Malam ini, Elizabeth mengadakan acara dinner party di sebuah rumah makan mewah bersama dengan semua rekan kerjanya.Hal itu Elizabeth lakukan atas rasa terima kasih pada mereka semua yang sudah bekerja keras selama satu bulan ini.Ditemani oleh suaminya, Elizabeth terlihat begitu anggun dan memiliki sisi tegas sebagai pimpinan di butiknya. "Selamat malam, Nyonya Elizabeth..," sapa seorang wanita setengah baya mendekatinya. Elizabeth pun langsung tersenyum lebar mendapati wanita itu. "Oh ya ampun, Nyonya Raquel..." Elizabeth langsung menyambutnya dan ia juga memeluk wanita itu dengan hangat. "Selamat datang, Nyonya, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang." "Iya, sama-sama, Nyonya. Saya sangat senang bisa bekerja sama dengan Nyonya, dan akhirnya kita bertemu juga," ujar wanita berambut putih itu. Elizabeth mengangguk senang. "Saya juga demikian. Mari ... silakan duduk," ujarnya. Nampak Adelaide yang juga menyapa Nyonya Raquel, sang desainer kondang yang ia kenalkan pad
Tania kembali pulang ke rumahnya, dia tidak bisa tenang setelah melihat Elizabeth akan kembali bangkit bersama butiknya yang tadinya Tania pikir sudah bangkrut. Wanita cantik dengan balutan sweater abu-abu itu berjalan masuk ke dalam rumah. Di sana, Tania melihat suaminya yang tengah duduk di sofa dengan wajah stress. "Sayang, kau sudah pulang?" sapa Tania pada suaminya yang sudah tua itu. Kian hanya menoleh dan mengangguk saat Tania mendekat. Laki-laki itu menyergah napasnya panjang. Sementara Tania melepaskan syal merah yang ia pakai saat ini, sebelum wanita itu menatap suaminya dan meraih satu tangan Kian. "Sayang, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ujar Tania memasang wajah sedih andalannya. "Ada apa, Sayang?" tanya Kian memperhatikan wajah Tania yang cantik. "Emm ... kau tahu kan, butik milik kita sedang dalam masa jaya, dan butik milik istri Tuan Evander akan kembali dibuka besok pagi. Aku dengar-dengar dia bekerja sama dengan seorang desainer ternama yang sangat kon
"Sayang, hari ini butik buka untuk pertama kalinya setelah libur. Anak-anak juga tidak bersekolah. Jadi, nanti saat kau kembali dari kantor, langsung ke butik saja, ya..."Elizabeth menoleh pada suaminya yang duduk di sampingnya di dalam mobil."Heem. Mungkin aku akan menjemput kalian sore, karena aku ada pertemuan dengan beberapa orang hari ini, Sayang," jawab Evan. "Baiklah. Tidak papa," balas Elizabeth tersenyum. Pagi ini, Elizabeth dan Evan berangkat bersama. Evan harus mengantarkan istrinya ke butik sebelum ia pergi ke kantor. Begitu mereka tiba di depan butik, tempat itu sangat ramai dan sudah didatangi oleh banyak pengunjung. "Astaga, padahal ini masih pagi, tapi mereka antusias sekali," ucap Elizabeth menatap ke arah butiknya. Evan pun tersenyum, ia mengusap pucuk kepala Elizabeth. "Kerja bagus, Sayang!" Elizabeth membalas senyuman manis di bibir suaminya. "Kalau begitu aku dan anak-anak masuk dulu, sampai berjumpa nanti sore, Sayang..." "Papa hati-hati, ya," ucap Exel
Evan datang acara pertemuan penting yang diadakan di sebuah gedung besar, perusahaan milik rekannya, Fredrik. Pertemuannya siang ini mencakup banyak pimpinan-pimpinan dari petinggi beberapa perusahaan besar. Termasuk, ada Kian di sana yang tengah bersama dengan beberapa rekannya. "Tuan Evander," sapa Fredrik, dia mendekati Evan yang baru saja datang, dan menjabat tangan rekannya tersebut. "Musuh terbesarmu sudah datang sejak tadi," ujar Fredrik terkekeh. Evan menoleh pada Kian yang kini tengah berbincang dengan banyak orang, dan seperti biasa, dia masih saja berlagak sombong. Saat Evan menatapnya, tanpa sengaja Kian juga menatapnya dan laki-laki itu mengangkat tangan kanannya menyapa Evan. Namun Evan hanya tersenyum tipis dan mengangguk sekali."Kau siap mempermalukannya, Bung!" Fredrik merangkul pundak Evan. "Tidak Fred, dia yang akan malu sendiri," jawab Evan. Di sana, acara pun dimulai. Dan meeting itu dilaksanakan rutin setiap tahunnya. Tampilan-tampilan grafik kenaikan kua
"Sayang, akhir tahun ini bagaimana kalau kita mengadakan acara makan-makan di rumah? Nanti kita udang Mama dan Papa, juga nanti Nenek dan Bibi aku ajak ke sini, boleh kan?" Elizabeth mendekati Evan yang tengah duduk di sebuah sofa di rumah keluarga. Laki-laki tampan itu hanya mengangguk tanpa memperhatikan Elizabeth, dia masih fokus pada layar laptopnya. "Sayang, kau tidak memperhatikan aku?" Elizabeth menatapnya dari dekat. "Aku sudah mendengarmu, Sayang," jawab Evan santai. Elizabeth mendengus pelan, dia kembali duduk bersandar dan mengabaikan Evan. Elizabeth beralih menatap televisi yang menyala dan anak-anak yang asik bermain di depannya. Merasa istrinya diam, Evan pun menatapnya dan laki-laki tersenyum. Dia meraih satu tangan Elizabeth dan menggenggamnya. "Kau marah, Eli?" tanya Evan terkekeh."Pikir saja sendiri. Kau memang tidak jera aku tinggal pergi!" jawab Elizabeth dengan wajah kesal. Hal itu membuat Evan tertawa. Tak bisa Evan melihat istrinya merajuk, laki-laki itu
Pagi ini Evan berada di kantornya, seperti yang Jericho katakan kalau Tania akan menemuinya pagi ini. Evan tidak bodoh dengan membiarkan wanita itu berlalu lalang bebas dalam kehidupannya. Ia yakin ada maksud di balik semua yang Tania lakukan. "Tuan, Nyonya Tania sudah datang," ujar Jericho mengetuk pintu ruangan Evan. "Katakan padanya untuk menungguku," ujar Evan. "Baik Tuan." Jericho keluar lebih dulu, sedangkan Evan masih duduk diam di kursi kerjanya. Laki-laki itu mengingat apa yang Joshua ucapkan pagi tadi saat asisten Kian itu menghubunginya. Dia mengatakan Tania dan Kian ribut besar, Tania menyerahkan kartu kredit milik Kian, dan wanita itu pasti mencari cara untuk mendapatkan uang saat ini.Evan terkekeh pelan dan ia beranjak dari duduknya saat itu juga. "Mari kita lihat, drama apa lagi yang akan wanita itu tunjukkan!" desis Evan lirih. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam berwarna navy itu pun keluar dari dalam ruangannya dan berjalan menuju lift. Sesampainya di la
Sore ini, setelah pulang dari butik, Elizabeth mengajak kedua anaknya untuk berbelanja di sebuah supermarket. Pauline dan Exel memilih beberapa makanan favorit mereka, dan Elizabeth membawa kereta belanjaan di belakang kedua anaknya. "Mama sudah menghubungi Oma dan Opa?" tanya Exel mendongak menatap sang Mama. "Belum Sayang, kita tunggu beberapa hari lagi. Opa masih sibuk di kantor, kita hubungi Opa di dekat-dekat saat hari libur saja," ujar Elizabeth pada anaknya tersebut. "Heem, baiklah." Exel tersenyum, anak itu sangat senang mendengar Mama dan Papanya akan mengundang Oma dan Opa untuk datang merayakan acara tahun baru di rumahnya. Pauline yang berjalan paling depan, anak perempuan kecil itu tiba-tiba berputar balik dan berlari ke arah Elizabeth. "Hemm? Kenapa?" tanya Exel menatap sang adik. "Kenapa, Sayang?" tanya Elizabeth membungkukkan badannya mengusap pucuk kepala Pauline. "Itu Ma, ada dia..." Pauline menunjuk ke arah lorong sebelah. Elizabeth dan Exel berjalan perlah
Keesokan harinya, Elizabeth nampak sibuk di rumah. Wanita itu menata ruangan dan menghias beberapa ruangan di rumahnya. Ditemani oleh dua buah hatinya, mereka tidak pergi ke mana-mana hari ini, karena di luar sangat dingin dan salju tipis-tipis mulai turun. "Ma, Papa di mana?" tanya Exel berlari dari arah ruang tamu. "Ada, Papa ada di ruang kerjanya, Sayang," jawab Elizabeth menatap sang putra. "Ada apa?" "Itu ... di luar ada yang mencari Papa," jawab Exel. Elizabeth hendak berjalan ke depan, namun pintu rumahnya terbuka dan muncul Jericho bersama dua orang berbadan tinggi besar dan berpakaian hangat berwarna gelap, mereka memiliki wajah menyeramkan hingga Exel dan Pauline nampak menciut menatap dua orang itu. "Tuan di mana, Nyonya?" tanya Jericho. "Ada di ruang kerjanya," cicit Elizabeth menatap mereka ngeri. Dua orang itu menundukkan kepalanya memberi hormat pada Elizabeth. "Selamat pagi, Nyonya," sapa mereka."I-iya, selamat pagi." Elizabeth membalasnya dengan sopan. Mere
Setelah putranya pulang, Evan pun juga kembali fokus pada pekerjaannya yang sempat ia tinggalkan beberapa waktu yang lalu. Laki-laki itu sibuk dengan tumpukan berkas di ruangan kerjanya. Di sana, juga ada Jericho yang terlihat tengah mengotak-atik keyboard laptop miliknya. "Jer, bagaimana kabar Jeff dan Tania? Apa mereka benar-benar diamankan?" tanya Evan menatap ajudannya. Evan penasaran, pasalnya setelah kembali dari Munich dua hari yang lalu, Jericho tidak berbicara apapun. Laki-laki berbalut sweater cokelat gelap itu mengangguk. "Tuan jangan khawatir, seperti rencana kita sejak awal. Jeff sudah berhasil diringkus polisi dengan kasus penculikan, dan Tania..." Jeff menjeda ucapannya, laki-laki itu menutup laptopnya. "Kai yang mengawasi gerak-gerik Tania, Tuan. Kai bilang pada saya, kalau saat Tuan dan Nyonya pergi bersama Exel waktu itu, Tania masih menangis di sana hingga dua jam lamanya. Setelah itu, esok paginya, wanita itu pergi membawa koper dan entah ke mana dia pergi, t
Selama perjalanan pulang, Elizabeth tidak melepaskan pelukannya dari Exel. Wanita itu menangis dalam diam antara senang bertemu dengan putranya lagi, di sisi lain Elizabeth juga ikut merasakan betapa patahnya hati Tania saat ini. Exel diam menyandarkan kepalanya dalam pelukan sang Mama. "Exel kangen dengan Mama, Sayang?" tanya Elizabeth mengusap rambut hitam anak itu. "Iya Ma. Exel kangen Mama," jawabnya. Elizabeth tersenyum manis, ia mengecup pucuk kepala Exel. Ekor mata Exel melirik Papanya yang kini menatapnya dan tersenyum mengusap punggung kecil Exel. "Tidak mau dipeluk Papa?" tawar Evan. "Nanti saja, Exel kangennya banyak sama Mama," jawab anak itu cemberut. Hal itu membuat Evan terkekeh, ia melepaskan mentel tebalnya dan menyelimutkan pada Exel dan Elizabeth. "Mama Clarisa merawat Exel dengan baik, kan, Sayang?" tanya Elizabeth lagi. "Heem. Exel yang nakal, Exel yang selalu minta pulang. Karena Exel pikir Mama Clarisa. Sama seperti dulu, tapi ternyata tidak ... apapun
Tania kaget di sana ada Evan dan Elizabeth, terlebih lagi saat ini Exel sudah berada dalam pelukan Elizabeth. Wanita itu menatap ke arah Jeff dengan tatapan murka tanpa ampunan. Sedangkan Evan berusaha melindungi anak dan istrinya, dan Jericho tiba-tiba pergi dari sana. Kini tinggal satu ajudan Evan berdiri di depannya. "Jadi benar-benar kau yang menculik Exel?" Suara Evan membuat Tania menatapnya dengan tatapan marah. "Ya. Aku yang membawanya, karena aku sangat merindukan anakku, Evander!" seru Tania. Wanita itu kembali menoleh pada Jeff. "Dan kau ... apa yang kau lakukan?! Kenapa kau mengembalikan anakku pada mereka, Jeff!" teriak Tania. "Bukannya ini dulu rencanamu? Kau yang mengajakku untuk menculik Exel, lalu meminta tebusan pada Evander, begitu bukan?" Jeff terkekeh saat ia berhasil mengendalikan situasi. Tania menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, tidak … tidak seperti itu!" Wanita itu dengan murka merebut koper yang berada di tangan Jeff dan melemparkan ke arah Evan.
Tania kembali ke tempat di mana ia meninggal Exel dan Jeff. Dengan membawa satu cup minuman cokelat hangat yang Exel minta, wanita nampak kebingungan tidak menemukan anaknya. "Exel ... Jeff? Ke mana mereka?" Tania menoleh ke kanan dan ke kiri. Tania menatap sekitar, tempat itu sangat ramai, namun dia tidak melihat keberadaan Jeff ataupun Exel sama sekali. "Ya Tuhan, ke mana anakku?!" Tania mengusap wajahnya frustrasi. Wanita itu menjatuhkan cup cokelat hangat yang ia beli dan berlari ke sana kemari mencari Exel. "Exel...! Kau di mana, Nak?!" pekik Tania mencari-cari. Semua orang menatap betapa bingungnya Tania saat ini. Hatinya begitu gelisah dan takut, khawatir bila terjadi sesuatu dengan anaknya.Sampai tiba-tiba langkah Tania terhenti dengan sendirinya. Wanita itu terdiam berpikir tentang Jeff dan permintaan laki-laki itu sebelumnya. Yaitu dengan kukuh menjadikan Exel sebagai alat untuk mendapatkan uang dari Evander seperti rencana mereka sejak awal. 'Tidak mungkin Jeff memb
Elizabeth dan Evan sudah sampai di Munich sejak beberapa jam yang lalu. Penculik Exel sudah mengirimkan pesan dengan jumlah uang yang dia minta pada Evan pagi tadi, sebelum jejaknya menghilang begitu saja tanpa bisa dilacak kembali. Evan dan Elizabeth pun memutuskan mencari tempat tinggal untuk sementara waktu, karena cuaca yang dingin, dan orang yang menculik Exel itu juga tidak jelas ingin bertemu kapan. "Apa dia tidak mengabari lagi?" tanya Evan mendekati Jericho yang duduk di sebuah sofa. "Belum Tuan. Tapi sepertinya orang itu tidak berbohong, jejak yang kami lacak dari nomornya, dia benar-benar berada di Munich," ujar Jericho menatap Evan. "Mungkin kita perlu bersabar hingga orang itu menghubungi kita lagi," sahut Elizabeth, dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Evan menatap istrinya dan tersenyum tipis. "Kita akan bertemu dengan Exel, percayalah..." Anggukan kecil diberikan oleh Elizabeth. Wanita itu menatap ke arah luar dari dinding kaca tempat ia berada saat in
Tidak biasanya Tania bangun dari tidurnya tidak mendapati Exel di sampingnya. Wanita itu langsung bergegas turun ke lantai satu. Pemandangan asing Tania lihat di sana, ia memperhatikan Exel yang tengah duduk bersama dengan Jeff di ruang keluarga. "Exel," sapa Tania berjalan ke arah mereka berdua. Exel pun menoleh, anak itu diam memeluk bantalan sofa dan ia menyandarkan punggungnya pada Jeff. "Aku mau di sini dengan Om Jeff!" seru Exel memasang wajah cemberut. Tania dengan ekspresi curiga, dia menatap Jeff lekat-lekat. "Kau tidak bicara macam-macam dengan anakku kan, Jeff?" tanya wanita itu. "Kau tanyakan sendiri pada anakmu ini, apa saja yang aku bicarakan dengannya. Exel hampir mati kebosanan karena kau masih belum bangun di jam segini!" jawab Jeff tanpa menatap Tania, laki-laki itu masih sibuk menatap televisi. Tanpa membalas lagi, Tania berjalan mendekati Exel. Wanita itu mengulurkan tangannya dan mengusap pucuk kepala Exel dengan lembut. "Ayo mandi dulu, Sayang. Setelah i
Pagi di hari natal tahun ini, tidak seperti tahun natal kemarin-kemarin. Semua terasa hampa bagi Evan dan Elizabeth. Apalagi Elizabeth yang sekarang berdiam diri merenung sedih memikirkan putranya yang hilang. Bahkan semua orang di rumah itu, tidak ada yang menunjukkan ekspresi bahagianya. "Ini sudah minggu kedua, ke mana kau, Nak?" Arshen berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. "Exel, Cucuku..." Evan yang duduk di sofa, dia merangkul istrinya yang memeluk boneka koala milik Exel. Elizabeth benar-benar stress memikirkan putranya dan ia selalu menghabiskan hari-harinya dengan menangis dan melamun. Namun, wanita itu juga masih mengurus Pauline dengan baik. "Apa tidak ada kabar dari luar kota?" tanya Melodi pada Evan. "Tidak ada, Ma. Setelah natal, aku akan mencoba melakukan penelusuran lagi di Munich," ujar Evan dengan wajah lelah. "Mendengar dari salah satu mantan karyawan di butik Tania, wanita itu bilang Tania sering berhubungan dengan seseorang yang tinggal di Munich."
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Exel sudah bangun dari tidurnya yang lelap. Hari ini adalah tepat datangnya perayaan hari natal.Anak laki-laki itu perlahan melepaskan tangan Tania yang memeluknya. Ia menoleh ke belakang pada Tania yang memeluknya. Exel terdiam menatap wanita itu dengan lekat. Setiap hari, Tania sabar menjaga Exel sekalipun Exel kadang marah-marah, menuruti apapun yang Exel mau, dan dia selalu memeluk Exel setiap Exel tertidur. "Eumm ... Mama," lirih Exel sedih mengucapkan kata itu, nadanya pun sedikit ragu. Ia ingin menyentuh wajah Tania dengan jemarinya, namun Exel menarik kembali tangannya. 'Mamaku hanya Mama Elizabeth,' batin Exel menguatkan dirinya. Anak itu bergegas menyibakkan selimutnya dan turun dari atas ranjang. Exel berjalan membuka pintu balkon kamar itu dan berjalan keluar melihat seisi kota yang sangat meriah pagi ini. "Wahhh ... ramainya," lirih Exel berbinar-binar. "Bagus sekali..." Exel berdiri memperhatikan sekitar, banyak sekali anak-anak
Malam ini, Exel tidur ditemani Tania. Anak laki-laki itu sudah menolaknya, namun Tania tetap kukuh berkata ingin menjaganya. Bahkan Tania tidak memberikan ruang bagi Exel untuk bermain sendirian, hingga anak itu tidak punya kesempatan bebas. Tania kini menyelimuti Exel dengan hangat, berbaring di sampingnya dan bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan. "Dulu, saat Exel masih bayi, Papa membelikan kalung untuk kita berdua. Exel tahu, kan?" tanya Tania pada Exel. "Tahu," jawab Exel singkat dan malas. "Tapi saat itu Mama harus pergi karena Mama ingin melanjutkan belajar, dan—""Tidak usah bercerita. Aku sudah tahu semuanya." Exel membalikkan badannya menatap Tania. "Terima kasih sudah pergi, karena dengan Tante Jahat pergi, aku bisa mengenal Mama Elizabeth yang mau merawatku sejak aku masih bayi, mau menemaniku bermain, dan mau menjadi Mama yang baik untukku!" Exel menarik napasnya panjang dan cepat sebelum anak itu kembali memunggungi Tania dan menutup sekujur tubuhnya dengan se