jalan-jalan menjadi sangat kacau saat Elizabeth melihat Tania. Dan gilanya, wanita itu berpura-pura tidak mengenalinya!Elizabeth sangat kesal dengan wanita itu. Bahkan dirinya sampai ditegur oleh rekan Evan, di sisi lain, memang Elizabeth yakin kalau wanita tadi, benar-benar Tania. "Beraninya dia berpura-pura tidak mengenaliku!" seru Elizabeth saat ia masuk ke dalam kamar dan melemparkan tasnya. “Dia pikir dia siapa?!”"Dasar wanita jahat, pembohong!" seru Elizabeth dengan wajah kesalnya, dia duduk di tepian ranjang. Evan memperhatikannya, laki-laki itu berjalan mendekati Elizabeth."Sayang..." Istrinya hanya diam dan meliriknya dengan wajah kesal. Tentu saja Elizabeth kesal, pasalnya Evan tidak mau membantunya mengatakan siapa Tania sebenarnya saat tadi berada di mall. "Kau sudah tahu semua ini, kan? Kau sudah mengetahui tentang Tania, sekalipun dia menjadi istri rekanmu?" tanya Elizabeth pada sang suami. Evan pun mengangguk. "Ya, Sayang. Kapan hari aku mengetahuinya, aku
Mengetahui bahwa tamu yang datang ke butiknya adalah Tania, rasa kesal dan benci di hati Elizabeth semakin menjadi-jadi. Namun, hal itu tidak menghentikan Elizabeth untuk mendekatinya. Ia berjalan dengan elegan mendekati Tania. "Selamat pagi, Nyonya Tania," sapa Elizabeth tersenyum tipis dan ramah, seperti biasa.Tania menoleh, wanita itu melepaskan kacamata yang dia pakai."Selamat pagi, Nyonya Elizabeth Lawrence." Tania tersenyum manis. "Jadi ... butik ini milik Nyonya?" tanya wanita itu. "Bukannya sejak awal Anda tahu," jawab Elizabeth menekan kuat amarah yang meradang untuk tidak meluap-luap. "Asisten saya bilang, Anda ingin saya temani memilih-milih barang di butik saya? Mari, saya akan temani..." Elizabeth dengan anggun melangkah mendahului Tania dan menunjukkan beberapa model-model koleksi busana yang dibuat dan dipasarkan khusus di butiknya.Ia pun dengan sopan meminta Tania untuk memilih dengan senang hati. Tania pun melangkah memilih beberapa gaun musim semi yang sangat
Beberapa hari kemudian, Elizabeth kembali sibuk di butiknya. Karena Pauline sudah naik satu tingkat di sekolah, jadi gurunya pun meminta Elizabeth untuk tidak lagi menemani Pauline, agar Pauline bisa mandiri. Hal itu Elizabeth gunakan sebagai kesempatan untuk ke butik mengurus banyak pekerjaannya. Kini, Elizabeth pun sudah berada di butik dan bertemu dengan beberapa rekannya yang sibuk dengan pekerjaan di bagian masing-masing. "Semua bahan tekstil akan datang hari ini, aku meminta pada anak-anak untuk menunggu, Nyonya," ujar Sevia, dia adalah kepala bagian penjahit busana di sana, yang bagiannya berada di belakang. "Iya Sev, semua desain yang sudah diputuskan ada di Adelaide, ya," ujar Elizabeth meletakkan sebuah gulungan kecil kain kapas di atas meja. "Baik, Nyonya Elize..." Elizabeth tersenyum menatap beberapa pekerjanya yang sibuk, ada yang menjahit, menyetrika, dan banyak lagi lainnya. "Nyonya Elize, ditunggu Nona Adelaide dan Nona Annete di depan, katanya ada yang penting
Satu minggu telah berlalu..."Butik kita mengalami penurunan yang cukup banyak beberapa hari ini, Elize. Apa yang harus kita lakukan?" Adelaide menunjukkan beberapa berkas tentang keuangan butik Minggu ini yang mengalami penurunan drastis. Melihat data-data yang tercatat secara rinci, bahkan penjualannya pun juga sangat jauh menurun dari hari-hari biasanya. "Tidak bisanya menurun sampai sehabat ini," ucap Elizabeth, wanita itu terduduk sembari memegangi keningnya. "Ini lebih gila dari yang aku perkirakan." "Apa mungkin ini karena adanya dengan butik baru yang ada di depan butik kita menjadi pengaruh besar?" Sevia berucap, wanita berkulit sawo matang itu memperhatikan empat wanita di sampingnya, termasuk Elizabeth. "Tentu saja hal itu terjadi. Barang-barang yang mereka pasarkan hanya berbeda warna saja dengan kita, dan semua modelnya juga sama persis." Adelaide berdecak memukul pelan meja kayu di depannya. "Kurang kreatif sekali pemilik butik itu!" sinis Adelaide dengan kesalnya.
