Keesokan harinya, Elizabeth nampak sibuk di rumah. Wanita itu menata ruangan dan menghias beberapa ruangan di rumahnya. Ditemani oleh dua buah hatinya, mereka tidak pergi ke mana-mana hari ini, karena di luar sangat dingin dan salju tipis-tipis mulai turun. "Ma, Papa di mana?" tanya Exel berlari dari arah ruang tamu. "Ada, Papa ada di ruang kerjanya, Sayang," jawab Elizabeth menatap sang putra. "Ada apa?" "Itu ... di luar ada yang mencari Papa," jawab Exel. Elizabeth hendak berjalan ke depan, namun pintu rumahnya terbuka dan muncul Jericho bersama dua orang berbadan tinggi besar dan berpakaian hangat berwarna gelap, mereka memiliki wajah menyeramkan hingga Exel dan Pauline nampak menciut menatap dua orang itu. "Tuan di mana, Nyonya?" tanya Jericho. "Ada di ruang kerjanya," cicit Elizabeth menatap mereka ngeri. Dua orang itu menundukkan kepalanya memberi hormat pada Elizabeth. "Selamat pagi, Nyonya," sapa mereka."I-iya, selamat pagi." Elizabeth membalasnya dengan sopan. Mere
Tania panik luar biasa saat dirinya dicari-cari oleh polisi. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat ia mendengar berita kalau Kian kini tengah berada di kantor polisi. Tania kesal bukan main, wanita itu menduga-duga kalau Kian pasti membawa-bawa atau ikut menyeretnya dalam masalah ini. Kini, Tania tengah berada di kantor polisi usai ia didatangi oleh dua polisi untuk ikut bersamanya. "Saya tidak tahu apapun, Pak ... astaga! Kenapa saya ikut dibawa-bawa?!" pekik Tania saat polisi membawanya ke belakang. "Tenang Nyonya, nanti saja Nyonya bisa jelaskan," jawab salah satu polisi itu. "Iya. Tapi saya—"Ucapan Tania terhenti saat sebuah pintu terbuka, dan Tania melihat ada Kian di dalam sana dengan tangan diborgol dan laki-laki tua menyedihkan itu menoleh ke arahnya. "Kau..." Tania meradang menatap Kian. Wanita itu berjalan dengan cepat mendekati Kian dan menatap dengan tatapan tajam penuh amarah. "Apa maksud semua ini, hah?! Kau melakukan kesalahan dan kenapa kau memba
"Ma, hari ini kan hari libur, kenapa Papa pergi dari pagi belum kembali?" Exel bertanya pada sang Mama, anak laki-laki itu berdiri di ambang pintu dan menanti-nanti. Sedangkan Elizabeth, wanita itu duduk di sofa ruang tamu menatap Exel dan tersenyum manis pada sang putra. "Papa sedang ada urusan, Sayang. Sebentar lagi Papa juga akan pulang," jawab Elizabeth. "Heemm, begitu ya?" Exel cemberut. "Exel padahal mau jalan-jalan sama Mama dan Papa, Adik Pauline sepertinya juga ingin jalan-jalan, iya kan, Adik Pauline?" Exel menatap sang adik yang asik sendiri. Pauline menoleh dan menggeleng. "Dingin," jawab anak itu. Elizabeth tertawa pelan, rupanya Exel ingin ingin mencari teman untuk merayu Mamanya. Hingga akhirnya, pintu gerbang tinggi di depan terbuka, sebuah mobil hitam milik Evan masuk ke dalam pekarangan rumah. "Papa!" pekik Exel bersemangat. "Papaku...!" Pauline berlari ke teras depan. Evan tersenyum begitu ia disambut dengan sangat hangat oleh anak-anaknya. Laki-laki itu
Kedatangan Arshen dan Melodi membuat Elizabeth merasa senang. Mama dan Papa mertuanya itu membawakan banyak oleh-oleh untuk Cucu mereka. Di ruang keluarga, Pauline dan Exel bermanja-manja pada Oma dan Opanya. Mereka juga memeluk kedua anak itu dengan penuh kerinduan. "Oma kangen tidak, dengan Pauline?" tanya Pauline duduk dipangkuan Melodi sambil memeluk boneka beruang yang Melodi belikan. "Tentu saja, Sayang ... Oma kangen sekali dengan Pauline dan Exel," jawab Melodi berkaca-kaca mengusap pipi Pauline. Wanita tua itu menoleh pada Elizabeth dan Evan yang tersenyum memperhatikannya. "Evan, sepertinya Pauline tidak akan mirip denganmu, Pauline sangat mirip dengan Elizabeth," ujar Melodi, ia tersenyum mengecupi pipi Pauline. "Tidak papa Oma, Exel mirip sekali sama Papa," sahut Exel dengan bangga. "Tentu saja, malah Exel jauh lebih tampan!" seru Arshen memeluk erat cucu laki-lakinya itu. Evan terkekeh gemas, laki-laki itu merangkul pundak sang istri dan mengecup pipi Elizabeth de
Setelah acara minum teh sore tadi, malamnya Elizabeth mengajak mertua, Nenek dan Bibinya untuk makan malam bersama di rumahnya. Dan sekarang, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Elizabeth nampak tengah membujuk Pauline yang tidak mau tidur sendirian. "Pauline mau tidur sama Oma dan Opa, Ma," protes Pauline memeluk Elizabeth."Besok saja, Sayang. Gantian, sekarang Oma kan tidur dengan Kakak Exel. Nanti kalau kalian tidur ramai-ramai yang lain akan jatuh, Pauline kan tidurnya nakal," ujar Elizabeth mengusap punggung kecil Pauline. "Pauline tidur sama Mama dan Papa saja, bagaimana?" Awalnya anak itu menolak, namun mau tidak mau akhirnya Pauline pun ikut dengan apa yang Elizabeth katakan. Pauline menyandarkan kepalanya di pundak sang Mama dan diam memejamkan kedua mata indahnya dengan pelan. "Loh, kok gendong? Kenapa?" Suara Evan membuat Elizabeth menoleh ke belakang. "Pauline marah, dia ingin tidur dengan Mama dan Papa, tapi kan Exel sekarang bersama mereka," jawab Elizabet
Di tempat lain, Tania kini tengah pusing bukan kepalang. Wanita itu tidak tahu bagaimana lagi sekarang ia harus berbuat apa. Tania hanya berhasil membawa mobil milik Kian, dan dua hari yang lalu, Tania juga menjauh butik yang berdiri atas nama miliknya tersebut. Wanita itu kini mondar-mandir di dalam apartemen miliknya sembari berusaha menghubungi seseorang. "Halo, kau di mana sekarang? Aku ingin bertemu sekarang juga!" seru Tania pada seseorang di balik panggilan tersebut. "Apa lagi? Ayolah ... aku sedang sibuk bekerja sekarang!" Suara laki-laki terdengar di balik panggilan itu. "Jangan konyol, Jeff! Ini penting!" pekik Tania marah. Dengusan kesal terdengar di balik panggilan itu. "Baiklah, aku tunggu kau di cafe di dekat perbatasan satu jam lagi!" "Okay, aku ke sana sekarang juga!" ucap Tania membalas. Wanita itu merapikan semua pakaiannya dan memasukkan ke dalam koper. Tania benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan di sana sendirian. Belum la
"Mama, hari ini Exel ada acara akhir tahun di sekolah. Tidak usah ditunggu, Exel dengan teman-teman juga..." Bocah laki-laki itu nampak memakai tas punggungnya, dan berjalan mendekati sang Mama yang tengah berada di dapur bersama Oma dan Adiknya. Elizabeth menoleh dan tersenyum tipis. "Kenapa tidak mau ditunggu? Exel tidak akan main jauh-jauh, kan?" tanya Elizabeth. "Tidak Ma. Acaranya sangat lama, kan Paman James juga sibuk," jawab anak itu. "Exel dan teman-teman hanya mendekorasi kelas saja, kita juga punya kejutan untuk Mrs. Gracia, Ma," ujar anak itu bersemangat. Melihat betapa antusiasnya sang putra, mau tidak mau Elizabeth pun setuju dengan permintaan Exel. "Baiklah, tapi janji ya, kalau sudah jamnya pulang, Exel telfon Paman James," ujar Elizabeth. "Iya Ma, siap." Exel mendekati Mamanya, anak itu tiba-tiba saja memeluk Elizabeth dengan erat. Entah kenapa, biasanya dia tidak pernah memeluknya begini, padahal hanya akan berangkat ke sekolah saja. Elizabe
"Exel tidak ada di sekolahnya! Sekolah sudah bubar sejak pukul sebelas siang tadi! Sekarang tidak ada yang tahu ke mana dia pergi!" Seruan itu terucap dari bibir Evan yang kini panik, laki-laki itu ditemani oleh Papanya, dia menghubungi satu persatu teman Exel. Namun tak satupun dari mereka tahu di mana keberadaan Exel. Sementara Jericho sudah pergi dengan tugas yang Evan berikan, dia melacak keberadaan ponsel Exel saat ini. Dan Elizabeth menangis bersama dengan Melodi. Wanita itu mengusap wajahnya dan merasa hancur. 'Firasatku tidak salah, tapi kenapa harus anakku? Di mana dia sekarang? Exel-ku ada di mana?' Elizabeth menangis menutup wajahnya. "Bagaimana Evan?" tanya Arshen menatap Evan yang mencoba menghubungi satu teman Exel lagi. "Tidak ada Pa, mereka tidak tahu ke mana Exel pergi," ujar Evan dengan wajah paniknya. Evan terdiam menatap ke arah luar, pikirannya langsung tertuju pada satu orang yang rasanya kini ingin Evan habisi saat ini juga!Saat itu juga, Evan langsung m
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat