Elize tadi sempat melihat Pauline berbincang dengan Evan di sebelahnya, meskipun tidak terlalu lama. Saat tadi Elize sibuk membahas tentang kerja sama dengan rekan kerjanya yang lain.Dan sekarang mereka baru saja kembali dari acara tersebut. Elize terus kepikiran apa saja yang tadi Evan tanyakan pada Pauline. "Sayang, ayo ganti baju dulu," bujuk Elize pada si kecil. Pauline yang berdiri di atas ranjang, anak itu langsung lompat turun. "Huplaahh...! Yeayy ... Pauline bisa lompat dari sini, Ma!" seru anak itu berbunga-bunga. "Jangan lompat-lompat dong Sayang. Nanti kalau jatuh, bagaimana?" tanya Elize mendudukkan Pauline di sofa dan mengganti bajunya dengan sweater berwarna putih dan celana panjang hangat. Elize menekuk kedua lututnya di hadapan Pauline dan menatap wajah putri kecilnya yang nampak berseri-seri. "Sayang, tadi Pauline sama Om bicara apa saja?" tanya Elize mulai bertanya pada Pauline. Anak itu tertunduk memainkan gambar di bajunya. "Banyak Mama. Om Baik tahu makan
Beberapa hari kemudian. Acara ulang tahun Pauline pun telah tiba. Elize menggelar acara tersebut di hotel berbintang milik keluarga Winston. Para tamu-tamu undangan pun datang di sana. Mulai dari anak-anak hingga orang-orang dewasa yang memiliki hubungan keluarga atau rekan baik dengan keluarga Winston. Nampak Pauline yang terlihat menggemaskan dengan balutan gaun berwarna biru langit. Anak cantik yang tengah bermain balon, dan Elize yang kini menggandengnya sembari menyapa para tamu. "Eumm ... mana Kakak? Kenapa belum datang?" gumam Pauline lirih dengan bibir mencebik. "Pauline, itu ada Grece temannya Pauline. Cepat sapa dia, Sayang," bujuk Elize pada buah hatinya. "Tidak mau. Pauline mau di sini saja," jawab anak itu. Pauline tetap setia berdiri di dekat pintu masuk sembari membawa tiga balon terbang di tangannya. Kedua mata indah anak itu terus tertuju ke arah luar dan raut wajahnya gelisah menanti-nanti. Elize yang memperhatikannya pun bingung dan bertanya-tanya. "Sayang
Di hari berikutnya, Pauline telah memiliki pengasuh baru yang diminta oleh Elize untuk menjaga anak kecil manis itu di rumah. Pengasuhnya masih muda, usianya masih berada di bawah Elize. Dia sangat baik, perhatian, dan Pauline juga menyukainya. "Aku akan berangkat ke butik sebentar lagi. Nanti kalau Pauline menangis dan susah menenangkannya, kau bisa menghubungiku ya, There," ujar Elize sembari memakai blazer merah maron miliknya. "Iya Nyonya," jawab gadis itu. Elize pun berjalan mendekati Pauline yang berada di teras berlarian bersama anjing kecilnya. "Sayang, Pauline...""Iya Mama!" Anak itu berlari ke arahnya dengan kedua tangan terlentang. Dia langsung memeluk Elize dan mengecup pipi sang Mama. Elize juga membalas kecupan bertubi-tubi di pipi buah hatinya ini. "Mama mau kerja dulu ya, Sayang ... nanti setelah makan siang, Mama pulang lagi," ujar Elize mengusap pipi gembil Pauline. "Nenek Bibi sama Nenek Buyut ke mana?" tanya Pauline. "Nenek Bibi kan harus ke toko bunga. N
Hari ini Daniel kembali ke Jerman. Kedatangannya sudah dinanti-nantikan oleh Pauline sejak kemarin. Daniel pun mengobati rasa rindu putrinya dengan mengajaknya bermain, jalan-jalan, dan saat ini ia bersama Elize dan Pauline berada di sebuah pusat perbelanjaan. "Pauline mau beli apa, Sayang? Mau boneka? Puzzle? Atau mau beli apa?" tawar Daniel pada dalam gendongannya itu. "Emmm ... Pauline mau beli boneka itu, Pa!" seru anak manis itu menunjuk ke arah sebuah toko mainan. "Ya ampun, Sayang, boneka Pauline di rumah sudah banyak!" seru Elize sembari mengusap pucuk kepala Pauline. Daniel pun tersenyum pada wanita cantik di sampingnya. "Tidak papa, ulang tahunnya kemarin aku juga belum memberikan hadiah untuknya, Elize," ujar Daniel. Laki-laki itu pun langsung berjalan masuk ke dalam sebuah toko boneka dan meminta Pauline untuk memilih mana boneka yang anaknya suka. Tentu saja Pauline banyak memilih dan banyak pula maunya. Daniel merasakan ada yang berbeda dengan Elize, dia sering
Setelah mengetahui semua kebenaran ini, Evan semakin yakin istrinya tidak meninggal. Evan pun kini tahu kalau Daniel ada di balik pelarian Elizabeth selama bertahun-tahun. Evan tidak tinggal diam. Ia meminta Jericho untuk mencari nomor telfon Daniel dan menghubunginya. Hingga kini mereka bertemu dengan Daniel di suatu tempat. "Ada perlu apa kau ingin bertemu denganku? Dan bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Daniel, dia menatap Evan dengan tatapan tenang."Tidak perlu basa-basi lagi, Niel!" jawab Evan dengan nada dingin dan emosi. Kening Daniel mengerut. "Apa maksudmu?"Evan mendekati Daniel dengan kedua tangan terkepal kuat seolah siap menerjangnya. "Berhenti berpura-pura seolah kau bodoh! Wanita bernama Elize yang bersamamu kemarin, adalah Elizabeth, istriku! Dan Pauline adalah darah dagingku! Iya kan?!" tekan Evan dengan bibirnya menipis marah. Alih-alih tersulut emosi, Daniel masih dengan wajah datar dan tenang seperti tak terjadi apapun. Laki-laki itu mengembuskan napasny
Keesokan harinya, Elize kembali pergi ke butik miliknya setelah Kimmy memberitahu kalau ada tamu yang ingin bertemu dengannya hari ini. Sesampainya di butik, Elize tidak menemukan Kimmy di sana. "Di mana Kimmy? Siapa tamu yang aku temui hari ini?" gumam Elize sembari melepaskan mantel tebal yang ia pakai. Wanita cantik dengan rambut terikat itu berjalan masuk ke dalam ruangan khusus di mana tamu menunggunya. Begitu Elize membuka pintu, hatinya seperti mencelos saat ia melihat siapa yang berada di sana, menatapnya dengan tatapan dingin. "Tuan Evan, selamat pagi," sapa Elize berjalan mendekatinya. Belum sempat Elize duduk, tiba-tiba Evan sudah lebih dulu berdiri di hadapannya. Elize merasa sangat-sangat takut begitu ditatap lekat oleh Evan sekarang. "Maaf, apa ada hal penting yang ingin Tuan bahas?" tanya Elize, mengalihkan tatapannya dan mengambil sebuah berkas miliknya di atas meja. "Berhentilah berpura-pura di hadapanku, Elizabeth!" Suara bariton dalam dan dingin milik Evan
Hari demi hari telah berganti, pagi ini Evan datang ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes DNA milik Pauline. Evan pun berada di dalam sebuah ruangan di mana dokter kini membacakan hasil pemeriksaan tersebut. "Bagaimana, dok?" tanya Evan saat dokter itu selesai membacanya. "Hasil pemeriksaan antara Pauline dan Tuan tertera sangat cocok, dan memiliki golongan darah yang sama," jawab dokter tersebut menatap Evan. Evan terpaku di tempatnya mendengar penjelasan yang dokter ucapkan mengenai tes DNA-nya dengan Pauline. Dada Evan seperti dihimpit batu besar. Dia tidak menyangka selama ini dirinya memiliki seorang putri yang tumbuh dan besarnya sama sekali tidak ia ketahui. Evan seketika dilingkupi perasaan bahagia yang tak terduga. "Artinya anak bernama Pauline ini, benar-benar anak saya, dok?!" Dokter pun mengangguk. "Benar, Tuan." Evan mengangguk cepat, ia meraih surat hasil tes DNA yang dokter berikan. "Baik dok, terima kasih untuk hasil tes ini. Kalau begitu ... saya permisi,"
Elizabeth menangis terduduk di lantai. Ia tidak bisa menahan rasa sakit dan amarah di dalam dadanya. Rasa sedih, takut, bingung, semuanya bercampur padu menjadi satu. Kebencian di hatinya pada Evan semakin menjadi-jadi. "Aku tidak butuh kehadiranmu lagi, Evan ... Demi Tuhan, aku dan putriku tidak membutuhkanmu lagi!" pekik Elizabeth menangis menundukkan kepalanya di lantai. Wanita itu menepuk-nepuk dadanya. Rasa sakit kejadian empat tahun lalu, mungkin akan dianggap sepele oleh orang yang tidak merasakannya. Tapi bagi Elizabeth, itu adalah luka terdalam yang sampai detik ini tidak ada obatnya. "Aku benci dia, Ya Tuhan ... aku benci dia!" Elizabeth yang menangis tersedu-sedu, hingga jatuh terduduk di lantai satu. Dia tidak tahu kalau keributannya dengan Evan sejak tadi dilihat oleh Pauline. Anak kecil itu berdiri di ujung atas tangga. Bocah dengan balutan sweater merah itu berjalan menuruni anak tangga sembari menyeret lengan boneka kecilnya. "Mama ... Mama kenapa?" tanya anak i