Di hari berikutnya, Pauline telah memiliki pengasuh baru yang diminta oleh Elize untuk menjaga anak kecil manis itu di rumah. Pengasuhnya masih muda, usianya masih berada di bawah Elize. Dia sangat baik, perhatian, dan Pauline juga menyukainya. "Aku akan berangkat ke butik sebentar lagi. Nanti kalau Pauline menangis dan susah menenangkannya, kau bisa menghubungiku ya, There," ujar Elize sembari memakai blazer merah maron miliknya. "Iya Nyonya," jawab gadis itu. Elize pun berjalan mendekati Pauline yang berada di teras berlarian bersama anjing kecilnya. "Sayang, Pauline...""Iya Mama!" Anak itu berlari ke arahnya dengan kedua tangan terlentang. Dia langsung memeluk Elize dan mengecup pipi sang Mama. Elize juga membalas kecupan bertubi-tubi di pipi buah hatinya ini. "Mama mau kerja dulu ya, Sayang ... nanti setelah makan siang, Mama pulang lagi," ujar Elize mengusap pipi gembil Pauline. "Nenek Bibi sama Nenek Buyut ke mana?" tanya Pauline. "Nenek Bibi kan harus ke toko bunga. N
Hari ini Daniel kembali ke Jerman. Kedatangannya sudah dinanti-nantikan oleh Pauline sejak kemarin. Daniel pun mengobati rasa rindu putrinya dengan mengajaknya bermain, jalan-jalan, dan saat ini ia bersama Elize dan Pauline berada di sebuah pusat perbelanjaan. "Pauline mau beli apa, Sayang? Mau boneka? Puzzle? Atau mau beli apa?" tawar Daniel pada dalam gendongannya itu. "Emmm ... Pauline mau beli boneka itu, Pa!" seru anak manis itu menunjuk ke arah sebuah toko mainan. "Ya ampun, Sayang, boneka Pauline di rumah sudah banyak!" seru Elize sembari mengusap pucuk kepala Pauline. Daniel pun tersenyum pada wanita cantik di sampingnya. "Tidak papa, ulang tahunnya kemarin aku juga belum memberikan hadiah untuknya, Elize," ujar Daniel. Laki-laki itu pun langsung berjalan masuk ke dalam sebuah toko boneka dan meminta Pauline untuk memilih mana boneka yang anaknya suka. Tentu saja Pauline banyak memilih dan banyak pula maunya. Daniel merasakan ada yang berbeda dengan Elize, dia sering
Setelah mengetahui semua kebenaran ini, Evan semakin yakin istrinya tidak meninggal. Evan pun kini tahu kalau Daniel ada di balik pelarian Elizabeth selama bertahun-tahun. Evan tidak tinggal diam. Ia meminta Jericho untuk mencari nomor telfon Daniel dan menghubunginya. Hingga kini mereka bertemu dengan Daniel di suatu tempat. "Ada perlu apa kau ingin bertemu denganku? Dan bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Daniel, dia menatap Evan dengan tatapan tenang."Tidak perlu basa-basi lagi, Niel!" jawab Evan dengan nada dingin dan emosi. Kening Daniel mengerut. "Apa maksudmu?"Evan mendekati Daniel dengan kedua tangan terkepal kuat seolah siap menerjangnya. "Berhenti berpura-pura seolah kau bodoh! Wanita bernama Elize yang bersamamu kemarin, adalah Elizabeth, istriku! Dan Pauline adalah darah dagingku! Iya kan?!" tekan Evan dengan bibirnya menipis marah. Alih-alih tersulut emosi, Daniel masih dengan wajah datar dan tenang seperti tak terjadi apapun. Laki-laki itu mengembuskan napasny
Keesokan harinya, Elize kembali pergi ke butik miliknya setelah Kimmy memberitahu kalau ada tamu yang ingin bertemu dengannya hari ini. Sesampainya di butik, Elize tidak menemukan Kimmy di sana. "Di mana Kimmy? Siapa tamu yang aku temui hari ini?" gumam Elize sembari melepaskan mantel tebal yang ia pakai. Wanita cantik dengan rambut terikat itu berjalan masuk ke dalam ruangan khusus di mana tamu menunggunya. Begitu Elize membuka pintu, hatinya seperti mencelos saat ia melihat siapa yang berada di sana, menatapnya dengan tatapan dingin. "Tuan Evan, selamat pagi," sapa Elize berjalan mendekatinya. Belum sempat Elize duduk, tiba-tiba Evan sudah lebih dulu berdiri di hadapannya. Elize merasa sangat-sangat takut begitu ditatap lekat oleh Evan sekarang. "Maaf, apa ada hal penting yang ingin Tuan bahas?" tanya Elize, mengalihkan tatapannya dan mengambil sebuah berkas miliknya di atas meja. "Berhentilah berpura-pura di hadapanku, Elizabeth!" Suara bariton dalam dan dingin milik Evan
Hari demi hari telah berganti, pagi ini Evan datang ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes DNA milik Pauline. Evan pun berada di dalam sebuah ruangan di mana dokter kini membacakan hasil pemeriksaan tersebut. "Bagaimana, dok?" tanya Evan saat dokter itu selesai membacanya. "Hasil pemeriksaan antara Pauline dan Tuan tertera sangat cocok, dan memiliki golongan darah yang sama," jawab dokter tersebut menatap Evan. Evan terpaku di tempatnya mendengar penjelasan yang dokter ucapkan mengenai tes DNA-nya dengan Pauline. Dada Evan seperti dihimpit batu besar. Dia tidak menyangka selama ini dirinya memiliki seorang putri yang tumbuh dan besarnya sama sekali tidak ia ketahui. Evan seketika dilingkupi perasaan bahagia yang tak terduga. "Artinya anak bernama Pauline ini, benar-benar anak saya, dok?!" Dokter pun mengangguk. "Benar, Tuan." Evan mengangguk cepat, ia meraih surat hasil tes DNA yang dokter berikan. "Baik dok, terima kasih untuk hasil tes ini. Kalau begitu ... saya permisi,"
Elizabeth menangis terduduk di lantai. Ia tidak bisa menahan rasa sakit dan amarah di dalam dadanya. Rasa sedih, takut, bingung, semuanya bercampur padu menjadi satu. Kebencian di hatinya pada Evan semakin menjadi-jadi. "Aku tidak butuh kehadiranmu lagi, Evan ... Demi Tuhan, aku dan putriku tidak membutuhkanmu lagi!" pekik Elizabeth menangis menundukkan kepalanya di lantai. Wanita itu menepuk-nepuk dadanya. Rasa sakit kejadian empat tahun lalu, mungkin akan dianggap sepele oleh orang yang tidak merasakannya. Tapi bagi Elizabeth, itu adalah luka terdalam yang sampai detik ini tidak ada obatnya. "Aku benci dia, Ya Tuhan ... aku benci dia!" Elizabeth yang menangis tersedu-sedu, hingga jatuh terduduk di lantai satu. Dia tidak tahu kalau keributannya dengan Evan sejak tadi dilihat oleh Pauline. Anak kecil itu berdiri di ujung atas tangga. Bocah dengan balutan sweater merah itu berjalan menuruni anak tangga sembari menyeret lengan boneka kecilnya. "Mama ... Mama kenapa?" tanya anak i
Satu minggu penuh Elizabeth tidak mengajak Pauline keluar rumah sama sekali. Kali ini ia benar-benar sangat ingin menghindari Evan, dari sudut mana pun. Namun, ternyata Pauline tidak betah dan anak itu merasa bosan terus menerus di dalam rumah, sehingga kini ia mengamuk dan berteriak marah-marah pada Elizabeth, meminta pergi jalan-jalan ke luar. "Ayo Ma ... Iiihh Mama lama-lama sekali! Pauline bosan di rumah, tahu! Pauline tidak suka di rumah!" teriak anak itu menggelegar di dalam rumah. "Sayang, ini sudah malam, Nak. Ini sudah jam setengah sembilan lebih," ujar Elizabeth pada si kecil. "Pokoknya Pauline mau jalan-jalan! Hihhh ... Mama kenapa nakal sekali! Pauline tidak sayang Mama lagi! Pauline tidak mau makan lagi pokoknya sampai besok!" Teriakan keras dari Pauline bersama dia yang berguling-guling di lantai menghentak-hentak kakinya. Elizabeth yang menemani anaknya yang sedang tantrum. Ia hanya bisa menunggu dan mengusap pucuk kepala Pauline berusaha agar anaknya kembali tena
Sementara Elizabeth, wanita itu kebingungan mencari Pauline ke mana-mana. Belum sampai lima menit dia meninggalkan anaknya hanya untuk memesan es krim, tapi Pauline sudah hilang entah ke mana!Elizabeth menangis dan berusaha menghubungi Daniel. Namun tidak bisa juga. Ia berjalan ke sana kemari mencari buah hatinya. "Di mana kau, Nak? Pauline...!" teriak Elizabeth. Wanita itu mengusap wajahnya frustrasi, menyadari kebodohannya. 'Tolong lindungi anakku, Ya Tuhan. Kumohon lindungi Pauline,' batin Elizabeth menangis. Elizabeth berjalan cukup jauh, dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Sampai akhirnya, wanita itu melihat beberapa orang di depan toko mainan, dan Elizabeth melihat sosok Pauline dalam gendongan seorang laki-laki yang mendekapnya erat. "Pauline," lirih Elizabeth dengan kedua matanya yang membola. "Ba-bagaimana bisa Pauline dengan Evan?!" Dengan langkah kakinya yang cepat, Elizabeth berjalan terburu-buru mendekati Evan dan Exel yang kini bersama Pauline duduk di sebuah bangku
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat