Sikap Pauline menurun dari Elizabeth, hingga saat marah akan betah berlama-lama. Anak itu bahkan tidak takut untuk menyendiri dan tidak mau menyapa siapapun. Sejak siang hingga sore, Elizabeth membujuknya untuk makan dan bermain bersama Exel. Bahkan Elizabeth meminta James membelikan buku baru untuk Pauline. Tetapi putrinya, masih merajuk. "Ini bukunya sudah Mama belikan, sekarang tidak boleh marah-marah lagi ya, Sayang..." Elizabeth berucap lembut, sembari mengusap puncak kepala putri kecilnya. Pauline hanya mengangguk kecil, dia duduk di atas ranjang kamarnya. "Kalau begitu, sekarang Pauline tunggu di sini dulu. Mama ambilkan makan, mama suapi." "Pakai daging sapi panggang, Ma!" seru anak itu mendongak menatap Mamanya. "Baiklah. Tunggu sebentar, Sayang. Jangan ke mana-mana..." Elizabeth melangkah keluar dari dalam kamar. Wanita itu melihat ada Exel yang berdiri di balik pintu dan dia nampak ingin masuk ke dalam kamar. Namun, Elizabeth menyadari kalau Exel pasti was-was setel
Exel duduk di teras depan paviliun milik Jericho. Diam di sana menangis tertunduk ditemani oleh Jericho dan James. Kedua ajudan Papanya itu mencoba untuk bertanya, apa yang membuat anak laki-laki itu menangis hingga sampai sesenggukan seperti ini. "Ada apa Tuan Kecil? Kenapa menangis seperti ini?" tanya James mengusap pucuk kepala Exel. Jericho menundukkan kepalanya merangkul Exel. "Dimarahi Papa?" tanya laki-laki itu. Exel menggelengkan kepalanya kuat dan ia memeluk Jericho dengan erat. Dari semua orang di dekatnya, selain orang tuanya, sejak kecil, hanya Jericho orang yang paling dekat dengannya. "Kalau begitu kenapa menangis? Masa iya, bertengkar dengan Adik Pauline sampai menangis? Wahh ... payah sekali," ledek Jericho terkekeh gemas.Sampai akhirnya Evan muncul di sana, laki-laki itu berjalan melewati teras belakang menuju ke arah paviliun di mana James dan Jericho sedang berada di sana menemani Exel. Evan mendekati putranya dengan wajah cemas. Hal ini menjadi tanda tanya b
Keesokan harinya, seperti yang telah Tania janjikan pada Pauline, ia kembali mendatangi anak itu di sekolahnya. Kali ini, Tania membawakan banyak makanan manis dan buah stroberi kesukaan Pauline. Tania sengaja datang lebih awal, setelah ia memperhatikan di butik Elizabeth tadi sangat sibuk dengan persiapannya. Hingga Tania menjadikan waktu ini sebagai bersenang-senang dengan Pauline. "Lihat Sayang, Tante bawakan es krim juga untuk Pauline," ujar Tania menunjukkan beberapa cup es krim. "Wahh ... Pauline suka!" pekik anak itu berseri-seri. Tania mengusap pipi gembil Pauline dengan lembut. Dan ia menatap beberapa orang di sekitarnya. Dengan penampilannya yang glamor, orang-orang sekitarnya mungkin akan mengira Tania adalah kerabat dekat dari kedua orang tua Pauline. Apalagi Pauline yang terlihat begitu akrab dan dekat dengan Tania. "Mama belum menjemputmu, Sayang?" "Belum, Mama sibuk di butik, Tante," jawab Pauline masih sibuk memakan buah stroberinya. Sebelum tiba-tiba Pauline m
Evan dan Elizabeth membawa putrinya pulang. Rupanya, ketakutan Elizabeth pun terbukti kalau Tania diam-diam mendatangi Pauline ke sekolahnya. Kini setelah sampai di rumah, Elizabeth langsung membawa Pauline ke dalam kamarnya saat itu juga, diikuti oleh Evan di belakangnya. "Sayang ... ya ampun, Nak," lirih Elizabeth menekuk kedua lututnya di hadapan Pauline dan menatapnya dengan dalam. "Kenapa Pauline tidak bilang pada Mama kalau Pauline bertemu dengan Bibi Tania? Kenapa Pauline diam saja?" tanya Elizabeth mengusap wajah mungil putrinya. Pauline tertunduk memainkan tali pita dress yang Elizabeth pakai. "Tante Tania bilang, Pauline tidak boleh bilang-bilang sama Mama dan Papa kalau bertemu. Terus ... Tante Tania bilang kalau Kakak Exel bukan anaknya Mama, Kakak Exel itu tidak punya Mama karena Mamanya pergi tidak tahu ke mana, dan—""Sayang..." Elizabeth menyela ucapan Pauline cepat. Dengan pelan Elizabeth menggenggam lembut kedua tangan Pauline. "Pauline dengarkan Mama, asal Pau
Tania meradang saat dipermalukan oleh Evan kemarin di depan sekolah Pauline. Semua orang menatap Tania layaknya seorang penjahat yang sedang tertangkap basah. Dia sama sekali tidak berkutik selain pergi dengan rasa malu. Tania hanya bisa uring-uringan sendiri di dalam ruang kerjanya saat ini. "Bagaimana mungkin aku kalah dari mereka?! Tidak ... tidak, aku tidak akan membiarkan mereka hidup bahagia, sementara aku menderita di dalam penjara bertahun-tahun karena Evan dan Elizabeth!" geram Tania meremas sebuah kertas di meja. Wanita itu terduduk di kursi kerjanya dan mengusap wajahnya pelan. Sejak kemarin, Tania memendam kesal karena kejadian itu. "Apa yang harus aku lakukan sekarang, ayolah ... berpikir Tania! Berpikirlah!" Tania menundukkan kepalanya dengan tangan menyentuh kening. Wanita itu terdiam berpikir keras selama beberapa detik lamanya. Sampai akhirnya Tania membuka kedua matanya yang terpejam setelah dia menemukan sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya. "Exel a
Evan dan Elizabeth datang ke sekolah Exel saat pihak sekolah menghubunginya beberapa menit yang lalu saat Exel mengamuk. Kedua orang itu turun dari dalam mobil dan berjalan terburu-buru ke sebuah ruangan, sesampainya di sana, Evan melihat Exel duduk ditemani Mrs. Grecia, wali kelasnya. "Exel," ucap Elizabeth mendekati putranya. "Ya ampun Sayang, apa yang terjadi?" Exel langsung beranjak dari duduknya dan memeluk Mamanya dengan erat. Dia menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Elizabeth. Mrs. Grecia pun langsung menyambut kedatangan Evan dan Elizabeth dengan sopan dan penuh hormat. "Selamat siang, Tuan, Nyonya," sapa seorang guru perempuan itu. "Selamat siang, Mrs. Grecia ... apa yang terjadi dengan putra saya? Apa dia bertengkar dengan temannya?" tanya Evan dengan wajah panik. Mrs. Grecia pun menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak Tuan, Exel tidak bertengkar dengan temannya. Tapi kami belum tahu permasalahannya pasti, karena tadi juga jam pulang, jadi kami kurang paham mengawasi.
Saat mobil putih yang Jericho kemudikan datang, Evan bergegas masuk ke dalam mobil itu. Jericho juga tidak biasanya melihat Tuannya meminta jemput di tengah jalan seperti ini. Dengan wajah dingin penuh amarah, Jericho masih bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Evan. "Tuan..." Jericho menatap Evan dari kaca kecil di atas bangku kemudinya. "Bawa aku ke tempat Tania, sekarang juga!" seru Evan memerintah. "Baik Tuan." Kini pun Jericho paham, ternyata karena Tania. Wanita itu lagi dan lagi. Jericho pun melajukan mobil putih itu dengan kecepatan penuh. Hingga butuh beberapa menit saja, bagi Jericho untuk sampai di sebuah butik milik Tania. Evan bergegas keluar dari dalam mobilnya. Laki-laki itu melangkah masuk ke dalam butik itu dan disambut ramah oleh karyawannya. Namun Evan bertemu langsung dengan Lexy, asisten Tania. "Tuan, ada yang bisa saya ban—""Di mana Tania?" tanya Evan dengan nada dingin dan sorot mata seram. "Oh, Nyo-Nyonya ada di dalam ruangannya. Apa Tuan ingin berte
Dua Minggu Kemudian….Hari demi hari telah berlalu, Evan dan Elizabeth tidak merasakan ada gangguan lagi di sekitarnya, termasuk Tania, yang tidak lagi muncul setelah kejadian di mana wanita itu ribut dengan Evan. Evan pun fokus kembali pada perusahaannya yang kini mulai pulih dan ia tidak lagi khawatir dengan kondisi proyeknya yang berada di luar kota. Laki-laki tampan dengan balutan tuxedo hitam itu, kini tengah bersama Jericho dan Asgar, mereka datang menghadiri sebuah pertemuan. "Tuan, sepertinya kita akan bertemu dengan dengan Tuan Kian di sini," ujar Asgar, saat mereka berjalan ke sebuah ruangan meeting. "Biarkan saja, kita lihat sampai mana dia bisa menyombongkan diri," jawab Evan menyunggingkan senyum di bibirnya. Jericho pun ikut tersenyum tipis, laki-laki itu mengangguk dan membawa tas berisi berkas-berkas milik Evan. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan meeting, Evan disambut dengan hormat oleh Tuan Thomas, rekannya. "Selamat datang, Tuan Evan ... akhirnya kita bert
Setelah putranya pulang, Evan pun juga kembali fokus pada pekerjaannya yang sempat ia tinggalkan beberapa waktu yang lalu. Laki-laki itu sibuk dengan tumpukan berkas di ruangan kerjanya. Di sana, juga ada Jericho yang terlihat tengah mengotak-atik keyboard laptop miliknya. "Jer, bagaimana kabar Jeff dan Tania? Apa mereka benar-benar diamankan?" tanya Evan menatap ajudannya. Evan penasaran, pasalnya setelah kembali dari Munich dua hari yang lalu, Jericho tidak berbicara apapun. Laki-laki berbalut sweater cokelat gelap itu mengangguk. "Tuan jangan khawatir, seperti rencana kita sejak awal. Jeff sudah berhasil diringkus polisi dengan kasus penculikan, dan Tania..." Jeff menjeda ucapannya, laki-laki itu menutup laptopnya. "Kai yang mengawasi gerak-gerik Tania, Tuan. Kai bilang pada saya, kalau saat Tuan dan Nyonya pergi bersama Exel waktu itu, Tania masih menangis di sana hingga dua jam lamanya. Setelah itu, esok paginya, wanita itu pergi membawa koper dan entah ke mana dia pergi, t
Selama perjalanan pulang, Elizabeth tidak melepaskan pelukannya dari Exel. Wanita itu menangis dalam diam antara senang bertemu dengan putranya lagi, di sisi lain Elizabeth juga ikut merasakan betapa patahnya hati Tania saat ini. Exel diam menyandarkan kepalanya dalam pelukan sang Mama. "Exel kangen dengan Mama, Sayang?" tanya Elizabeth mengusap rambut hitam anak itu. "Iya Ma. Exel kangen Mama," jawabnya. Elizabeth tersenyum manis, ia mengecup pucuk kepala Exel. Ekor mata Exel melirik Papanya yang kini menatapnya dan tersenyum mengusap punggung kecil Exel. "Tidak mau dipeluk Papa?" tawar Evan. "Nanti saja, Exel kangennya banyak sama Mama," jawab anak itu cemberut. Hal itu membuat Evan terkekeh, ia melepaskan mentel tebalnya dan menyelimutkan pada Exel dan Elizabeth. "Mama Clarisa merawat Exel dengan baik, kan, Sayang?" tanya Elizabeth lagi. "Heem. Exel yang nakal, Exel yang selalu minta pulang. Karena Exel pikir Mama Clarisa. Sama seperti dulu, tapi ternyata tidak ... apapun
Tania kaget di sana ada Evan dan Elizabeth, terlebih lagi saat ini Exel sudah berada dalam pelukan Elizabeth. Wanita itu menatap ke arah Jeff dengan tatapan murka tanpa ampunan. Sedangkan Evan berusaha melindungi anak dan istrinya, dan Jericho tiba-tiba pergi dari sana. Kini tinggal satu ajudan Evan berdiri di depannya. "Jadi benar-benar kau yang menculik Exel?" Suara Evan membuat Tania menatapnya dengan tatapan marah. "Ya. Aku yang membawanya, karena aku sangat merindukan anakku, Evander!" seru Tania. Wanita itu kembali menoleh pada Jeff. "Dan kau ... apa yang kau lakukan?! Kenapa kau mengembalikan anakku pada mereka, Jeff!" teriak Tania. "Bukannya ini dulu rencanamu? Kau yang mengajakku untuk menculik Exel, lalu meminta tebusan pada Evander, begitu bukan?" Jeff terkekeh saat ia berhasil mengendalikan situasi. Tania menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, tidak … tidak seperti itu!" Wanita itu dengan murka merebut koper yang berada di tangan Jeff dan melemparkan ke arah Evan.
Tania kembali ke tempat di mana ia meninggal Exel dan Jeff. Dengan membawa satu cup minuman cokelat hangat yang Exel minta, wanita nampak kebingungan tidak menemukan anaknya. "Exel ... Jeff? Ke mana mereka?" Tania menoleh ke kanan dan ke kiri. Tania menatap sekitar, tempat itu sangat ramai, namun dia tidak melihat keberadaan Jeff ataupun Exel sama sekali. "Ya Tuhan, ke mana anakku?!" Tania mengusap wajahnya frustrasi. Wanita itu menjatuhkan cup cokelat hangat yang ia beli dan berlari ke sana kemari mencari Exel. "Exel...! Kau di mana, Nak?!" pekik Tania mencari-cari. Semua orang menatap betapa bingungnya Tania saat ini. Hatinya begitu gelisah dan takut, khawatir bila terjadi sesuatu dengan anaknya.Sampai tiba-tiba langkah Tania terhenti dengan sendirinya. Wanita itu terdiam berpikir tentang Jeff dan permintaan laki-laki itu sebelumnya. Yaitu dengan kukuh menjadikan Exel sebagai alat untuk mendapatkan uang dari Evander seperti rencana mereka sejak awal. 'Tidak mungkin Jeff memb
Elizabeth dan Evan sudah sampai di Munich sejak beberapa jam yang lalu. Penculik Exel sudah mengirimkan pesan dengan jumlah uang yang dia minta pada Evan pagi tadi, sebelum jejaknya menghilang begitu saja tanpa bisa dilacak kembali. Evan dan Elizabeth pun memutuskan mencari tempat tinggal untuk sementara waktu, karena cuaca yang dingin, dan orang yang menculik Exel itu juga tidak jelas ingin bertemu kapan. "Apa dia tidak mengabari lagi?" tanya Evan mendekati Jericho yang duduk di sebuah sofa. "Belum Tuan. Tapi sepertinya orang itu tidak berbohong, jejak yang kami lacak dari nomornya, dia benar-benar berada di Munich," ujar Jericho menatap Evan. "Mungkin kita perlu bersabar hingga orang itu menghubungi kita lagi," sahut Elizabeth, dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Evan menatap istrinya dan tersenyum tipis. "Kita akan bertemu dengan Exel, percayalah..." Anggukan kecil diberikan oleh Elizabeth. Wanita itu menatap ke arah luar dari dinding kaca tempat ia berada saat in
Tidak biasanya Tania bangun dari tidurnya tidak mendapati Exel di sampingnya. Wanita itu langsung bergegas turun ke lantai satu. Pemandangan asing Tania lihat di sana, ia memperhatikan Exel yang tengah duduk bersama dengan Jeff di ruang keluarga. "Exel," sapa Tania berjalan ke arah mereka berdua. Exel pun menoleh, anak itu diam memeluk bantalan sofa dan ia menyandarkan punggungnya pada Jeff. "Aku mau di sini dengan Om Jeff!" seru Exel memasang wajah cemberut. Tania dengan ekspresi curiga, dia menatap Jeff lekat-lekat. "Kau tidak bicara macam-macam dengan anakku kan, Jeff?" tanya wanita itu. "Kau tanyakan sendiri pada anakmu ini, apa saja yang aku bicarakan dengannya. Exel hampir mati kebosanan karena kau masih belum bangun di jam segini!" jawab Jeff tanpa menatap Tania, laki-laki itu masih sibuk menatap televisi. Tanpa membalas lagi, Tania berjalan mendekati Exel. Wanita itu mengulurkan tangannya dan mengusap pucuk kepala Exel dengan lembut. "Ayo mandi dulu, Sayang. Setelah i
Pagi di hari natal tahun ini, tidak seperti tahun natal kemarin-kemarin. Semua terasa hampa bagi Evan dan Elizabeth. Apalagi Elizabeth yang sekarang berdiam diri merenung sedih memikirkan putranya yang hilang. Bahkan semua orang di rumah itu, tidak ada yang menunjukkan ekspresi bahagianya. "Ini sudah minggu kedua, ke mana kau, Nak?" Arshen berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. "Exel, Cucuku..." Evan yang duduk di sofa, dia merangkul istrinya yang memeluk boneka koala milik Exel. Elizabeth benar-benar stress memikirkan putranya dan ia selalu menghabiskan hari-harinya dengan menangis dan melamun. Namun, wanita itu juga masih mengurus Pauline dengan baik. "Apa tidak ada kabar dari luar kota?" tanya Melodi pada Evan. "Tidak ada, Ma. Setelah natal, aku akan mencoba melakukan penelusuran lagi di Munich," ujar Evan dengan wajah lelah. "Mendengar dari salah satu mantan karyawan di butik Tania, wanita itu bilang Tania sering berhubungan dengan seseorang yang tinggal di Munich."
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Exel sudah bangun dari tidurnya yang lelap. Hari ini adalah tepat datangnya perayaan hari natal.Anak laki-laki itu perlahan melepaskan tangan Tania yang memeluknya. Ia menoleh ke belakang pada Tania yang memeluknya. Exel terdiam menatap wanita itu dengan lekat. Setiap hari, Tania sabar menjaga Exel sekalipun Exel kadang marah-marah, menuruti apapun yang Exel mau, dan dia selalu memeluk Exel setiap Exel tertidur. "Eumm ... Mama," lirih Exel sedih mengucapkan kata itu, nadanya pun sedikit ragu. Ia ingin menyentuh wajah Tania dengan jemarinya, namun Exel menarik kembali tangannya. 'Mamaku hanya Mama Elizabeth,' batin Exel menguatkan dirinya. Anak itu bergegas menyibakkan selimutnya dan turun dari atas ranjang. Exel berjalan membuka pintu balkon kamar itu dan berjalan keluar melihat seisi kota yang sangat meriah pagi ini. "Wahhh ... ramainya," lirih Exel berbinar-binar. "Bagus sekali..." Exel berdiri memperhatikan sekitar, banyak sekali anak-anak
Malam ini, Exel tidur ditemani Tania. Anak laki-laki itu sudah menolaknya, namun Tania tetap kukuh berkata ingin menjaganya. Bahkan Tania tidak memberikan ruang bagi Exel untuk bermain sendirian, hingga anak itu tidak punya kesempatan bebas. Tania kini menyelimuti Exel dengan hangat, berbaring di sampingnya dan bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan. "Dulu, saat Exel masih bayi, Papa membelikan kalung untuk kita berdua. Exel tahu, kan?" tanya Tania pada Exel. "Tahu," jawab Exel singkat dan malas. "Tapi saat itu Mama harus pergi karena Mama ingin melanjutkan belajar, dan—""Tidak usah bercerita. Aku sudah tahu semuanya." Exel membalikkan badannya menatap Tania. "Terima kasih sudah pergi, karena dengan Tante Jahat pergi, aku bisa mengenal Mama Elizabeth yang mau merawatku sejak aku masih bayi, mau menemaniku bermain, dan mau menjadi Mama yang baik untukku!" Exel menarik napasnya panjang dan cepat sebelum anak itu kembali memunggungi Tania dan menutup sekujur tubuhnya dengan se