Evan menceritakan pada Elizabeth tentang beberapa hal mengejutkan yang ia ketahui dari Tania sejak kemarin Evan mengikuti wanita itu. Elizabeth dan Evan semakin yakin untuk menjauhkan anak-anaknya dari Tania mulai sekarang. Meskipun hari ini, Exel mencari pembantu kesayangannya tersebut. "Bibi Tania ke mana, Pa? Kenapa mulai kemarin aku tidak melihatnya sama sekali?" tanya Exel menoleh sang Papa. Anak laki-laki itu berdiri di ambang pintu samping menatap ke arah paviliun Tania yang kini tertutup. "Dia pulang," jawab Evan santai. Exel kembali menoleh ke belakang pada Papanya yang duduk di sofa. Tiga hari ini Exel memang tidak diasuh Tania sama sekali. Segala hal yang dia lakukan selalu dibantu oleh Elizabeth. Meskipun kadang Exel masih meneriaki dan memarahi Mamanya tersebut. "Sayang, ayo bersiap ... ikut Mama pergi berbelanja. Nanti Exel yang temani adik," bujuk Elizabeth, wanita itu muncul dari belakang. Exel menatapnya dengan ekspresi datar. "Malas," jawab Exel merotasikan k
Hari libur yang Elizabeth berikan pada Tania telah usai. Pembantu muda itu kini sudah kembali lagi ke kediaman Elizabeth dan Evan. Seperti tak terjadi apapun, Elizabeth juga mencoba untuk bersikap biasa saja dengan Tania, bahkan kini Elizabeth mendatangi pembantu itu di dapur. "Tan, tolong ambil gelas teh yang ada di ruangan kerja suamiku," perintah Elizabeth pada pembantunya tersebut. "Baik Nyonya." Elizabeth pun kembali duduk di ruang tengah, ia sedang menemani Pauline yang sedang sibuk bermain. Anak itu sedang demam, hingga dia libur bersekolah sampai demamnya turun. Dari sana, Elizabeth memperhatikan Tania dan menatap punggung wanita itu dengan tatapan lekat. "Dia bahkan terlihat biasa-biasa saja, bagaimana bisa dia yang nampak lusuh memakai pakaian pengantar makanan hingga pingsan di tepi jalan, tetapi bisa tinggal di sebuah apartemen mewah. Lalu untuk apa semua sandiwaranya itu?" Elizabeth benar-benar merasa heran dengan seorang Tania, ia tak habis pikir Tania bisa sepert
Semilirnya angin malam berhembus menyapa Evan yang tengah duduk seorang diri di balkon kamarnya. Laki-laki itu menatap kalung yang kini ia pegang di tangan kanannya dan menatapnya dengan tatapan tajam sebelum Evan menggenggamnya. "Aku harus kembali memastikan satu hal," ucap Evan dengan suara lirih. Evan menyahut ponsel miliknya yang ia letakkan di atas meja kecil yang berada di sampingnya. Laki-laki itu menghubungi seseorang dan menunggu panggilannya di jawab selama beberapa detik. "Halo ... Jas, tolong periksakan kalung milik Exel yang berada di laci hitam bawah meja di ruangan pribadiku, apakah kalung Exel masih ada di sana atau tidak!" seru Evan pada Jasper, orang kepercayaannya yang menjaga rumah Evan selagi Evan ada di Berlin. "Baik Tuan, sebentar. Saya akan mengeceknya," jawab Jasper di balik panggilan tersebut. Cukup lama Evan menunggu Jasper. Hingga terdengar suara Jasper kembali menyahut di sambungan telfon kembali. "Tuan, saya menemukan kalungnya. Kalung emas dengan
Setelah pukul setengah sembilan pagi tepat, Evan sampai di kantornya. Banyak pekerjaan yang harus Evan selesaikan, namun karena pikirannya sedang kacau, dia menyerahkan sebagian tugasnya pada Asgar. Evan pun kini tengah berada di dalam sebuah ruangan pribadi miliknya. Laki-laki itu berdiri tegap menatap ke arah luar dinding kaca dengan satu tangannya membawa ponsel dan nampak menghubungi seseorang."Halo Pa..." "Halo Van, ada apa?" tanya Arshen di balik panggilan itu. "Pa, aku ingin meminta bantuan Papa untuk memastikan suatu hal.""Suatu hal?" Dari balik telfon, terdengar Arshen yang bertanya-tanya.Evan memejamkan kedua matanya dan laki-laki itu menyergah napasnya panjang. "Datanglah ke kantor polisi, lihatlah apakah Clarisa ada di sana, atau dia benar-benar sudah bebas," tegas Evan pada Papanya. "Apa maksudmu, Van?" Arshen terdengar kaget dan bingung."Aku tidak bisa bercerita panjang lebar sekarang, Pa. Aku hanya ingin Papa melakukan permintaanku pada Papa." "Baik, baik Van
