Setelah dua minggu lamanya Elizabeth berusaha mencari cara membangkitkan butiknya. Hari ini, wanita itu mendapatkan kabar mengejutkan dari salah satu temannya. Pagi-pagi sekali, Adelaide sudah menghubungi Elizabeth dan memintanya untuk mendatangi sebuah rumah makan mewah pagi ini. Dan kedatangannya ditemani oleh Evan.Mereka berdua berjalan bersama menuju lantai dua rumah makan megah tersebut. "Itu Adelaide," ujar Evan menunjuk ke arah seorang wanita yang duduk sendirian."Elize!" pekik Adelaide melambaikan tangannya dengan wajah antusias. "Hai ... tumben sekali mengajakku bertemu di luar, biasanya kalau ada apa-apa kau juga langsung datang ke rumah," ujar Elizabeth pada rekannya tersebut. Adelaide hanya tersenyum manis hingga kedua matanya wajahnya terlihat berbinar-binar. Ekspresi itu membuat Elizabeth menyipitkan kedua matanya, pasti ada sesuatu yang baik, kini tengah dia sembunyikan. Pasalnya, kemarin saja dia masih gelisah saat menghubungi Elizabeth. "Hemm ... kau pasti memb
Apa yang Elizabeth pikirkan tidak luput sama sekali, Tania sangat kebingungan dan cemas melihat butik Elizabeth yang kembali buka dan dalam masa perbaikan. 'Sialan Elizabeth, ternyata dia benar-benar hanya menutup sementara?! Jadi butik itu masih akan terus beroperasi?! Bagaimana bisa?' Tania mengepalkan kedua tangannya. "Rupanya dia tidak main-main dengan ucapannya kalau dia memang akan memperbaiki butiknya. Pantas saja dia terlihat tenang ... kali ini aku tidak akan membiarkan rencananya berjalan mulus!" seru wanita itu tak terima. Wanita itu berjalan kembali masuk ke dalam ruangannya. Di sana, ada asistennya yang selalu Tania tugaskan untuk mencari banyak informasi di luar. Tania berusaha mengorek tentang perkembangan butik milik Elizabeth, melalui asistennya. "Bagaimana, Lexy? Apa yang kau dapatkan?!" tanya Tania pada asistennya tersebut. Gadis berambut panjang bergelombang itu tertunduk dan dia menggaruk pelan tengkuk lehernya. "A-anu, Nyonya ... butik di depan kabarnya
Pauline masih menunggu Mamanya datang menjemput, Tania pun juga sudah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu. Tiga stik permen stroberi yang Tania belikan sudah habis. Dua temannya juga sudah pulang. Pauline kesal dengan Mamanya yang kini datang terlambat. Mobil hitam milik Elizabeth baru saja tiba setelah Pauline merasa ia ingin menangis karena terlalu lama menunggu Mamanya. "Ya ampun Sayang, sudah dari tadi ya, Nak? Maafkan Mama ya, Sayang ... Mama harus menunggu Kakak sampai selesai test," ujar Elizabeth mendekati Pauline yang menatapnya marah dan berkaca-kaca. "Mama nakal, tahu! Pauline capek tungguin di sini!" pekik anak itu merengek ingin menangis. "Sssttt ... maaf Sayang, maafkan Mama ya," bisik Elizabeth mengangkat tubuh mungil Pauline. "Ini Mama sudah datang. Ayo sekarang kita pulang, Mama akan suapi Pauline setelah sampai di rumah, setelah itu tidur siang dengan Mama." Anak itu merengkuh leher sang Mama dan menyandarkan kepalanya dengan sangat manja. Mereka pun masuk k
Sikap Pauline menurun dari Elizabeth, hingga saat marah akan betah berlama-lama. Anak itu bahkan tidak takut untuk menyendiri dan tidak mau menyapa siapapun. Sejak siang hingga sore, Elizabeth membujuknya untuk makan dan bermain bersama Exel. Bahkan Elizabeth meminta James membelikan buku baru untuk Pauline. Tetapi putrinya, masih merajuk. "Ini bukunya sudah Mama belikan, sekarang tidak boleh marah-marah lagi ya, Sayang..." Elizabeth berucap lembut, sembari mengusap puncak kepala putri kecilnya. Pauline hanya mengangguk kecil, dia duduk di atas ranjang kamarnya. "Kalau begitu, sekarang Pauline tunggu di sini dulu. Mama ambilkan makan, mama suapi." "Pakai daging sapi panggang, Ma!" seru anak itu mendongak menatap Mamanya. "Baiklah. Tunggu sebentar, Sayang. Jangan ke mana-mana..." Elizabeth melangkah keluar dari dalam kamar. Wanita itu melihat ada Exel yang berdiri di balik pintu dan dia nampak ingin masuk ke dalam kamar. Namun, Elizabeth menyadari kalau Exel pasti was-was setel
Exel duduk di teras depan paviliun milik Jericho. Diam di sana menangis tertunduk ditemani oleh Jericho dan James. Kedua ajudan Papanya itu mencoba untuk bertanya, apa yang membuat anak laki-laki itu menangis hingga sampai sesenggukan seperti ini. "Ada apa Tuan Kecil? Kenapa menangis seperti ini?" tanya James mengusap pucuk kepala Exel. Jericho menundukkan kepalanya merangkul Exel. "Dimarahi Papa?" tanya laki-laki itu. Exel menggelengkan kepalanya kuat dan ia memeluk Jericho dengan erat. Dari semua orang di dekatnya, selain orang tuanya, sejak kecil, hanya Jericho orang yang paling dekat dengannya. "Kalau begitu kenapa menangis? Masa iya, bertengkar dengan Adik Pauline sampai menangis? Wahh ... payah sekali," ledek Jericho terkekeh gemas.Sampai akhirnya Evan muncul di sana, laki-laki itu berjalan melewati teras belakang menuju ke arah paviliun di mana James dan Jericho sedang berada di sana menemani Exel. Evan mendekati putranya dengan wajah cemas. Hal ini menjadi tanda tanya b
Keesokan harinya, seperti yang telah Tania janjikan pada Pauline, ia kembali mendatangi anak itu di sekolahnya. Kali ini, Tania membawakan banyak makanan manis dan buah stroberi kesukaan Pauline. Tania sengaja datang lebih awal, setelah ia memperhatikan di butik Elizabeth tadi sangat sibuk dengan persiapannya. Hingga Tania menjadikan waktu ini sebagai bersenang-senang dengan Pauline. "Lihat Sayang, Tante bawakan es krim juga untuk Pauline," ujar Tania menunjukkan beberapa cup es krim. "Wahh ... Pauline suka!" pekik anak itu berseri-seri. Tania mengusap pipi gembil Pauline dengan lembut. Dan ia menatap beberapa orang di sekitarnya. Dengan penampilannya yang glamor, orang-orang sekitarnya mungkin akan mengira Tania adalah kerabat dekat dari kedua orang tua Pauline. Apalagi Pauline yang terlihat begitu akrab dan dekat dengan Tania. "Mama belum menjemputmu, Sayang?" "Belum, Mama sibuk di butik, Tante," jawab Pauline masih sibuk memakan buah stroberinya. Sebelum tiba-tiba Pauline m
Evan dan Elizabeth membawa putrinya pulang. Rupanya, ketakutan Elizabeth pun terbukti kalau Tania diam-diam mendatangi Pauline ke sekolahnya. Kini setelah sampai di rumah, Elizabeth langsung membawa Pauline ke dalam kamarnya saat itu juga, diikuti oleh Evan di belakangnya. "Sayang ... ya ampun, Nak," lirih Elizabeth menekuk kedua lututnya di hadapan Pauline dan menatapnya dengan dalam. "Kenapa Pauline tidak bilang pada Mama kalau Pauline bertemu dengan Bibi Tania? Kenapa Pauline diam saja?" tanya Elizabeth mengusap wajah mungil putrinya. Pauline tertunduk memainkan tali pita dress yang Elizabeth pakai. "Tante Tania bilang, Pauline tidak boleh bilang-bilang sama Mama dan Papa kalau bertemu. Terus ... Tante Tania bilang kalau Kakak Exel bukan anaknya Mama, Kakak Exel itu tidak punya Mama karena Mamanya pergi tidak tahu ke mana, dan—""Sayang..." Elizabeth menyela ucapan Pauline cepat. Dengan pelan Elizabeth menggenggam lembut kedua tangan Pauline. "Pauline dengarkan Mama, asal Pau
Tania meradang saat dipermalukan oleh Evan kemarin di depan sekolah Pauline. Semua orang menatap Tania layaknya seorang penjahat yang sedang tertangkap basah. Dia sama sekali tidak berkutik selain pergi dengan rasa malu. Tania hanya bisa uring-uringan sendiri di dalam ruang kerjanya saat ini. "Bagaimana mungkin aku kalah dari mereka?! Tidak ... tidak, aku tidak akan membiarkan mereka hidup bahagia, sementara aku menderita di dalam penjara bertahun-tahun karena Evan dan Elizabeth!" geram Tania meremas sebuah kertas di meja. Wanita itu terduduk di kursi kerjanya dan mengusap wajahnya pelan. Sejak kemarin, Tania memendam kesal karena kejadian itu. "Apa yang harus aku lakukan sekarang, ayolah ... berpikir Tania! Berpikirlah!" Tania menundukkan kepalanya dengan tangan menyentuh kening. Wanita itu terdiam berpikir keras selama beberapa detik lamanya. Sampai akhirnya Tania membuka kedua matanya yang terpejam setelah dia menemukan sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya. "Exel a