Setelah berhari-hari lamanya Elizabeth terpaku pada masalah yang ada pada pekerjaannya. Penurunan yang drastis, kemarahan pembeli, dan juga para pelanggan yang sering mengambil banyak barang di butiknya. Elizabeth sampai tidak bisa tidur nyenyak malam ini. Wanita itu gelisah dan terus memikirkan cara, juga hari esok. "Kepalaku sakit sekali," gumam Elizabeth memijit pelipisnya. Rasa sakit yang berdenyut membuat Elizabeth langsung beranjak dari tempat tidurnya. Wanita itu terdiam duduk di tepi ranjang, tertunduk memejamkan kedua matanya. Pergerakan ranjang yang pelan berhasil membangunkan Evan yang hampir saja terlelap dengan nyenyak. Laki-laki itu membuka kedua matanya dan melihat Elizabeth yang bangun, hanya duduk termenung diam memegangi kepalanya. "Sayang, kau kenapa?" tanya Evan, laki-laki itu mendekati istrinya. Telapak tangan Evan menyentuh lembut pucuk kepala Elizabeth. "Kau sakit, hem?" "Hanya pusing saja. Aku tidak bisa tidur," jawab Elizabeth dengan nada lemah. "Aku
Setelah Elizabeth menemui Tania, wanita itu langsung kembali pulang ke rumahnya dan tidak ke butiknya lagi. Elizabeth merasakan tubuhnya yang amat lelah dan lemas, ia menyadari kondisi kesehatannya menurun, karena beberapa hari ini, Elizabeth banyak marah-marah dan sering tidak bisa tidur. Wanita itu pun kini duduk melamun di ruang keluarga yang berada di rumahnya. Sendirian menikmati sepi dan menenangkan diri. 'Apa yang Tania inginkan dariku? Kenapa tidak ada puas-puasnya dia terus menginginkan kejatuhanku setelah beberapa tahun lalu, dia juga menghancurkan kebahagiaan hidupku...' Elizabeth memejamkan kedua matanya dan alisnya mengerut dalam. Hingga tiba-tiba, terdengarnya suara klakson mobil di depan depan. Namun, Elizabeth masih tidak beranjak, dia tidak mood untuk menyambut Evan karena suasana hatinya yang benar-benar buruk. Di sisi lain, Evan yang baru saja turun dari mobil pun langsung disambut oleh kedua anaknya. Exel dan Pauline yang tengah bersama James di teras depan
Keputusan Elizabeth untuk menutup butiknya sementara pun sudah bulat. Dan Elizabeth kini kembali fokus mengurus anak dan juga meluangkan banyak waktu untuk membantu suaminya. Seperti sore ini, tampak Elizabeth dan Evan tengah menemani suaminya berada di sebuah hotel, untuk menghadiri sebuah acara pesta yang diselenggarakan oleh Kian. Atas keberhasilan proyek baru miliknya, laki-laki tua itu mengundang Evan dan Elizabeth untuk datang ke acaranya. "Apa kau yakin ingin datang ke pesta ini, Sayang?" tanya Elizabeth menoleh pada suaminya. "Heem, tentu saja. Kenapa memangnya?" tanya Evan menatap istrinya. Elizabeth menggeleng pelan dan tersenyum manis. "Tidak papa." Wanita itu sedikit merasa cemas. Bukankah Kian telah melakukan begitu banyak hal yang menyulitkan suaminya? Tapi mengapa Evan justru tampak sangat santai seolah tak terjadi apapun?Evan tersenyum. Laki-laki itu merangkul pundak Elizabeth sembari melangkah menuju tempat di mana pesta digelar. Seperti yang Evan tuturkan pada