Dua Minggu Kemudian….Hari demi hari telah berlalu, Evan dan Elizabeth tidak merasakan ada gangguan lagi di sekitarnya, termasuk Tania, yang tidak lagi muncul setelah kejadian di mana wanita itu ribut dengan Evan. Evan pun fokus kembali pada perusahaannya yang kini mulai pulih dan ia tidak lagi khawatir dengan kondisi proyeknya yang berada di luar kota. Laki-laki tampan dengan balutan tuxedo hitam itu, kini tengah bersama Jericho dan Asgar, mereka datang menghadiri sebuah pertemuan. "Tuan, sepertinya kita akan bertemu dengan dengan Tuan Kian di sini," ujar Asgar, saat mereka berjalan ke sebuah ruangan meeting. "Biarkan saja, kita lihat sampai mana dia bisa menyombongkan diri," jawab Evan menyunggingkan senyum di bibirnya. Jericho pun ikut tersenyum tipis, laki-laki itu mengangguk dan membawa tas berisi berkas-berkas milik Evan. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan meeting, Evan disambut dengan hormat oleh Tuan Thomas, rekannya. "Selamat datang, Tuan Evan ... akhirnya kita bert
Malam ini, Elizabeth mengadakan acara dinner party di sebuah rumah makan mewah bersama dengan semua rekan kerjanya.Hal itu Elizabeth lakukan atas rasa terima kasih pada mereka semua yang sudah bekerja keras selama satu bulan ini.Ditemani oleh suaminya, Elizabeth terlihat begitu anggun dan memiliki sisi tegas sebagai pimpinan di butiknya. "Selamat malam, Nyonya Elizabeth..," sapa seorang wanita setengah baya mendekatinya. Elizabeth pun langsung tersenyum lebar mendapati wanita itu. "Oh ya ampun, Nyonya Raquel..." Elizabeth langsung menyambutnya dan ia juga memeluk wanita itu dengan hangat. "Selamat datang, Nyonya, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang." "Iya, sama-sama, Nyonya. Saya sangat senang bisa bekerja sama dengan Nyonya, dan akhirnya kita bertemu juga," ujar wanita berambut putih itu. Elizabeth mengangguk senang. "Saya juga demikian. Mari ... silakan duduk," ujarnya. Nampak Adelaide yang juga menyapa Nyonya Raquel, sang desainer kondang yang ia kenalkan pad
Tania kembali pulang ke rumahnya, dia tidak bisa tenang setelah melihat Elizabeth akan kembali bangkit bersama butiknya yang tadinya Tania pikir sudah bangkrut. Wanita cantik dengan balutan sweater abu-abu itu berjalan masuk ke dalam rumah. Di sana, Tania melihat suaminya yang tengah duduk di sofa dengan wajah stress. "Sayang, kau sudah pulang?" sapa Tania pada suaminya yang sudah tua itu. Kian hanya menoleh dan mengangguk saat Tania mendekat. Laki-laki itu menyergah napasnya panjang. Sementara Tania melepaskan syal merah yang ia pakai saat ini, sebelum wanita itu menatap suaminya dan meraih satu tangan Kian. "Sayang, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ujar Tania memasang wajah sedih andalannya. "Ada apa, Sayang?" tanya Kian memperhatikan wajah Tania yang cantik. "Emm ... kau tahu kan, butik milik kita sedang dalam masa jaya, dan butik milik istri Tuan Evander akan kembali dibuka besok pagi. Aku dengar-dengar dia bekerja sama dengan seorang desainer ternama yang sangat kon
"Sayang, hari ini butik buka untuk pertama kalinya setelah libur. Anak-anak juga tidak bersekolah. Jadi, nanti saat kau kembali dari kantor, langsung ke butik saja, ya..."Elizabeth menoleh pada suaminya yang duduk di sampingnya di dalam mobil."Heem. Mungkin aku akan menjemput kalian sore, karena aku ada pertemuan dengan beberapa orang hari ini, Sayang," jawab Evan. "Baiklah. Tidak papa," balas Elizabeth tersenyum. Pagi ini, Elizabeth dan Evan berangkat bersama. Evan harus mengantarkan istrinya ke butik sebelum ia pergi ke kantor. Begitu mereka tiba di depan butik, tempat itu sangat ramai dan sudah didatangi oleh banyak pengunjung. "Astaga, padahal ini masih pagi, tapi mereka antusias sekali," ucap Elizabeth menatap ke arah butiknya. Evan pun tersenyum, ia mengusap pucuk kepala Elizabeth. "Kerja bagus, Sayang!" Elizabeth membalas senyuman manis di bibir suaminya. "Kalau begitu aku dan anak-anak masuk dulu, sampai berjumpa nanti sore, Sayang..." "Papa hati-hati, ya," ucap Exel
"Tinggalkan Evan! Karena sebentar lagi dia akan rujuk dengan mantan istrinya!" Tubuh Elizabeth tersentak kaget, kedua matanya melebar tak percaya mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh ibu mertuanya. Elizabeth Lawrence, wanita berusia dua puluh tiga tahun itu meremas gaun pesta berwarna biru yang dia pakai. "A-apa maksud Mama mengatakan hal itu?" tanya Elizabeth dengan suara tercekat. "Apa kau tidak sadar? Sejak awal menikah hingga detik ini, Evan tidak pernah mencintaimu!” kata wanita paruh baya yang berpakaian glamor itu. “Karena cinta sejati Evan hanya Clarisa!” Elizabeth terdiam dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menyanggah, tapi lidahnya terasa kelu sebab ia tahu ibu mertuanya benar. Suaminya tidak pernah mencintainya. "Kau lihat di sana!” ujar Melodi—ibu mertuanya—ke arah sepasang manusia yang tengah bercengkerama akrab di tengah pesta. “Bukankah mereka tampak sangat serasi? Apa Evan pernah sehangat itu denganmu?” Elizabeth menelan ludah. Kata-kata itu menohok
Keesokan paginya... "Pakaikan baju baru untuk Exel, aku dan Clarisa akan mengajaknya pergi." Suara bariton berat dari Evander terdengar tegas pada Elizabeth yang tengah mendandani Exel pagi ini. Setelah semalaman tidak tidur di rumah, sekalinya pulang Evander kembali bersama Clarisa yang kini tengah menunggu di lantai satu. "Iya. Apa kau akan pulang di sore hari?" tanya Elizabeth sang suami. Sambil memakai tuxedo hitamnya, Evan menjawab, "Ya, agar Clarisa bisa puas bermain dengan Exel seharian." Elizabeth terdiam sejenak, merasa kini hari-harinya menjadi sangat menekan. Selain berkurangnya waktu bersama sang suami, Elizabeth mungkin akan sering kesepian karena Exel juga akan sering menghabiskan waktu dengan Clarisa. "Ma... ini Exel mau ke mana? Kok pakai baju baru?" Mungil suara Exel membuat Elizabeth tersenyum lembut, apalagi anak laki-lakinya itu cemberut menatapnya. "Exel hari ini ikut dengan Papa ya, Sayang. Ingat... tidak boleh nakal, tidak boleh nangis, dan tidak boleh
Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini. Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi. Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya. "Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya. "Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa. Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian. "Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dar
Sesampainya di rumah, Elizabeth berdiam diri di dalam ruangan pribadinya. Berjam-jam dia tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan. "Ternyata kehadiranku sama sekali tak berarti untuk suamiku. Apa ini yang disebut cinta lama adalah pemenang yang sesungguhnya?" ucap Elizabeth lirih dan sedih. Air mata Elizabeth menetes, namun ia menyekanya cepat. Situasi menyedihkan ini membuat Elizabeth merindukan sosok Nenek dan Bibi yang merawatnya, dan mereka kini jauh berada di Vienna. Tak lama setelah itu terdengar suara klakson mobil yang cukup keras. "Dia sudah pulang." Elizabeth membuka gorden dan mengintip ke bawah sana. Rupanya benar, itu suara dari mobil Evan. Dengan perlahan-lahan, Elizabeth beranjak berdiri meninggalkan ruangan itu dan bergegas menemui sang suami di kamarnya. Elizabeth menarik gagang pintu kamar dan melangkah ke dalam, ia melihat Evan yang tengah melepaskan tuxedo hitamnya. "Kau sudah pulang? Tumben sekali sampai larut malam…" kata Elizabeth sambil berjalan ke ar