Kecurigaan Evan terhadap Tania semakin besar. Selama ini ia berusaha menepisnya karena perubahan sikap pembantunya itu menjadi lebih baik. Tapi kini … Evan tak yakin lagi. Ia ingin mengetahui semua yang terjadi di antara Exel dan pembantu itu saat Evan tidak di rumah. Apalagi setelah barusan Exel menolak bertemu Elizabeth dan mengatakan kalau Elizabeth bohong tentang sakitnya, hal ini membuat Evan merasa kesal. Dan ia harus melakukan sesuatu. Laki-laki itu berjalan ke lantai satu mencari satu pembantunya lagi."Bi..." Evan memanggil wanita tua yang tengah menyapu teras belakang itu. "Tuan Evan," lirih Bibi Lidia, wanita itu mendekati Evan. "Ya, Tuan? Apa Tuan butuh sesuatu?" Alih-alih menjawab, Evan justru menarik pelan lengan wanita itu dan mengajaknya untuk sedikit menjauh dari teras. Bibi Lidia terlihat bingung dengan apa yang Tuannya lakukan saat ini. "Tuan, ada apa?" tanya wanita itu. Evan menatapnya lekat. "Bi, aku butuh bantuan Bibi saat ini. Aku ingin Bibi mengawasi Tan
Setelah mengantarkan Exel pulang dan mengomelinya di jalan, Evan pun kembali pergi. Dia sangat khawatir dengan Elizabeth yang dia tinggalkan. Dan Exel kini hanya bersama dengan Tania. Anak itu cemberut setelah Papanya marah-marah. "Papa selalu saja membela Mama, padahal Mama itu jelas-jelas salah! Papa sebenarnya sayang atau tidak, denganku?" gerutu Exel duduk di sofa ruang keluarga. Di sampingnya ada Tania yang tengah menyuapinya makan siang. "Kalau misalkan sayang, tidak mungkin Mamanya Tuan Kecil akan melakukan hal ini pada Tuan Kecil, apalagi membuat Tuan Kecil sampai dimarahi sama Papa," sahut Tania mendengar gerutu Exel. "Iya, Bibi memang benar. Papa dan Mama itu sama-sama jahat! Tidak sayang sama Exel!" seru Exel memukul bantalan sofa di pangkuannya. Sedangkan Bibi Lidia, wanita yang tengah merapikan beberapa mainan Exel itu, langsung menoleh saat mendengar obrolan Tania dan Exel. "Tuan Kecil ... kalau Mama Tuan Kecil tidak sayang dengan Tuan Kecil, tidak mungkin Tuan Ke
Usai bertemu dan diusir oleh Exel di jalan beberapa menit yang lalu, Elizabeth pun kini datang ke kantor, tempat suaminya berada. Kedatangan Elizabeth yang tiba-tiba membuat Evan sedikit bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya datang tanpa mengabarinya lebih dulu?"Sayang, kenapa tidak mengabariku lebih dulu kalau ke sini?" tanya Evan beranjak dari duduknya saat Elizabeth baru saja masuk. Istrinya masih terdiam, sesekali dia mengusap pipinya yang masih basah. "Elizabeth..." Evan menyadarkan Elizabeth kini menangis. "Apa yang terjadi, hem?" Wanita itu menatapnya dengan lekat. "Aku akan kembali pulang ke rumah kita dan mengasuh anak-anak seperti kemarin-kemarin lagi," ujar Elizabeth tiba-tiba. “Aku sendiri yang akan menjaga Exel.”"Ya, tidak masalah. Tadinya aku juga ingin mengajakmu pulang," ujar Evan mengusap punggung kecil Elizabeth. "Kenapa? Apa yang membuatmu menangis seperti ini?" Elizabeth duduk bersama Pauline yang kini tertidur di sofa setelah Elizabeth rebahkan. Dengan
Setelah Elizabeth kembali ke rumah, di situlah Exel mulai gampang merasa kesal. Hidupnya mulai diatur-atur oleh Mama dan Papanya. Namun, kali ini ada yang berubah. Evan dan Elizabeth cukup lama membicarakan bagaimana menangani Exel saat ini, tanpa harus ada perselisihan. Elizabeth akan lebih posesif lagi pada Exel, bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Tania mendekati putranya.Seperti pagi ini, Elizabeth melihat Tania berada di dalam kamar Exel, dan jelas saja, Elizabeth segera menghampiri mereka. "Selamat pagi," sapa Elizabeth membuka pintu kamar. Tania dan Exel menoleh. Anak laki-laki itu menatapnya dengan tatapan tidak suka. Di situ, Elizabeth memperhatikan Tania yang langsung terdiam berdiri di dekat ranjang. "Tan, sudah aku bilang kan, padamu ... kau tidak perlu melayani dan membantu anakku bersiap karena kau bukan pengasuhnya. Sekarang tinggalkan Exel, dan pergilah ke dapur bantu Bibi Lidia menyiapkan sarapan," kata Elizabeth. "Tapi Nyonya, Tuan Kecil ingin bersiap ke
Usai Elizabeth mendapatkan laporan dari Bibi Lidia mengenai Tania yang kini mulai tidak fokus bekerja, Tania selalu nampak resah tiap kali melihat Exel bersama Elizabeth. Hal ini membuat Elizabeth senang. Dan, Elizabeth sore ini mencari Tania, karena ia ingin membicarakan sesuatu dengannya. Namun, belum sempat Elizabeth menemui wanita itu, justru ia menemukan Tania yang tengah berbincang di telepon dengan nada yang begitu terburu-buru dan cemas. "Aku tidak mau tahu! Bisa tidak bisa kau harus datang ke sini besok!" pekik Tania dengan suara kecil. "Ada sesuatu yang harus aku urus, jadi aku memintamu datang! Aku tunggu kedatanganmu besok!" Dari cara berbicaranya yang terburu-buru, hal ini membuat Elizabeth penasaran dengan Tania. Siapa yang sedang dia hubungi hingga terlihat sangat serius dan tidak biasa. 'Siapa yang dia hubungi dan dia minta untuk datang ke sini, bukannya dia dan adiknya juga masih satu kota ini?' batin Elizabeth bertanya-tanya. Sampai akhirnya, Elizabeth muncul s
Evan menceritakan pada Elizabeth tentang beberapa hal mengejutkan yang ia ketahui dari Tania sejak kemarin Evan mengikuti wanita itu. Elizabeth dan Evan semakin yakin untuk menjauhkan anak-anaknya dari Tania mulai sekarang. Meskipun hari ini, Exel mencari pembantu kesayangannya tersebut. "Bibi Tania ke mana, Pa? Kenapa mulai kemarin aku tidak melihatnya sama sekali?" tanya Exel menoleh sang Papa. Anak laki-laki itu berdiri di ambang pintu samping menatap ke arah paviliun Tania yang kini tertutup. "Dia pulang," jawab Evan santai. Exel kembali menoleh ke belakang pada Papanya yang duduk di sofa. Tiga hari ini Exel memang tidak diasuh Tania sama sekali. Segala hal yang dia lakukan selalu dibantu oleh Elizabeth. Meskipun kadang Exel masih meneriaki dan memarahi Mamanya tersebut. "Sayang, ayo bersiap ... ikut Mama pergi berbelanja. Nanti Exel yang temani adik," bujuk Elizabeth, wanita itu muncul dari belakang. Exel menatapnya dengan ekspresi datar. "Malas," jawab Exel merotasikan k
Hari libur yang Elizabeth berikan pada Tania telah usai. Pembantu muda itu kini sudah kembali lagi ke kediaman Elizabeth dan Evan. Seperti tak terjadi apapun, Elizabeth juga mencoba untuk bersikap biasa saja dengan Tania, bahkan kini Elizabeth mendatangi pembantu itu di dapur. "Tan, tolong ambil gelas teh yang ada di ruangan kerja suamiku," perintah Elizabeth pada pembantunya tersebut. "Baik Nyonya." Elizabeth pun kembali duduk di ruang tengah, ia sedang menemani Pauline yang sedang sibuk bermain. Anak itu sedang demam, hingga dia libur bersekolah sampai demamnya turun. Dari sana, Elizabeth memperhatikan Tania dan menatap punggung wanita itu dengan tatapan lekat. "Dia bahkan terlihat biasa-biasa saja, bagaimana bisa dia yang nampak lusuh memakai pakaian pengantar makanan hingga pingsan di tepi jalan, tetapi bisa tinggal di sebuah apartemen mewah. Lalu untuk apa semua sandiwaranya itu?" Elizabeth benar-benar merasa heran dengan seorang Tania, ia tak habis pikir Tania bisa sepert
Semilirnya angin malam berhembus menyapa Evan yang tengah duduk seorang diri di balkon kamarnya. Laki-laki itu menatap kalung yang kini ia pegang di tangan kanannya dan menatapnya dengan tatapan tajam sebelum Evan menggenggamnya. "Aku harus kembali memastikan satu hal," ucap Evan dengan suara lirih. Evan menyahut ponsel miliknya yang ia letakkan di atas meja kecil yang berada di sampingnya. Laki-laki itu menghubungi seseorang dan menunggu panggilannya di jawab selama beberapa detik. "Halo ... Jas, tolong periksakan kalung milik Exel yang berada di laci hitam bawah meja di ruangan pribadiku, apakah kalung Exel masih ada di sana atau tidak!" seru Evan pada Jasper, orang kepercayaannya yang menjaga rumah Evan selagi Evan ada di Berlin. "Baik Tuan, sebentar. Saya akan mengeceknya," jawab Jasper di balik panggilan tersebut. Cukup lama Evan menunggu Jasper. Hingga terdengar suara Jasper kembali menyahut di sambungan telfon kembali. "Tuan, saya menemukan kalungnya. Kalung emas dengan