Pertanyaan yang keluar dari bibir Exel, bersamaan dengan anak itu mengangkat kalung di tangannya, membuat Evan terkejut. Saat itu juga Evan melangkah mendekati anaknya yang masih lekat menatapnya penuh tanda tanya. "Pa..." Exel berkaca-kaca. "Exel kan sudah bilang, Exel tidak suka kalung itu!" Evan tidak menjawab, dia meraih kalung emas tersebut dari tangan putranya dan kembali meletakkannya di dalam laci."Papa kenapa diam?" Suara Exel terdengar bergetar.Evan paham, anaknya sangat membenci hal-hal yang berkaitan dengan Clarisa.Saat itu juga, Evan mencekal erat kedua pundak Exel hingga membuat Exel tersentak. Kedua sorot mata hitam Evan menelisik dalam-dalam wajah tampan mungil putranya.Keseriusan mengikat mereka dari pandangan mata yang saling bertemu. "Exel, mulai sekarang ... jauhi Bibi Tania!" ucap Evan lirih dan tegas. Kedua pupil mata cokelat Exel melebar seketika. Ucapan Papanya kali ini terdengar seperti sebuah peringatan penting yang harus dia patuhi. Ekor mata Exel
Malam ini Exel terlihat sedang sendirian di ruang keluarga. Bocah sembilan tahun itu terlihat asik dengan buku-buku baru yang Papanya belikan untuknya. Sedangkan Evan dan Elizabeth, tengah bersama Pauline di ruangan samping. Exel sengaja menyendiri karena anak itu ingin fokus dengan buku yang ia baca. Sampai tiba-tiba, seseorang meletakkan segelas susu di atas meja, di sampingnya. "Tuan Kecil, ini Bibi buatkan susu. Diminum selagi masih hangat," ujar Tania menatap Exel. Mendengar suara Tania, Exel langsung beranjak dan anak itu menatap waspada pada Tania dengan sorot mata takut. "A-aku akan minta dibuatkan susu oleh Mamaku. Bibi tidak usah buatkan aku susu lagi," jawab Exel menolak. Tania tampak bingung. "Tapi Tuan—""Tidak usah, ya tidak usah!" Exel nampak berdiri dengan pandangan was-was. Jemari tangannya meremas buku yang ia peluk sebelum anak itu berlari menjauh dan pergi. Dan Tania pun menatap Exel yang meninggalkannya bersama segelas susu vanila yang masih hangat di atas
Seolah tidak terjadi apapun dan tak mengetahui apapun. Evan bersikap seperti biasanya pagi ini. Laki-laki itu dengan sikapnya yang terlihat tenang, dia melangkah ke lantai satu berjalan dengan santai ke arah meja makan. "Selamat pagi," sapa Evan mendekati kedua buah hatinya. "Pagi, Papa..." Pauline dan Exel kompak menjawab. Anak-anak itu berebut pelukan Evan seperti biasa, mereka nampak cerah ceria pagi ini. "Pagi, Sayang," sapa Elizabeth, wanita cantik itu baru saja muncul dari arah dapur. "Oh, pagi juga, Sayang ... kau dari mana?" Evan merangkul pinggang Elizabeth saat wanita itu mendekat. "Aku membuatkan bekal untuk Exel. Dia ingin aku yang memasaknya," jawab Elizabeth. "Emm, baiklah." Evan menarik kursi dan meminta Elizabeth untuk duduk di sampingnya. Dari belakang, muncul Tania bersama Bibi Lidia yang kini menata hidangan sarapan untuk Evan dan keluarga kecilnya. Pagi ini, Evan sengaja ingin melakukan beberapa hal untuk melihat apakah rasa penasarann
Setelah beberapa hari Elizabeth merasakan perubahan sifat Evan yang membuatnya selalu bertanya-tanya. Tidak sekali dua kali Evan selalu mengincar Tania seolah musuh terbesar di dalam rumah. Elizabeth sampai tidak bisa merasa tenang memikirkannya. 'Aku sampai tidak bisa tidur karena terus memikirkan sikap Evan ... kenapa aku merasa dia tidak terbuka padaku, saat ini? Apa ada yang coba dia rahasiakan dariku?' batin Elizabeth pun bertanya-tanya. Wanita itu duduk di tepi ranjang dan mengusap wajahnya pelan. Elizabeth belum tidur hingga pukul dua belas malam, bahkan ia hanya berdua dengan Pauline di kamarnya, karena Evan harus menggarap cepat pekerjaannya untuk esok pagi. Suara gagang pintu kamar yang terbuka membuat Elizabeth menoleh cepat. Berdiri Evan di sana menatapnya dengan tatapan kaget. "Loh, kenapa belum tidur? Ini sudah tengah malam, Eli..." Evan meletakkan mentel hangatnya di sofa yang berada di kamarnya. Elizabeth hanya menggeleng pelan. "Aku tidak bisa tidur. Aku kepiki