"Exel tidak ada di sekolahnya! Sekolah sudah bubar sejak pukul sebelas siang tadi! Sekarang tidak ada yang tahu ke mana dia pergi!" Seruan itu terucap dari bibir Evan yang kini panik, laki-laki itu ditemani oleh Papanya, dia menghubungi satu persatu teman Exel. Namun tak satupun dari mereka tahu di mana keberadaan Exel. Sementara Jericho sudah pergi dengan tugas yang Evan berikan, dia melacak keberadaan ponsel Exel saat ini. Dan Elizabeth menangis bersama dengan Melodi. Wanita itu mengusap wajahnya dan merasa hancur. 'Firasatku tidak salah, tapi kenapa harus anakku? Di mana dia sekarang? Exel-ku ada di mana?' Elizabeth menangis menutup wajahnya. "Bagaimana Evan?" tanya Arshen menatap Evan yang mencoba menghubungi satu teman Exel lagi. "Tidak ada Pa, mereka tidak tahu ke mana Exel pergi," ujar Evan dengan wajah paniknya. Evan terdiam menatap ke arah luar, pikirannya langsung tertuju pada satu orang yang rasanya kini ingin Evan habisi saat ini juga!Saat itu juga, Evan langsung m
Mobil hitam milik Evan membelah jalanan malam yang sepi di musim dingin. Sepanjang jalan yang sepi membuat mobil itu melaju dengan kecepatan penuh. Bersama dengan Jasper yang mengemudi mobil itu, Evan nampak begitu cemas. Ia berharap Jericho benar-benar menemukan keberadaan Exel di tempat alamat ponsel yang berhasil dilacak oleh Jericho. "Itu mobil Jericho ada di depan, Tuan," ujar Jasper. "Apa yang dia lakukan di sini? Bukannya dia menunggu kita di lokasi?" tanya Evan bingung. "Entahlah, Tuan. Mari kita turun," ajaknya. Seketika, Evan dan Jasper pun langsung turun dari dalam mobilnya saat mereka berdua melihat mobil milik Jericho yang berhenti di tepian jalan. Nampak Jericho berdiri di depan mobilnya dan menatap Evan yang berlari ke arahnya. "Jer, kenapa kau malah berhenti di sini? Tempat apa ini?!" seru Evan menatap beberapa pohon-pohon tinggi di tepian jalan yang ditutupi oleh salju yang tipis. Jalanan itu menuju ke arah kota sebelah dengan jalur cepatnya. "Tuan, alamat po
Udara yang sangat hangat menyelimuti Exel. Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu tidur meringkuk memeluk boneka beruang yang terasa lembut dan hangat bulu boneka tersebut. Namun, aroma wangi kamar itu membuat Exel terbangun ketika dia sadar, itu bukan aroma kamarnya. Exel membuka kedua matanya lebar dan mengedar. Dia terduduk dengan napas naik turun mengingat siang tadi seseorang menyeretnya dengan paksa ke dalam mobil dan membawanya entah ke mana. "Mama, Papa..." Exel langsung menyibak selimutnya cepat. Anak laki-laki itu berlari ke arah jendela kamar, Exel membuka gorden dan anak itu nampak kebingungan.Pemandangan kota yang sangat ramai diselimuti salju dan meriahnya perayaan menjalang natal. "Ini di mana?" lirih Exel takut, tubuhnya seketika gemetar hebat dan berkaca-kaca seketika. "Ini bukan di Berlin..." Exel yang tengah menatap ke arah jendela, anak itu tersentak saat tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Sontak, Exel menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat Tania yang
Sudah beberapa hari lamanya tidak ada kabar apapun tentang Exel yang kini keberadaannya entah di mana. Elizabeth pun stress dan wanita itu hanya bisa diam melamun setiap hari memikirkan anaknya. Seperti pagi ini, Elizabeth bangun pagi-pagi sekali, dia hanya diam duduk di dalam kamar Exel yang sejak awal sudah dihias oleh gambar-gambaran dinding yang anak itu inginkan. Elizabeth terenyuh mengusap bantal yang terletak tapi di atas ranjang. "Exel ... apa sekarang kau sudah bangun, Nak? Bagaimana keadaan Exel sekarang? Apakah Exel kedinginan atau bagaimana?" lirih Elizabeth menundukkan kepalanya. Wanita itu terdiam sejenak. "Mama Elizabeth-mu ini memang bukan seorang Mama yang baik untuk Exel. Mama tidak bisa menjagamu," ucap Elizabeth berputus asa menyalahkan dirinya sendiri. Pintu kamar itu terbuka, muncul Evan yang kini berdiri di ambang pintu menatapnya. Elizabeth dengan cepat mengusap air matanya. Wanita itu terdiam saat Evan mendekat dan duduk di sampingnya, Evan menatap lekat
"Ma, Pa, Kakak ke mana? Kenapa tidak pulang-pulang? Pauline kangen sama Kakak Exel, Ma..." Pauline merengek dalam pangkuan Elizabeth saat ini, anak empat tahun itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Sejak kemarin-kemarin, Pauline terus mencari-cari sang Kakak dan dia juga merasa kesepian karena tidak punya teman bermain lagi. "Kakak masih pergi, Sayang. Nanti kalau Kakak sudah pulang, kita main sama Kakak lagi ya, Nak," jawab Elizabeth berusaha tersenyum. Pauline mengangguk lemah. Anak perempuan itu kembali memeluk Mamanya dengan wajah sedih.Elizabeth menoleh ke arah ruangan samping di mana nampak Evan dan Arshen berbincang dengan beberapa orang yang bertugas mencari Exel hingga kini jatuh sampai berhari-hari lamanya. Bahkan Evan baru saja pulang dua jam yang lalu mencari keberadaan Tania, dia mencari ke seluruh tempat, hingga Evan mendesak Kian dan semua orang-orang yang dikenali Tania. Namun semua itu, hasilnya pun nihil. Tak ada yang tahu di mana Tania berada, jelasnya
Malam ini, Exel tidur ditemani Tania. Anak laki-laki itu sudah menolaknya, namun Tania tetap kukuh berkata ingin menjaganya. Bahkan Tania tidak memberikan ruang bagi Exel untuk bermain sendirian, hingga anak itu tidak punya kesempatan bebas. Tania kini menyelimuti Exel dengan hangat, berbaring di sampingnya dan bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan. "Dulu, saat Exel masih bayi, Papa membelikan kalung untuk kita berdua. Exel tahu, kan?" tanya Tania pada Exel. "Tahu," jawab Exel singkat dan malas. "Tapi saat itu Mama harus pergi karena Mama ingin melanjutkan belajar, dan—""Tidak usah bercerita. Aku sudah tahu semuanya." Exel membalikkan badannya menatap Tania. "Terima kasih sudah pergi, karena dengan Tante Jahat pergi, aku bisa mengenal Mama Elizabeth yang mau merawatku sejak aku masih bayi, mau menemaniku bermain, dan mau menjadi Mama yang baik untukku!" Exel menarik napasnya panjang dan cepat sebelum anak itu kembali memunggungi Tania dan menutup sekujur tubuhnya dengan se
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Exel sudah bangun dari tidurnya yang lelap. Hari ini adalah tepat datangnya perayaan hari natal.Anak laki-laki itu perlahan melepaskan tangan Tania yang memeluknya. Ia menoleh ke belakang pada Tania yang memeluknya. Exel terdiam menatap wanita itu dengan lekat. Setiap hari, Tania sabar menjaga Exel sekalipun Exel kadang marah-marah, menuruti apapun yang Exel mau, dan dia selalu memeluk Exel setiap Exel tertidur. "Eumm ... Mama," lirih Exel sedih mengucapkan kata itu, nadanya pun sedikit ragu. Ia ingin menyentuh wajah Tania dengan jemarinya, namun Exel menarik kembali tangannya. 'Mamaku hanya Mama Elizabeth,' batin Exel menguatkan dirinya. Anak itu bergegas menyibakkan selimutnya dan turun dari atas ranjang. Exel berjalan membuka pintu balkon kamar itu dan berjalan keluar melihat seisi kota yang sangat meriah pagi ini. "Wahhh ... ramainya," lirih Exel berbinar-binar. "Bagus sekali..." Exel berdiri memperhatikan sekitar, banyak sekali anak-anak
Pagi di hari natal tahun ini, tidak seperti tahun natal kemarin-kemarin. Semua terasa hampa bagi Evan dan Elizabeth. Apalagi Elizabeth yang sekarang berdiam diri merenung sedih memikirkan putranya yang hilang. Bahkan semua orang di rumah itu, tidak ada yang menunjukkan ekspresi bahagianya. "Ini sudah minggu kedua, ke mana kau, Nak?" Arshen berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. "Exel, Cucuku..." Evan yang duduk di sofa, dia merangkul istrinya yang memeluk boneka koala milik Exel. Elizabeth benar-benar stress memikirkan putranya dan ia selalu menghabiskan hari-harinya dengan menangis dan melamun. Namun, wanita itu juga masih mengurus Pauline dengan baik. "Apa tidak ada kabar dari luar kota?" tanya Melodi pada Evan. "Tidak ada, Ma. Setelah natal, aku akan mencoba melakukan penelusuran lagi di Munich," ujar Evan dengan wajah lelah. "Mendengar dari salah satu mantan karyawan di butik Tania, wanita itu bilang Tania sering berhubungan dengan seseorang yang tinggal di Munich."
"Papa, ayo antarkan Exel membeli sesuatu untuk Hauri! Exel mau memberikan dia hadiah yang paling indah!" Suara Exel membujuk rayu Papanya terdengar hingga di ruang makan belakang. Elizabeth yang mendengarnya pun tersenyum, ternyata benar apa yang Evan katakan kalau setelah bertemu Hauri, pasti ada saja yang Exel minta. "Papa, dengar tidak Exel minta apa? Boleh tidak? Kalau tidak boleh Exel bisa nekat tahu!" seru anak itu berdiri dengan raut wajah sedih. "Nekat bagaimana, Tuan Kecil?" tanya Jericho menggodanya. "Jangan bilang mau kabur?" "Exel kan sudah tahu jalan-jalan di Paris. Biar saja, kalau tidak boleh Exel mau pergi sendiri!" protes anak laki-laki itu. "Mau pergi ke mana memangnya, Sayang?" Suara Elizabeth membuat anak itu menoleh dan Exel langsung berbinar-binar saat Mamanya muncul. Exel membawa sebuah kotak kecil pemberian Hauri dan menunjukkan pada Mamanya. "Mama lihat ini, Hauri memberikan hadiah buat Exel. Lihat ini, Ma ... gelang jam berwarna biru tua, bagus sekal
"Sayang, jangan bermain di luar ya ... kalian di rumah saja, karena Paman James sedang pergi dengan Papa, kalian mengerti?" Elizabeth menatap dua buah hatinya yang kini tengah berada di ruang tamu. "Iya Mama, kita mengerti. Tapi nanti kalau Papa pulang, langsung main ke rumah Oma dan Opa ya, Ma," pinta Exel menatap sang Mama. "Tentu saja. Mama sekarang mau ke belakang dulu," ujar Elizabeth pada mereka berdua. Elizabeth berjalan ke belakang, meninggalkan dua anaknya di ruang tamu. Sementara Exel, anak laki-laki itu berdiri di dekat jendela kaca rumahnya dan menatap ke arah luar. "Kakak pasti ingin main ke luar, ya?" tanya Pauline mendekati sang Kakak. "Bukan begitu, Pauline...." "Terus?" Pauline mengerjapkan kedua matanya dan berdiri memegangi bagian belakang sweater yang Exel pakai.Exel masih diam menatap ke arah luar, di mana hujan salju masih turun di sana. Pauline bingung apa yang ditatap oleh Kakaknya, bahkan sejak kemarin Exel selalu menatap ke arah luar dengan pandanga
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya ... maaf kalau saya mengganggu. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan." Kepala pelayan itu berdiri di ambang pintu ruangan kerja Evan dengan wajah yang gugup. Elizabeth mengangguk dan ia langsung berdiri dari duduknya saat itu juga. "Ada apa, Bi?" tanya wanita itu. "Itu Nyonya ... sejak dua hari sebelum Nyonya dan Tuan datang ke sini, ada seorang wanita yang mondar-mandir di gerbang depan. Tadi waktu saya kembali dari supermarket, wanita itu juga bertanya pada saya, apakah Tuan sudah pulang? Dan saya jawab, sudah … tapi saya tidak tahu siapa wanita itu.” Penjelasan kepala pelayan itu membuat Elizabeth langsung memasang wajah curiga. Elizabeth menoleh pada Evan dengan tatapan yang tidak-tidak sebelum Evan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak punya simpanan, okay?" ujarnya, seolah bisa membaca pikiran istrinya. "Lalu, siapa wanita itu?" tanya Elizabeth. "Ayolah Sayang, aku juga tidak tahu," jawab Evan. Saat itu juga Elizabeth melangkah mendekati suam
Suara detikan jarum jam berdetak pelan dan teratur. Elizabeth menutup pintu kamarnya dan wanita itu menatap seisi kamarnya yang begitu hangat. Elizabeth mengusap bantal dan ia duduk di atas ranjang, sebelum Elizabeth menatap ruang kosong di sampingnya. "Dia pasti tidur sendirian saat aku tidak ada di sampingnya dulu ... aku hampir tak percaya dia begitu setia padaku yang berbohong telah meninggal dunia," ucap Elizabeth lirih. Sampai akhirnya pintu kamar terbuka, Evan muncul dan ia berjalan masuk ke dalam kamar itu. "Aku pikir kau sudah tidur, Sayang..." "Belum. Aku belum mengantuk. Emm ... rasanya senang sekali kembali ke rumah ini," jawab Elizabeth tersenyum manis. "Aku pun merasakan hal yang sama, Sayang," jawab Evan, laki-laki yang berbaring di atas ranjang dan menjadikan pangkuan Elizabeth sebagai bantalnya. Elizabeth menyunggar rambut hitam Evan, sementara itu tidak ada percakapan di antara mereka. Raut wajah Evan tiba-tiba berubah menjadi sedikit cemas. Ekspresi itu lan
Tempat yang Exel berikan sebagai tanda hadiah atas kembalinya ia ke sini. Tempat itu adalah tempat yang sangat Elizabeth impi-impikan sejak dulu, bagaimana bisa tempat itu dibangun di pekarangan belakang dengan megahnya?!Exel mendongak menatap sang Mama yang melihat ke arah sebuah rumah kaca besar di depan sana. "Bagaimana, Ma? Mama suka?" tanya anak itu. Elizabeth menutup mulutnya. "Exel ... Exel tahu darimana dulu Mama sangat menginginkan rumah kaca?" tanya Elizabeth pada putranya. "Emm ... entahlah, tapi Papa yang tiba-tiba membangunnya. Papa bilang, Papa ingin membuat rumah kaca untuk Mama," jawab Exel menarik lengan Elizabeth dan mengajaknya ke tempat itu. Pintu rumah kaca dibuka oleh Exel, mereka masuk ke dalam sana. Beberapa bunga masih segar, beberapa juga nampak gugur daunnya, mungkin karena bunga itu tidak tahan cuaca dingin. "Indahnya," ucap Elizabeth lirih."Mama tunggu di sini sebentar ya, Exel mau panggil Paman James dulu! Ada ulat di sana, Exel geli...!" seru ana
Setelah menunggu dengan rasa tak sabar untuk liburan kembali ke Prancis, akhirnya hari yang dinanti-nantikan pun datang. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Elizabeth kembali memijak tanah negara yang dulu sempat ia sumpahi tidak akan kembali ke sini lagi. Tapi sekarang, keadaan telah berubah..."Akhirnya, kita sampai ... Heum, kangen sekali!" seru Exel heboh. "Hemmm, sampai di mana? Capek sekali, ingin tidur lagi," gumam Pauline dalam gendongan Evan. Evan pun tersenyum mengusap pucuk kepala Pauline. Ia mengecup pipi gemas putri kecilnya. "Sabar ya, Sayang, sebentar lagi kita akan sampai di rumah," ujar Evan. "Iya Papa." Pauline pun kembali menyandarkan kepala di pundak Evan, anak itu kembali memejamkan kedua matanya. Sementara Exel bersama Jericho dan James berjalan lebih dulu keluar dari area bandara. Musim dingin di Paris yang tak kalah indah dari di Berlin. Elizabeth berjalan sedikit di belakang Evan, wanita itu meremas kuat syal abu-abu yang ia pakai saat sudah sa
Setelah Mama dan Papa mertuanya pulang siang tadi, Elizabeth pun mengajak Pauline dan Exel untuk mengunjungi Nenek dan Bibinya di rumahnya. Elizabeth membawakan banyak roti, kue, dan juga makanan yang lainnya. Kedatangannya disambut dengan penuh kehangatan oleh Bibi Meria dan Nenek Berta. "Akhirnya, kalian ke sini juga ... Ya ampun Nak, Exel!" Bibi Meria memeluk Exel saat tahu anak laki-laki itu ikut. "Syukurlah kalau Exel baik-baik saja," ujar Berta mengusap kepala anak laki-laki bersama Elizabeth tersebut. Setelah mendengar kabar Exel diculik, mereka pun juga ikut kebingungan. Hingga kini dua wanita tua itu begitu bahagia melihat Exel baik-baik saja. "Exel tidak papa, Nek. Lihat ... Exel baik-baik saja, kan?!" seru anak itu. "Syukurlah, Sayang," ucap Bibi Meria. "Nenek kok tidak menyapa Pauline? Sudah tidak sayang lagi, ya?" seru Pauline tiba-tiba. Anak perempuan kecil dengan balutan jaket tebal bulu-bulu berwarna biru muda itu duduk di atas meja kayu memeluk boneka beruang
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Elizabeth meminta pembantunya untuk membersihkan teras belakang. Elizabeth juga meminta pada Bibi untuk menyiapkan teh hangat dan kue kering di sana. Wanita muda itu sangat menyukai momen sendirian di awal pagi, Elizabeth membaca banyak buku dan memperhatikan salju tipis yang turun. "Elizabeth, sedang apa? Di luar sangat dingin..." Suara Melodi membuat Elizabeth menoleh cepat. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak Ma, Bibi sudah menyiapkan perapian," jawab Elizabeth menunjuk ke arah depan di mana ada sebuah tempat berisi potongan kayu yang dibakar dan tampak sangat hangat. "Ya ampun, Mama tidak memperhatikannya," jawab Melodi. Wanita itu berjalan mendekati Elizabeth dan duduk di sampingnya. "Oh iya, Nak ... suamimu bilang pada Mama dan Papa, setelah tahun baru nanti kau mau ikut ke Prancis?" tanya Melodi menatapnya lekat. "Iya Ma. Elizabeth sangat merindukan suasana di sana. Pauline kan belum pernah ke Prancis sama sekali," ujar El
Bersama dengan kedua anaknya, Evan dan Elizabeth pergi berjalan-jalan malam di kota yang kini sedang sangat ramai dengan perayaan natal dan menjelang tahun baru. Evan dan Elizabeth duduk di sebuah bangku kayu, mereka berdua memperhatikan Pauline dan Exel yang kini tengah bermain di depan sana. Anak-anak itu asik bermain kembang api kecil yang mereka beli. "Huhhh ... ini seperti mimpi," ujar Evan mendongak menatap langit malam yang gelap. Elizabeth menoleh saat ia mendengar apa yang suaminya katakan barusan. "Apanya yang seperti mimpi, Sayang?" tanya Elizabeth. Senyuman terlukis indah di bibir Evan. "Malam ini, situasi ini, dan dengan seseorang yang aku sayangi, bersama anak-anakku." Elizabeth hanya tersenyum, wanita itu tertunduk menatap telapak tangannya yang digenggam oleh Evan, sarung tangan berwarna putih yang Elizabeth pakai, terasa semakin hangat saat genggam tangan Evan mengerat. "Tahun-tahun sebelumnya, saat kau pergi, adalah tahun paling mengerikan yang pernah aku alam