Butuh waktu berjam-jam untuk Elizabeth dan Evan sampai di Koln. Mereka berdua tiba tepat pukul dua siang, dan Asgar yang mengemudikan mobil pun langsung menuju ke hotel tempat di mana Elizabeth dan Evan menginap. Hotel itu berada tidak jauh dari salah satu bangunan megah dengan Arsitektur Gotik yang sangat indah. Elizabeth pun sampai ternganga menatap Katedral Cologne yang berada di depan sana. "Woaahh ... indah sekali," ucap wanita itu tersenyum senang. "Meskipun aku bertahun-tahun tinggal di sini, tapi baru kali ini aku bisa melihat bangunan istimewa itu di depan mata kepalaku sendiri. Ya, walaupun jaraknya sedikit jauh dari hotel." Elizabeth tersenyum senang, ia menghirup udara segar dengan bebas di sana. Sebelum Evan melangkah ke arahnya sembari membawa segelas minuman yang sudah dia pesan dari luar sebelum mereka masuk. "Kau menyukainya?" tanya Evan ikut menatap ke arah pandang Elizabeth. "Heem. Aku sudah lama memimpikan ingin ke sini. Dulu aku hanya berencana terus dengan
Keesokan harinya, Elizabeth dan Evan pagi sudah berpakaian rapi dan bersiap. Mereka berdua pun kini berada di kediaman salah satu rekan Evan yang meminta Evan untuk datang ke kediamannya yang berada di Koln. Laki-laki itu adalah Jorce, dia pebisnis hebat yang telah berteman lama dengan Evan, bahkan mereka kenal sejak jaman kuliah. Hanya saja baru terhubung lagi setelah beberapa tahun ini. "Aku tidak menyangka kau benar-benar datang ke rumahku! Aku pikir kau hanya bercanda, Evander!" seru laki-laki itu dengan wajah berbunga-bunga. "Aku tidak mungkin berbohong bila aku benar-benar datang, Jorce!" seru Evan menjabat tangan temannya itu. Jorce pun membalasnya dengan tertawa, laki-laki yang menyambut kedatangan Evan dengan sangat senang hati. Bahkan sudah terlihat akrab seperti saudaranya sendiri. "Baiklah, mari ... silakan masuk," ajaknya pada Elizabeth dan Evan. Mereka berdua masuk ke dalam rumah yang memiliki arsitektur bagaikan istana, milik Jorce. Dan mereka melangkah ke arah ru
Elizabeth dan Evan memutuskan untuk mengakhiri liburannya dan pulang dengan buru-buru, setelah Elizabeth mendapatkan kabar dari Adelaide yang mengatakan ada masalah besar di butik. Ada beberapa berkas keuangan milik butik yang hilang, hingga hal ini membuat Elizabeth ikut merasakan kebingungan dan ia pun tidak langsung pulang ke rumah, melainkan meminta ditinggalkan di tempat kerjanya. Sedangkan Evan, laki-laki itu pulang sendirian ke rumahnya saat ini. Karena anak-anak sudah menunggu oleh-oleh yang dia bawakan. "Loh, Papa ... Mama mana? Kenapa Papa sendirian?" tanya Exel menatap sang Papa. "Mama tadi langsung Papa antar ke butik, Sayang. Ada urusan penting di butik Mama, jadi setelah ini Papa akan kembali menjemput Mama kalian," ujar Evan mengusap pucuk kepala anak-anaknya. "Hemmm ... padahal Pauline ingin memeluk Mama. Pauline kangen sama Mama, Pa!" protes si kecil yang kini mengulurkan kedua tangannya pada sang Papa. Evan dengan cepat menggendong putri cantiknya yang cemberut
Esok paginya, Elizabeth bersiap-siap pergi ke butik sejak awal pagi. Meskipun hari ini hari libur, namun masalah di butiknya yang cukup rumit membuat wanita itu ingin segera menyelesaikannya segera. Elizabeth kini mendekati dua anaknya yang sedang berada menonton kartun di ruang TV. "Sayang ... Exel, Pauline..." Elizabeth berjalan ke arah mereka. "Mama mau berangkat sekarang, ya?" tanya mereka berdua pada sang Mama. "Iya Sayang. Doakan semoga nanti pekerjaan Mama cepat selesai, biar Mama bisa bermain dengan kalian berdua, ya!" seru Elizabeth pada kedua anaknya. "Iya Mama." Pauline memeluknya sebentar. "Tapi Ma, ini kan hari minggu," cicit Exel mengerjapkan kedua matanya. Elizabeth tersenyum lembut. "Hanya minggu ini saja Mama ke butik, Sayang. Minggu besok sudah tidak lagi," jawab Elizabeth. Exel dan Pauline hanya diam patuh dan mereka tidak lagi bertanya ini dan itu. Apalagi nanti pun Mamanya juga pasti akan pulang. Elizabeth pun menoleh saat ada Tanja dia belakangnya yang k
Setelah beberapa hari, Exel dan Pauline pun masih sering bermain di bawah pengawasan Tania. Dan siang ini, tanpa sepengetahuan orang rumah, Tania mengajak Exel dan Pauline pergi ke sebuah cafe bersamanya, Tania cukup membelikan es krim dan makanan untuk Pauline dan Exel. "Tuan dan Nona kecil jangan nakal, ya ... Bibi mau berbincang dengan saudara Bibi dulu," ujar Tania menunjuk ke arah seorang laki-laki di sebuah tempat di dalam cafe teras. Dengan polosnya, kedua anak-anak manis itu pun menganggukkan kepalanya. "Iya Bibi." Barulah Tania berjalan mendekati laki-laki yang sudah membuat janji dengannya sejak beberapa hari yang lalu tersebut. Dan Pauline bersama Exel, keduanya saling berbincang sendiri. "Kakak, Bibi sudah bilang Mama kalau kita pergi jalan-jalan?" tanya Pauline sembari menikmati es krimnya. "Kenapa harus bilang Mama? Mama kan, sibuk terus. Kata Bibi Tania, Mama lupa waktu, lupa juga sama kita," jawab Exel dengan bibir cemberut. Pauline pun ikut cemberut dibuatnya
Kesedihan yang Elizabeth alami karena perubahan anaknya membuat wanita itu menjadi terus menerus gelisah. Elizabeth bercerita tentang kesedihannya pada Evan, dan suaminya meminta untuk melakukan pendekatan perlahan pada anak-anaknya lagi. Karena itu pagi ini Elizabeth mendatangi Pauline membujuk putrinya untuk ikut dengannya jalan-jalan. "Pauline mau ikut Mama, kan? Kita ke rumah Nenek lagi, Sayang," ujar Elizabeth sembari mengusap wajah Pauline yang terlihat malas saat dia baru saja bangun tidur. "Ke rumah Nenek?" Anak itu cemberut. "Iya. Kita belikan buah untuk Nenek, nanti main di rumah Nenek dengan Mama," jelas Elizabeth dengan bibir tersenyum. "Hari ini kan, Kakak Exel sekolah, jadi Pauline yang temani Mama." Evan yang berdiri di belakang Elizabeth, dia menatap lekat putri dan istriku. "Ikut Mama ya, Sayang ... Mama hari ini sudah libur dan tidak bekerja lagi," ujar Evan ikut membujuk putri kecilnya. "Iya, Pauline ikut Mama," jawab anak itu mengangguk patuh. Mendengar ja
Kejadian sore tadi membuat Elizabeth tidak bisa berpikir dengan tenang malam ini. Elizabeth juga terus terjaga, kepalanya pusing, dan ia banyak melamun. Evan memperhatikan istrinya yang kini duduk sendirian di balkon kamar."Sayang, cepatlah istirahat. Ini sudah malam," ucap Evan mendekatinya. Tidak ada jawaban apapun dari istrinya. Hal ini membuat Evan ikut merasakan kesedihan yang sama seperti yang Elizabeth rasakan. Evan pun duduk di samping Elizabeth dan merangkulnya sampai Elizabeth menangis dengan sendirinya dalam dekapan hangat yang Evan berikan. "Kenapa malah menangis, hem?" tanya Evan mengusap bagian belakang kepala Elizabeth. "Aku bingung ... aku bingung bagaimana aku menghadapi Exel? Dia anakku kan, Evan?" Elizabeth meremas punggung Evan dan menangis. "Iya Sayang, dia anak kita. Kita berdua juga tidak kurang-kurang membujuknya. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, saat aku menyelidiki hari-harinya, dia juga tampak biasa saja," ungkap Evan bercerita
Sejak pulang sekolah, Exel terus menerus lengket dengan Tania. Bahkan siang ini pun sama, mereka berdua tengah duduk bersama di teras samping. Anak itu menolak berbicang dengan Mamanya hingga dia ke mana-mana dengan Tania. Seperti sekarang ini, Exel melihat Elizabeth yang tengah bersama Pauline di dalam rumah. Mamanya itu, tengah mengajari adiknya membaca."Huuuhh..." Exel menyergah napasnya panjang tiba-tiba. "Kenapa, Tuan Kecil?" tanya Tania tersenyum manis menatapnya. "Tuan Kecil tidak mau bergabung dengan Mama di dalam sana?" Exel menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Mama hanya sayang pada Pauline saja, tidak denganku lagi, Bi," jawab anak itu. "Heemmm ... dari yang Bibi lihat memang seperti itu. Nyonya semakin hari sayangnya hanya pada Nona Kecil saja, sedangkan Tuan Kecil diasingkan. Apa yang membuat Nyonya seperti itu pada Tuan Kecil?" Tania menatap wajah Exel yang sedih, anak itu juga masih lekat menatap lurus ke arah Elizabeth dan Pauline di dalam rumah. Exel mencebikka
Satu minggu kemudian...Kondisi Hauri tampak sudah membaik hari demi hari, gadis itu bahkan kini tidak lagi mengeluhkan tentang sakitnya. Setiap hari, Hauri selalu sibuk dengan tugas-tugasnya. Apalagi gadis itu selalu menempatkan diri kalau dirinya kini menjadi istri untuk Exel. Dan Hauri selalu berusaha melayani suaminya dengan baik. Seperti pagi ini ia sibuk membuatkan sarapan untuk Exel karena pembantu mereka sedang sakit. "Selamat pagi, Sayang," sapa Exel, laki-laki tampan itu baru saja turun dari lantai dua. Hauri menoleh dan tersenyum manis. "Pagi juga, Sayang," sapanya dengan ramah seperti biasa. "Kau sedang memasak apa?" tanya Exel mendekat dan berdiri di belakangnya. "Aku hanya memasak menu kentang dan daging sapi, lalu aku akan membuatkan telur mata sapi untukmu," ujar Hauri tersenyum merekah. Laki-laki itu menatapnya lekat dan memeluk Hauri dari belakang meninggalkan satu kecupan di pipinya. "Terima kasih, Sayang. Aku akan menunggu masakanmu selesai," jawab laki-la
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merang
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g