Evan datang acara pertemuan penting yang diadakan di sebuah gedung besar, perusahaan milik rekannya, Fredrik. Pertemuannya siang ini mencakup banyak pimpinan-pimpinan dari petinggi beberapa perusahaan besar. Termasuk, ada Kian di sana yang tengah bersama dengan beberapa rekannya. "Tuan Evander," sapa Fredrik, dia mendekati Evan yang baru saja datang, dan menjabat tangan rekannya tersebut. "Musuh terbesarmu sudah datang sejak tadi," ujar Fredrik terkekeh. Evan menoleh pada Kian yang kini tengah berbincang dengan banyak orang, dan seperti biasa, dia masih saja berlagak sombong. Saat Evan menatapnya, tanpa sengaja Kian juga menatapnya dan laki-laki itu mengangkat tangan kanannya menyapa Evan. Namun Evan hanya tersenyum tipis dan mengangguk sekali."Kau siap mempermalukannya, Bung!" Fredrik merangkul pundak Evan. "Tidak Fred, dia yang akan malu sendiri," jawab Evan. Di sana, acara pun dimulai. Dan meeting itu dilaksanakan rutin setiap tahunnya. Tampilan-tampilan grafik kenaikan kua
"Sayang, akhir tahun ini bagaimana kalau kita mengadakan acara makan-makan di rumah? Nanti kita udang Mama dan Papa, juga nanti Nenek dan Bibi aku ajak ke sini, boleh kan?" Elizabeth mendekati Evan yang tengah duduk di sebuah sofa di rumah keluarga. Laki-laki tampan itu hanya mengangguk tanpa memperhatikan Elizabeth, dia masih fokus pada layar laptopnya. "Sayang, kau tidak memperhatikan aku?" Elizabeth menatapnya dari dekat. "Aku sudah mendengarmu, Sayang," jawab Evan santai. Elizabeth mendengus pelan, dia kembali duduk bersandar dan mengabaikan Evan. Elizabeth beralih menatap televisi yang menyala dan anak-anak yang asik bermain di depannya. Merasa istrinya diam, Evan pun menatapnya dan laki-laki tersenyum. Dia meraih satu tangan Elizabeth dan menggenggamnya. "Kau marah, Eli?" tanya Evan terkekeh."Pikir saja sendiri. Kau memang tidak jera aku tinggal pergi!" jawab Elizabeth dengan wajah kesal. Hal itu membuat Evan tertawa. Tak bisa Evan melihat istrinya merajuk, laki-laki itu
Pagi ini Evan berada di kantornya, seperti yang Jericho katakan kalau Tania akan menemuinya pagi ini. Evan tidak bodoh dengan membiarkan wanita itu berlalu lalang bebas dalam kehidupannya. Ia yakin ada maksud di balik semua yang Tania lakukan. "Tuan, Nyonya Tania sudah datang," ujar Jericho mengetuk pintu ruangan Evan. "Katakan padanya untuk menungguku," ujar Evan. "Baik Tuan." Jericho keluar lebih dulu, sedangkan Evan masih duduk diam di kursi kerjanya. Laki-laki itu mengingat apa yang Joshua ucapkan pagi tadi saat asisten Kian itu menghubunginya. Dia mengatakan Tania dan Kian ribut besar, Tania menyerahkan kartu kredit milik Kian, dan wanita itu pasti mencari cara untuk mendapatkan uang saat ini.Evan terkekeh pelan dan ia beranjak dari duduknya saat itu juga. "Mari kita lihat, drama apa lagi yang akan wanita itu tunjukkan!" desis Evan lirih. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam berwarna navy itu pun keluar dari dalam ruangannya dan berjalan menuju lift. Sesampainya di la
Sore ini, setelah pulang dari butik, Elizabeth mengajak kedua anaknya untuk berbelanja di sebuah supermarket. Pauline dan Exel memilih beberapa makanan favorit mereka, dan Elizabeth membawa kereta belanjaan di belakang kedua anaknya. "Mama sudah menghubungi Oma dan Opa?" tanya Exel mendongak menatap sang Mama. "Belum Sayang, kita tunggu beberapa hari lagi. Opa masih sibuk di kantor, kita hubungi Opa di dekat-dekat saat hari libur saja," ujar Elizabeth pada anaknya tersebut. "Heem, baiklah." Exel tersenyum, anak itu sangat senang mendengar Mama dan Papanya akan mengundang Oma dan Opa untuk datang merayakan acara tahun baru di rumahnya. Pauline yang berjalan paling depan, anak perempuan kecil itu tiba-tiba berputar balik dan berlari ke arah Elizabeth. "Hemm? Kenapa?" tanya Exel menatap sang adik. "Kenapa, Sayang?" tanya Elizabeth membungkukkan badannya mengusap pucuk kepala Pauline. "Itu Ma, ada dia..." Pauline menunjuk ke arah lorong sebelah. Elizabeth dan Exel berjalan perlah
Keesokan harinya, Elizabeth nampak sibuk di rumah. Wanita itu menata ruangan dan menghias beberapa ruangan di rumahnya. Ditemani oleh dua buah hatinya, mereka tidak pergi ke mana-mana hari ini, karena di luar sangat dingin dan salju tipis-tipis mulai turun. "Ma, Papa di mana?" tanya Exel berlari dari arah ruang tamu. "Ada, Papa ada di ruang kerjanya, Sayang," jawab Elizabeth menatap sang putra. "Ada apa?" "Itu ... di luar ada yang mencari Papa," jawab Exel. Elizabeth hendak berjalan ke depan, namun pintu rumahnya terbuka dan muncul Jericho bersama dua orang berbadan tinggi besar dan berpakaian hangat berwarna gelap, mereka memiliki wajah menyeramkan hingga Exel dan Pauline nampak menciut menatap dua orang itu. "Tuan di mana, Nyonya?" tanya Jericho. "Ada di ruang kerjanya," cicit Elizabeth menatap mereka ngeri. Dua orang itu menundukkan kepalanya memberi hormat pada Elizabeth. "Selamat pagi, Nyonya," sapa mereka."I-iya, selamat pagi." Elizabeth membalasnya dengan sopan. Mere
Tania panik luar biasa saat dirinya dicari-cari oleh polisi. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat ia mendengar berita kalau Kian kini tengah berada di kantor polisi. Tania kesal bukan main, wanita itu menduga-duga kalau Kian pasti membawa-bawa atau ikut menyeretnya dalam masalah ini. Kini, Tania tengah berada di kantor polisi usai ia didatangi oleh dua polisi untuk ikut bersamanya. "Saya tidak tahu apapun, Pak ... astaga! Kenapa saya ikut dibawa-bawa?!" pekik Tania saat polisi membawanya ke belakang. "Tenang Nyonya, nanti saja Nyonya bisa jelaskan," jawab salah satu polisi itu. "Iya. Tapi saya—"Ucapan Tania terhenti saat sebuah pintu terbuka, dan Tania melihat ada Kian di dalam sana dengan tangan diborgol dan laki-laki tua menyedihkan itu menoleh ke arahnya. "Kau..." Tania meradang menatap Kian. Wanita itu berjalan dengan cepat mendekati Kian dan menatap dengan tatapan tajam penuh amarah. "Apa maksud semua ini, hah?! Kau melakukan kesalahan dan kenapa kau memba
"Ma, hari ini kan hari libur, kenapa Papa pergi dari pagi belum kembali?" Exel bertanya pada sang Mama, anak laki-laki itu berdiri di ambang pintu dan menanti-nanti. Sedangkan Elizabeth, wanita itu duduk di sofa ruang tamu menatap Exel dan tersenyum manis pada sang putra. "Papa sedang ada urusan, Sayang. Sebentar lagi Papa juga akan pulang," jawab Elizabeth. "Heemm, begitu ya?" Exel cemberut. "Exel padahal mau jalan-jalan sama Mama dan Papa, Adik Pauline sepertinya juga ingin jalan-jalan, iya kan, Adik Pauline?" Exel menatap sang adik yang asik sendiri. Pauline menoleh dan menggeleng. "Dingin," jawab anak itu. Elizabeth tertawa pelan, rupanya Exel ingin ingin mencari teman untuk merayu Mamanya. Hingga akhirnya, pintu gerbang tinggi di depan terbuka, sebuah mobil hitam milik Evan masuk ke dalam pekarangan rumah. "Papa!" pekik Exel bersemangat. "Papaku...!" Pauline berlari ke teras depan. Evan tersenyum begitu ia disambut dengan sangat hangat oleh anak-anaknya. Laki-laki itu
Kedatangan Arshen dan Melodi membuat Elizabeth merasa senang. Mama dan Papa mertuanya itu membawakan banyak oleh-oleh untuk Cucu mereka. Di ruang keluarga, Pauline dan Exel bermanja-manja pada Oma dan Opanya. Mereka juga memeluk kedua anak itu dengan penuh kerinduan. "Oma kangen tidak, dengan Pauline?" tanya Pauline duduk dipangkuan Melodi sambil memeluk boneka beruang yang Melodi belikan. "Tentu saja, Sayang ... Oma kangen sekali dengan Pauline dan Exel," jawab Melodi berkaca-kaca mengusap pipi Pauline. Wanita tua itu menoleh pada Elizabeth dan Evan yang tersenyum memperhatikannya. "Evan, sepertinya Pauline tidak akan mirip denganmu, Pauline sangat mirip dengan Elizabeth," ujar Melodi, ia tersenyum mengecupi pipi Pauline. "Tidak papa Oma, Exel mirip sekali sama Papa," sahut Exel dengan bangga. "Tentu saja, malah Exel jauh lebih tampan!" seru Arshen memeluk erat cucu laki-lakinya itu. Evan terkekeh gemas, laki-laki itu merangkul pundak sang istri dan mengecup pipi Elizabeth de
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merang
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan