Setelah mengantarkan Exel pulang dan mengomelinya di jalan, Evan pun kembali pergi. Dia sangat khawatir dengan Elizabeth yang dia tinggalkan. Dan Exel kini hanya bersama dengan Tania. Anak itu cemberut setelah Papanya marah-marah. "Papa selalu saja membela Mama, padahal Mama itu jelas-jelas salah! Papa sebenarnya sayang atau tidak, denganku?" gerutu Exel duduk di sofa ruang keluarga. Di sampingnya ada Tania yang tengah menyuapinya makan siang. "Kalau misalkan sayang, tidak mungkin Mamanya Tuan Kecil akan melakukan hal ini pada Tuan Kecil, apalagi membuat Tuan Kecil sampai dimarahi sama Papa," sahut Tania mendengar gerutu Exel. "Iya, Bibi memang benar. Papa dan Mama itu sama-sama jahat! Tidak sayang sama Exel!" seru Exel memukul bantalan sofa di pangkuannya. Sedangkan Bibi Lidia, wanita yang tengah merapikan beberapa mainan Exel itu, langsung menoleh saat mendengar obrolan Tania dan Exel. "Tuan Kecil ... kalau Mama Tuan Kecil tidak sayang dengan Tuan Kecil, tidak mungkin Tuan Ke
Usai bertemu dan diusir oleh Exel di jalan beberapa menit yang lalu, Elizabeth pun kini datang ke kantor, tempat suaminya berada. Kedatangan Elizabeth yang tiba-tiba membuat Evan sedikit bertanya-tanya, apa yang membuat istrinya datang tanpa mengabarinya lebih dulu?"Sayang, kenapa tidak mengabariku lebih dulu kalau ke sini?" tanya Evan beranjak dari duduknya saat Elizabeth baru saja masuk. Istrinya masih terdiam, sesekali dia mengusap pipinya yang masih basah. "Elizabeth..." Evan menyadarkan Elizabeth kini menangis. "Apa yang terjadi, hem?" Wanita itu menatapnya dengan lekat. "Aku akan kembali pulang ke rumah kita dan mengasuh anak-anak seperti kemarin-kemarin lagi," ujar Elizabeth tiba-tiba. “Aku sendiri yang akan menjaga Exel.”"Ya, tidak masalah. Tadinya aku juga ingin mengajakmu pulang," ujar Evan mengusap punggung kecil Elizabeth. "Kenapa? Apa yang membuatmu menangis seperti ini?" Elizabeth duduk bersama Pauline yang kini tertidur di sofa setelah Elizabeth rebahkan. Dengan
Setelah Elizabeth kembali ke rumah, di situlah Exel mulai gampang merasa kesal. Hidupnya mulai diatur-atur oleh Mama dan Papanya. Namun, kali ini ada yang berubah. Evan dan Elizabeth cukup lama membicarakan bagaimana menangani Exel saat ini, tanpa harus ada perselisihan. Elizabeth akan lebih posesif lagi pada Exel, bahkan tidak memberikan kesempatan untuk Tania mendekati putranya.Seperti pagi ini, Elizabeth melihat Tania berada di dalam kamar Exel, dan jelas saja, Elizabeth segera menghampiri mereka. "Selamat pagi," sapa Elizabeth membuka pintu kamar. Tania dan Exel menoleh. Anak laki-laki itu menatapnya dengan tatapan tidak suka. Di situ, Elizabeth memperhatikan Tania yang langsung terdiam berdiri di dekat ranjang. "Tan, sudah aku bilang kan, padamu ... kau tidak perlu melayani dan membantu anakku bersiap karena kau bukan pengasuhnya. Sekarang tinggalkan Exel, dan pergilah ke dapur bantu Bibi Lidia menyiapkan sarapan," kata Elizabeth. "Tapi Nyonya, Tuan Kecil ingin bersiap ke
Usai Elizabeth mendapatkan laporan dari Bibi Lidia mengenai Tania yang kini mulai tidak fokus bekerja, Tania selalu nampak resah tiap kali melihat Exel bersama Elizabeth. Hal ini membuat Elizabeth senang. Dan, Elizabeth sore ini mencari Tania, karena ia ingin membicarakan sesuatu dengannya. Namun, belum sempat Elizabeth menemui wanita itu, justru ia menemukan Tania yang tengah berbincang di telepon dengan nada yang begitu terburu-buru dan cemas. "Aku tidak mau tahu! Bisa tidak bisa kau harus datang ke sini besok!" pekik Tania dengan suara kecil. "Ada sesuatu yang harus aku urus, jadi aku memintamu datang! Aku tunggu kedatanganmu besok!" Dari cara berbicaranya yang terburu-buru, hal ini membuat Elizabeth penasaran dengan Tania. Siapa yang sedang dia hubungi hingga terlihat sangat serius dan tidak biasa. 'Siapa yang dia hubungi dan dia minta untuk datang ke sini, bukannya dia dan adiknya juga masih satu kota ini?' batin Elizabeth bertanya-tanya. Sampai akhirnya, Elizabeth muncul s
Evan menceritakan pada Elizabeth tentang beberapa hal mengejutkan yang ia ketahui dari Tania sejak kemarin Evan mengikuti wanita itu. Elizabeth dan Evan semakin yakin untuk menjauhkan anak-anaknya dari Tania mulai sekarang. Meskipun hari ini, Exel mencari pembantu kesayangannya tersebut. "Bibi Tania ke mana, Pa? Kenapa mulai kemarin aku tidak melihatnya sama sekali?" tanya Exel menoleh sang Papa. Anak laki-laki itu berdiri di ambang pintu samping menatap ke arah paviliun Tania yang kini tertutup. "Dia pulang," jawab Evan santai. Exel kembali menoleh ke belakang pada Papanya yang duduk di sofa. Tiga hari ini Exel memang tidak diasuh Tania sama sekali. Segala hal yang dia lakukan selalu dibantu oleh Elizabeth. Meskipun kadang Exel masih meneriaki dan memarahi Mamanya tersebut. "Sayang, ayo bersiap ... ikut Mama pergi berbelanja. Nanti Exel yang temani adik," bujuk Elizabeth, wanita itu muncul dari belakang. Exel menatapnya dengan ekspresi datar. "Malas," jawab Exel merotasikan k
Hari libur yang Elizabeth berikan pada Tania telah usai. Pembantu muda itu kini sudah kembali lagi ke kediaman Elizabeth dan Evan. Seperti tak terjadi apapun, Elizabeth juga mencoba untuk bersikap biasa saja dengan Tania, bahkan kini Elizabeth mendatangi pembantu itu di dapur. "Tan, tolong ambil gelas teh yang ada di ruangan kerja suamiku," perintah Elizabeth pada pembantunya tersebut. "Baik Nyonya." Elizabeth pun kembali duduk di ruang tengah, ia sedang menemani Pauline yang sedang sibuk bermain. Anak itu sedang demam, hingga dia libur bersekolah sampai demamnya turun. Dari sana, Elizabeth memperhatikan Tania dan menatap punggung wanita itu dengan tatapan lekat. "Dia bahkan terlihat biasa-biasa saja, bagaimana bisa dia yang nampak lusuh memakai pakaian pengantar makanan hingga pingsan di tepi jalan, tetapi bisa tinggal di sebuah apartemen mewah. Lalu untuk apa semua sandiwaranya itu?" Elizabeth benar-benar merasa heran dengan seorang Tania, ia tak habis pikir Tania bisa sepert
Semilirnya angin malam berhembus menyapa Evan yang tengah duduk seorang diri di balkon kamarnya. Laki-laki itu menatap kalung yang kini ia pegang di tangan kanannya dan menatapnya dengan tatapan tajam sebelum Evan menggenggamnya. "Aku harus kembali memastikan satu hal," ucap Evan dengan suara lirih. Evan menyahut ponsel miliknya yang ia letakkan di atas meja kecil yang berada di sampingnya. Laki-laki itu menghubungi seseorang dan menunggu panggilannya di jawab selama beberapa detik. "Halo ... Jas, tolong periksakan kalung milik Exel yang berada di laci hitam bawah meja di ruangan pribadiku, apakah kalung Exel masih ada di sana atau tidak!" seru Evan pada Jasper, orang kepercayaannya yang menjaga rumah Evan selagi Evan ada di Berlin. "Baik Tuan, sebentar. Saya akan mengeceknya," jawab Jasper di balik panggilan tersebut. Cukup lama Evan menunggu Jasper. Hingga terdengar suara Jasper kembali menyahut di sambungan telfon kembali. "Tuan, saya menemukan kalungnya. Kalung emas dengan
Setelah pukul setengah sembilan pagi tepat, Evan sampai di kantornya. Banyak pekerjaan yang harus Evan selesaikan, namun karena pikirannya sedang kacau, dia menyerahkan sebagian tugasnya pada Asgar. Evan pun kini tengah berada di dalam sebuah ruangan pribadi miliknya. Laki-laki itu berdiri tegap menatap ke arah luar dinding kaca dengan satu tangannya membawa ponsel dan nampak menghubungi seseorang."Halo Pa..." "Halo Van, ada apa?" tanya Arshen di balik panggilan itu. "Pa, aku ingin meminta bantuan Papa untuk memastikan suatu hal.""Suatu hal?" Dari balik telfon, terdengar Arshen yang bertanya-tanya.Evan memejamkan kedua matanya dan laki-laki itu menyergah napasnya panjang. "Datanglah ke kantor polisi, lihatlah apakah Clarisa ada di sana, atau dia benar-benar sudah bebas," tegas Evan pada Papanya. "Apa maksudmu, Van?" Arshen terdengar kaget dan bingung."Aku tidak bisa bercerita panjang lebar sekarang, Pa. Aku hanya ingin Papa melakukan permintaanku pada Papa." "Baik, baik Van
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja
Napas Pauline tercekat saat ia melihat sosok Xander berdiri di depannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Pauline. Belum lagi Alicia yang kini memeluk kaku Xander dan anak itu berisik terus meminta gendong. "Om, itu Mamaku, ayo ... Alicia mau gendong. Katanya kalau bertemu Alicia mau digendong lagi! Ayoo, gendong!" pekik Alicia berjinjit-jinjit mengulurkan tangannya pada Xander.Lamunan Xander buyar karena anak itu, ia menunduk dan tersenyum pada Alicia. "Iya, Sayang..." Xander langsung menggendong Alicia dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya sebelum ia berjalan mendekati Pauline yang masih diam membeku di tempatnya. Alicia tersenyum lebar memeluk leher Xander dan menyandarkan kepalanya di sana. "Om, Alicia kok tahu kalau Alicia di sini?" tanya anak itu. "Tentu saja Om tahu, Sayang," jawab Xander. Pauline mengerjapkan kedua matanya dan napasnya terengah tiba-tiba. Ia tercengang melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Sejak kapan Alicia dekat dengan Xand