Setelah pukul setengah sembilan pagi tepat, Evan sampai di kantornya. Banyak pekerjaan yang harus Evan selesaikan, namun karena pikirannya sedang kacau, dia menyerahkan sebagian tugasnya pada Asgar. Evan pun kini tengah berada di dalam sebuah ruangan pribadi miliknya. Laki-laki itu berdiri tegap menatap ke arah luar dinding kaca dengan satu tangannya membawa ponsel dan nampak menghubungi seseorang."Halo Pa..." "Halo Van, ada apa?" tanya Arshen di balik panggilan itu. "Pa, aku ingin meminta bantuan Papa untuk memastikan suatu hal.""Suatu hal?" Dari balik telfon, terdengar Arshen yang bertanya-tanya.Evan memejamkan kedua matanya dan laki-laki itu menyergah napasnya panjang. "Datanglah ke kantor polisi, lihatlah apakah Clarisa ada di sana, atau dia benar-benar sudah bebas," tegas Evan pada Papanya. "Apa maksudmu, Van?" Arshen terdengar kaget dan bingung."Aku tidak bisa bercerita panjang lebar sekarang, Pa. Aku hanya ingin Papa melakukan permintaanku pada Papa." "Baik, baik Van
Pertanyaan yang keluar dari bibir Exel, bersamaan dengan anak itu mengangkat kalung di tangannya, membuat Evan terkejut. Saat itu juga Evan melangkah mendekati anaknya yang masih lekat menatapnya penuh tanda tanya. "Pa..." Exel berkaca-kaca. "Exel kan sudah bilang, Exel tidak suka kalung itu!" Evan tidak menjawab, dia meraih kalung emas tersebut dari tangan putranya dan kembali meletakkannya di dalam laci."Papa kenapa diam?" Suara Exel terdengar bergetar.Evan paham, anaknya sangat membenci hal-hal yang berkaitan dengan Clarisa.Saat itu juga, Evan mencekal erat kedua pundak Exel hingga membuat Exel tersentak. Kedua sorot mata hitam Evan menelisik dalam-dalam wajah tampan mungil putranya.Keseriusan mengikat mereka dari pandangan mata yang saling bertemu. "Exel, mulai sekarang ... jauhi Bibi Tania!" ucap Evan lirih dan tegas. Kedua pupil mata cokelat Exel melebar seketika. Ucapan Papanya kali ini terdengar seperti sebuah peringatan penting yang harus dia patuhi. Ekor mata Exel
Malam ini Exel terlihat sedang sendirian di ruang keluarga. Bocah sembilan tahun itu terlihat asik dengan buku-buku baru yang Papanya belikan untuknya. Sedangkan Evan dan Elizabeth, tengah bersama Pauline di ruangan samping. Exel sengaja menyendiri karena anak itu ingin fokus dengan buku yang ia baca. Sampai tiba-tiba, seseorang meletakkan segelas susu di atas meja, di sampingnya. "Tuan Kecil, ini Bibi buatkan susu. Diminum selagi masih hangat," ujar Tania menatap Exel. Mendengar suara Tania, Exel langsung beranjak dan anak itu menatap waspada pada Tania dengan sorot mata takut. "A-aku akan minta dibuatkan susu oleh Mamaku. Bibi tidak usah buatkan aku susu lagi," jawab Exel menolak. Tania tampak bingung. "Tapi Tuan—""Tidak usah, ya tidak usah!" Exel nampak berdiri dengan pandangan was-was. Jemari tangannya meremas buku yang ia peluk sebelum anak itu berlari menjauh dan pergi. Dan Tania pun menatap Exel yang meninggalkannya bersama segelas susu vanila yang masih hangat di atas
Seolah tidak terjadi apapun dan tak mengetahui apapun. Evan bersikap seperti biasanya pagi ini. Laki-laki itu dengan sikapnya yang terlihat tenang, dia melangkah ke lantai satu berjalan dengan santai ke arah meja makan. "Selamat pagi," sapa Evan mendekati kedua buah hatinya. "Pagi, Papa..." Pauline dan Exel kompak menjawab. Anak-anak itu berebut pelukan Evan seperti biasa, mereka nampak cerah ceria pagi ini. "Pagi, Sayang," sapa Elizabeth, wanita cantik itu baru saja muncul dari arah dapur. "Oh, pagi juga, Sayang ... kau dari mana?" Evan merangkul pinggang Elizabeth saat wanita itu mendekat. "Aku membuatkan bekal untuk Exel. Dia ingin aku yang memasaknya," jawab Elizabeth. "Emm, baiklah." Evan menarik kursi dan meminta Elizabeth untuk duduk di sampingnya. Dari belakang, muncul Tania bersama Bibi Lidia yang kini menata hidangan sarapan untuk Evan dan keluarga kecilnya. Pagi ini, Evan sengaja ingin melakukan beberapa hal untuk melihat apakah rasa penasarann
Setelah beberapa hari Elizabeth merasakan perubahan sifat Evan yang membuatnya selalu bertanya-tanya. Tidak sekali dua kali Evan selalu mengincar Tania seolah musuh terbesar di dalam rumah. Elizabeth sampai tidak bisa merasa tenang memikirkannya. 'Aku sampai tidak bisa tidur karena terus memikirkan sikap Evan ... kenapa aku merasa dia tidak terbuka padaku, saat ini? Apa ada yang coba dia rahasiakan dariku?' batin Elizabeth pun bertanya-tanya. Wanita itu duduk di tepi ranjang dan mengusap wajahnya pelan. Elizabeth belum tidur hingga pukul dua belas malam, bahkan ia hanya berdua dengan Pauline di kamarnya, karena Evan harus menggarap cepat pekerjaannya untuk esok pagi. Suara gagang pintu kamar yang terbuka membuat Elizabeth menoleh cepat. Berdiri Evan di sana menatapnya dengan tatapan kaget. "Loh, kenapa belum tidur? Ini sudah tengah malam, Eli..." Evan meletakkan mentel hangatnya di sofa yang berada di kamarnya. Elizabeth hanya menggeleng pelan. "Aku tidak bisa tidur. Aku kepiki
Penerangan rumah megah Evan telah dimatikan malam ini. Namun, tak seorang pun tahu kalau Evan tengah bersama Jericho dan James di teras belakang. Mereka nampak mengawasi Tania yang berjalan mengendap-endap keluar dari dalam paviliunnya, dan berlari meninggalkan tempat itu. Setelah beberapa hari ini dia selalu terlihat gelisah, dan sudah beberapa hari ini pula Tania sering pergi diam-diam di malam hari. Evan menepuk pundak Jericho. "Ikuti dia ke manapun dia pergi, Jer!" seru Evan dengan suara lirih. "Baik Tuan, saya berangkat sekarang." Jericho langsung memakai mantel hitam dan topinya. Laki-laki itu berjalan melangkah meninggalkan pekarangan rumah dan mengejar Tania yang sudah keluar lebih dulu, entah ke mana wanita itu pergi. Sedangkan Evan, laki-laki itu kini bersama James. "Apa Tuan yakin, akan menggeledah paviliun Tania?" tanya James. "Ya, kau membawa kunci cadangannya, kan?" "Ya Tuan. Saya membawanya," jawab James. "Bagus." Dia laki-laki itu pun segera melangkah cepat k
Keesokan harinya, Elizabeth dan Evan kembali menjalani harinya seperti biasa. Sibuk dengan dengan pekerjaan, dan yang satu sibuk dengan anak-anak mereka.Pagi ini Exel terlihat lemas, dia malas pergi ke sekolah karena hari ini jadwal pelajaran matematika yang sangat banyak. Anak laki-laki itu duduk di kursi ruang makan, bersama adiknya yang asik sendiri di sampingnya. "Selamat pagi, Tuan dan Nona Kecil," sapa Tania, wanita itu meletakkan segelas susu di hadapan Exel dan Pauline. "Ini susunya, mumpung masih hangat, susu cokelat untuk Tuan Kecil." Exel tidak menjawab, anak itu melirik Tania dengan ekor matanya yang tajam. "Emm, apa Tuan Kecil menginginkan sesuatu lagi?" tanya Tania mengusap punggung kecil Exel. Anak laki-laki itu menatapnya lekat dengan pandangan mata dingin dan kedua alisnya yang tiba-tiba saja bertaut tajam. "Tidak. Bibi Tania mau sampai kapan berpura-pura di depanku?" tanya Exel tiba-tiba. Deg...Tania melebarkan kedua matanya seketika, mendengar apa yang haru
Setelah Elizabeth berhasil membuat Tania bertahan bekerja di rumahnya, wanita itu ingin mendekati Tania secara perlahan-lahan. Seperti sing ini, mereka berdua tengah berada di dapur dan sedang membuat kue kering untuk Pauline. "Tan, bila hari minggu kau pulang menjenguk ibumu, bagaimana kalau aku dan suamiku ikut? Aku juga ingin menjenguk dan bertemu dengan ibumu," ujar Elizabeth menatap Tania di sampingnya. Kegiatan Tania memotong buah-buahan kering pun terhenti, dia terlihat seperti sejenak diam berpikir.Elizabeth tersenyum meraih sebuah mangkuk kecil di hadapan Tania hingga sukses membuat lamunan Tania buyar. "Kita kan sudah kenal, kau juga sudah bekerja di sini cukup lama. Sesekali saja aku ingin tahu di mana rumahmu," imbuh Elizabeth melirik Tania. "Ti-tidak perlu Nyonya. Rumah saya sangat kecil, dan saya takut Nyonya tidak nyaman dengan rumah saya yang rasanya tidak pantas dikunjungi oleh Tuan dan Nyonya," jawab Tania, tentu saja dia beralasan. Elizabeth menyergah napasny
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat