Setelah beberapa hari, Exel dan Pauline pun masih sering bermain di bawah pengawasan Tania. Dan siang ini, tanpa sepengetahuan orang rumah, Tania mengajak Exel dan Pauline pergi ke sebuah cafe bersamanya, Tania cukup membelikan es krim dan makanan untuk Pauline dan Exel. "Tuan dan Nona kecil jangan nakal, ya ... Bibi mau berbincang dengan saudara Bibi dulu," ujar Tania menunjuk ke arah seorang laki-laki di sebuah tempat di dalam cafe teras. Dengan polosnya, kedua anak-anak manis itu pun menganggukkan kepalanya. "Iya Bibi." Barulah Tania berjalan mendekati laki-laki yang sudah membuat janji dengannya sejak beberapa hari yang lalu tersebut. Dan Pauline bersama Exel, keduanya saling berbincang sendiri. "Kakak, Bibi sudah bilang Mama kalau kita pergi jalan-jalan?" tanya Pauline sembari menikmati es krimnya. "Kenapa harus bilang Mama? Mama kan, sibuk terus. Kata Bibi Tania, Mama lupa waktu, lupa juga sama kita," jawab Exel dengan bibir cemberut. Pauline pun ikut cemberut dibuatnya
Kesedihan yang Elizabeth alami karena perubahan anaknya membuat wanita itu menjadi terus menerus gelisah. Elizabeth bercerita tentang kesedihannya pada Evan, dan suaminya meminta untuk melakukan pendekatan perlahan pada anak-anaknya lagi. Karena itu pagi ini Elizabeth mendatangi Pauline membujuk putrinya untuk ikut dengannya jalan-jalan. "Pauline mau ikut Mama, kan? Kita ke rumah Nenek lagi, Sayang," ujar Elizabeth sembari mengusap wajah Pauline yang terlihat malas saat dia baru saja bangun tidur. "Ke rumah Nenek?" Anak itu cemberut. "Iya. Kita belikan buah untuk Nenek, nanti main di rumah Nenek dengan Mama," jelas Elizabeth dengan bibir tersenyum. "Hari ini kan, Kakak Exel sekolah, jadi Pauline yang temani Mama." Evan yang berdiri di belakang Elizabeth, dia menatap lekat putri dan istriku. "Ikut Mama ya, Sayang ... Mama hari ini sudah libur dan tidak bekerja lagi," ujar Evan ikut membujuk putri kecilnya. "Iya, Pauline ikut Mama," jawab anak itu mengangguk patuh. Mendengar ja
Kejadian sore tadi membuat Elizabeth tidak bisa berpikir dengan tenang malam ini. Elizabeth juga terus terjaga, kepalanya pusing, dan ia banyak melamun. Evan memperhatikan istrinya yang kini duduk sendirian di balkon kamar."Sayang, cepatlah istirahat. Ini sudah malam," ucap Evan mendekatinya. Tidak ada jawaban apapun dari istrinya. Hal ini membuat Evan ikut merasakan kesedihan yang sama seperti yang Elizabeth rasakan. Evan pun duduk di samping Elizabeth dan merangkulnya sampai Elizabeth menangis dengan sendirinya dalam dekapan hangat yang Evan berikan. "Kenapa malah menangis, hem?" tanya Evan mengusap bagian belakang kepala Elizabeth. "Aku bingung ... aku bingung bagaimana aku menghadapi Exel? Dia anakku kan, Evan?" Elizabeth meremas punggung Evan dan menangis. "Iya Sayang, dia anak kita. Kita berdua juga tidak kurang-kurang membujuknya. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, saat aku menyelidiki hari-harinya, dia juga tampak biasa saja," ungkap Evan bercerita
Sejak pulang sekolah, Exel terus menerus lengket dengan Tania. Bahkan siang ini pun sama, mereka berdua tengah duduk bersama di teras samping. Anak itu menolak berbicang dengan Mamanya hingga dia ke mana-mana dengan Tania. Seperti sekarang ini, Exel melihat Elizabeth yang tengah bersama Pauline di dalam rumah. Mamanya itu, tengah mengajari adiknya membaca."Huuuhh..." Exel menyergah napasnya panjang tiba-tiba. "Kenapa, Tuan Kecil?" tanya Tania tersenyum manis menatapnya. "Tuan Kecil tidak mau bergabung dengan Mama di dalam sana?" Exel menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Mama hanya sayang pada Pauline saja, tidak denganku lagi, Bi," jawab anak itu. "Heemmm ... dari yang Bibi lihat memang seperti itu. Nyonya semakin hari sayangnya hanya pada Nona Kecil saja, sedangkan Tuan Kecil diasingkan. Apa yang membuat Nyonya seperti itu pada Tuan Kecil?" Tania menatap wajah Exel yang sedih, anak itu juga masih lekat menatap lurus ke arah Elizabeth dan Pauline di dalam rumah. Exel mencebikka
Setelah Exel tenang, Evan pun bergegas pergi untuk menemui Elizabeth di rumah lamanya. Evan menitipkan Exel pada Tania. Wanita itu menjaga Exel di dalam kamar dan setia duduk di samping Exel menemaninya. "Tuan Kecil yang sabar ya, Bibi tahu pasti Tuan Kecil sedih sekali sekarang ini ... bahkan Papanya Tuan Kecil sekarang pun lebih memilih mendatangi Mama dan Adik Pauline," ujar Tania mengusap-usap punggung Exel. "Tidak ada lagi yang sayang sama Exel, Bi," ujar anak itu dengan tangis sesenggukan. Tania menggelengkan kepalanya. "Jangan bicara seperti itu. Bibi sayang sekali dengan Tuan Kecil, Bibi sangat menyayangi Tuan Kecil..." Exel masih merengek dalam pelukannya. Suasana hati anak itu benar-benar kacau. Exel berbaring di atas ranjang dan memeluk lengan Tania. "Bibi Tania jangan ke mana-mana, di sini saja temani Exel, ya?" "Iya Tuan Kecil, jangan khawatir..." Exel memukul bantal di sampingnya dengan wajah memerah marah."Exel kesal sama Mama! Exel marah sama Mama!" seru anak
Tiga hari ini sangat melelahkan bagi Evan. Laki-laki itu harus mondar-mandir dari rumahnya, ke kantor, dan ke rumah istrinya. Apalagi istrinya sekarang sedang sakit setelah ribut dengan Exel kemarin. Malam ini Evan baru saja kembali dari rumah Elizabeth. Laki-laki itu mendapati putranya yang tengah duduk di sofa dan menonton acara kartun. "Exel..." Suara Evan memanggil sang putra. Anak itu menoleh dan menatapnya, tanpa mengatakan apapun. "Kau sudah makan malam?" tanya Evan pada putranya tersebut. Anak itu terdiam sejenak dan mengangguk. "Sudah. Exel sudah makan tadi." Evan merasa Exel sudah lebih baik. Mungkin kali ini Evan bisa mengajaknya berbincang pelan-pelan. Dan Evan pun memutuskan untuk duduk di samping Exel. Anak laki-lakinya itu sama sekali tidak bereaksi, dia masih asik dengan tontonan kartunnya. "Sayang, apa Exel nyaman dalam keadaan seperti ini?" tanya Evan menatap putranya tersebut.Exel mendongak menatapnya, sepertinya dia bingung ingin menjawab apa. "Exel benar
Kecurigaan Evan terhadap Tania semakin besar. Selama ini ia berusaha menepisnya karena perubahan sikap pembantunya itu menjadi lebih baik. Tapi kini … Evan tak yakin lagi. Ia ingin mengetahui semua yang terjadi di antara Exel dan pembantu itu saat Evan tidak di rumah. Apalagi setelah barusan Exel menolak bertemu Elizabeth dan mengatakan kalau Elizabeth bohong tentang sakitnya, hal ini membuat Evan merasa kesal. Dan ia harus melakukan sesuatu. Laki-laki itu berjalan ke lantai satu mencari satu pembantunya lagi."Bi..." Evan memanggil wanita tua yang tengah menyapu teras belakang itu. "Tuan Evan," lirih Bibi Lidia, wanita itu mendekati Evan. "Ya, Tuan? Apa Tuan butuh sesuatu?" Alih-alih menjawab, Evan justru menarik pelan lengan wanita itu dan mengajaknya untuk sedikit menjauh dari teras. Bibi Lidia terlihat bingung dengan apa yang Tuannya lakukan saat ini. "Tuan, ada apa?" tanya wanita itu. Evan menatapnya lekat. "Bi, aku butuh bantuan Bibi saat ini. Aku ingin Bibi mengawasi Tan
Setelah mengantarkan Exel pulang dan mengomelinya di jalan, Evan pun kembali pergi. Dia sangat khawatir dengan Elizabeth yang dia tinggalkan. Dan Exel kini hanya bersama dengan Tania. Anak itu cemberut setelah Papanya marah-marah. "Papa selalu saja membela Mama, padahal Mama itu jelas-jelas salah! Papa sebenarnya sayang atau tidak, denganku?" gerutu Exel duduk di sofa ruang keluarga. Di sampingnya ada Tania yang tengah menyuapinya makan siang. "Kalau misalkan sayang, tidak mungkin Mamanya Tuan Kecil akan melakukan hal ini pada Tuan Kecil, apalagi membuat Tuan Kecil sampai dimarahi sama Papa," sahut Tania mendengar gerutu Exel. "Iya, Bibi memang benar. Papa dan Mama itu sama-sama jahat! Tidak sayang sama Exel!" seru Exel memukul bantalan sofa di pangkuannya. Sedangkan Bibi Lidia, wanita yang tengah merapikan beberapa mainan Exel itu, langsung menoleh saat mendengar obrolan Tania dan Exel. "Tuan Kecil ... kalau Mama Tuan Kecil tidak sayang dengan Tuan Kecil, tidak mungkin Tuan Ke
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat