Clarisa menangis dan masih terus melawan. Dia tidak terima Evan menyeretnya sampai ke tempat yang paling Clarisa takuti ini. Wanita itu benar-benar menunjukkan sisi aslinya di depan Evan. "Awas kau, Evan! Lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan padamu!" teriak Clarisa hendak menyerang Evan. Namun, dua petugas langsung menarik lengan Clarisa saat itu juga. "Bawa dia ke belakang!" perintah seorang polisi bawa bawahannya. "Tidak! Aku tidak mau! Kalian berdua, lepaskan aku!" teriak Clarisa saat kedua tangannya dibekuk ke belakang dan diminta berdiri. Saat dipaksa untuk diajak berjalan ke belakang, tiba-tiba saja Clarisa menghentikan langkahnya. Ia berdiri dengan napas naik turun dan kedua matanya yang berkaca-kaca penuh amarah menatap Evan. Dia bahkan tidak beranjak saat dua petugas mencoba menariknya untuk ikut ke belakang. "Asal kau tahu, Evan! Bukan aku saja yang menginginkan kepergian Elizabeth! Tapi Mamamu juga! Mamamu itu jauh lebih buruk dariku di belakangmu!” pekik Cla
Hujan turun sangat deras siang ini dan mendung hitam menggantung mengerikan di langit membuat dunia terasa hitam dan gelap. Evan baru saja kembali dari kediaman Mamanya, laki-laki itu berjalan lemah masuk ke dalam ruangan milik Elizabeth. Di sana, Evan mengambil foto milik istrinya. Evan tertunduk dan dadanya nyeri hingga giginya bergemeletuk diiringi suara tangis. "Elizabeth..." Evan terjatuh dan terduduk di sana memeluk foto istrinya. "Maafkan aku, maafkan orang-orang di sekitarku yang menyakitimu... Elizabeth, kembalilah." Evan mendongakkan kepalanya dan merasakan betapa hangatnya air mata yang mengalir di pipinya. Air mata dengan seribu penyesalan dari hatinya yang paling dalam. "Kenapa kau pergi secepat ini, Elizabeth. Bahkan saat aku belum mengatakan kalau aku sangat mencintaimu! Aku sangat mencintaimu, Elizabeth... !" pekik Evan memukul lantai dengan kepalan tangannya.Teriakan keras Evan menggema di dalam ruangan itu bersahutan dengan suara guntur di langit.Bahkan di bal
Dua hari kemudian, Evan masih meminta Asgar untuk menjaga Exel dari jauh di setiap ke manapun anaknya itu melangkah. Bahkan saat di sekolahnya seperti saat ini. Jam sekolah telah habis, Exel berjalan ke depan dan menanti-nanti jemputannya. Anak itu tidak tahu bila dipantau oleh beberapa ajudan Papanya. Anak itu duduk di sebuah bangku, di depan gedung sekolahnya."Mana Paman Jericho?" gumam Exel sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. Di saat dia asik mengayun-ayunkan kedua kaki kecilnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Exel. Anak itu menatap seseorang laki-laki dengan balutan jaket denim yang kini berjalan ke arahnya. Kedua pupil mata Exel melebar. "Om kemarin!" "Hai anak manis, kau menunggu seseorang yang menjemputmu, ya?" tanya laki-laki itu. "Heem, iya. Exel sedang menunggu Paman Jericho!" jawab Exel dengan wajah sedihnya. Laki-laki itu berdehem pelan, dia menurunkan lagi topi hitamnya dan mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Exel. Mengetahui kalau anak di dep
Selama berhari-hari belum ada kabar mengenai orang yang disebut-sebut kekasih Clarisa, sekaligus orang yang melancarkan aksi jahat Clarisa dari belakang. Namun Evan akan terus mencarinya. Bahkan Evan juga meminta bantuan Patricia untuk memberikan alamat rumah, hingga apartemen milik Jeff—kekasih Clarisa yang tengah mereka selidiki. "Saya sudah mencari di rumah, dan juga di apartemennya, Tuan. Tapi tidak ada juga!" ujar Jericho mendengus pelan. Evan mengetukkan jemarinya di atas meja kayu. "Dia pasti tahu kalau dia sedang diburu sekarang ini. Karena penangkapannya gagal!" seru Evan menghela napasnya panjang. Setelah kejadian di sekolah Exel kemarin, anak buah Asgar tidak berhasil menangkap orang itu. Dia kabur dan keluar dari dalam mobil, berlari di tengah keramaian. "Tapi kau harus mendapatkannya, Evan. Setahuku, dia lebih berbahaya dari Clarisa!" sahut Patricia yang kini berdiri di samping Jericho. Evan melirik wanita itu. "Dan kau pasti tahu informasi lebih banyak tentang laki
Pagi-pagi sekali rumah Evan sudah kedatangan Papanya yang tampak gusar. Nampaknya Arshen datang dengan kekesalan yang besar hingga wajahnya memerah dan berkeringat. Evan yang kini melihat Papanya duduk di ruang keluarga di kediamannya sendirian, dia tengah memijit pelipisnya. "Ada apa, Pa?" tanya Evan mendekati sang Papa. Arshen menoleh dan berdecak kecil, dia kembali membuang muka. "Mamamu itu selama ini kurang ajar di belakang Papa!" seru Arshen dengan urat-urat di lehernya yang terlukis jelas. "Mamamu itu punya selingkuhan, Van!" Evan terdiam. Ternyata, Mamanya sudah mengaku pada Papanya. Arshen mendongakkan kepalanya menatap langit-langit ruangan itu. "Papa tidak memberikan dia kesempatan apapun untuk berbicara! Selama ini Papa berjuang ingin memakmurkan hidup Mamamu, tapi di belakang Papa dia punya selingkuhan!" ungkap Arshen. Kemarahan dan kekecewaan terpancar dari caranya berucap. "Pantas saja kemarin dia menangis-nangis entah kenapa, semalam dia mengaku pada Papa kalau
Keesokan paginya, Melody sudah bersiap pergi. Wanita itu membawa tas miliknya dan berjalan menuruni tangga menghampiri Evan yang hendak pergi. Evan menoleh menatapnya, namun dia tetap acuh tak acuh. "Evan, Mama pamit pergi ya. Mama akan mencari tempat tinggal sendiri," ujar Melody menatap putranya. Tidak ada jawaban dari Evan, laki-laki itu malah beranjak dan berjalan keluar dari dalam rumahnya tanpa berucap sepatah katapun. Laki-laki itu langsung berjalan masuk ke dalam mobilnya diikuti oleh Jericho yang kini duduk di depan bersama sopir. Mereka menatap Melody yang keluar dari dalam rumah membawa tas besarnya. "Tuan yakin membiarkan Nyonya Besar pergi?" tanya Jericho menoleh ke belakang pada Evan. "Heem, biarkan dia pergi. Perintahkan dua orangmu untuk terus mengawasinya dari jauh," perintah Evan. "Baik, Tuan." Mesin mobil hitam itu pun menyala dan berjalan melaju pergi. Evan membuka-buka sebuah berkas, dan ia juga mengecek jadwal kesibukannya hari ini. Sampai tib
Usai acara di sekolah Exel beberapa menit yang lalu, Evan membawa putra kesayangannya untuk ikut bersamanya ke kantor. Evan ingin menghabiskan banyak waktunya dengan si kecil. Exel pun terlihat sangat bahagia hari ini, karena untuk pertama kalinya sang Papa mau menemaninya dalam acara sekolah. "Papa tidak sibuk ya, sampai mau menemani Exel?" tanya anak itu menatap sang Papa. "Tidak Sayang, sekarang sesibuk apapun Papa, pasti Papa akan meluangkan waktu untuk Exel," jawab Evan. Exel berseri-seri mendengar jawaban Papanya, dia langsung memeluk Evan dengan erat dan kembali mulai banyak tanya seperti biasa. Sampai tiba-tiba suara getaran ponsel milik Jericho membuat ocehan Exel terhenti. Anak itu menatap ke depan. Jericho langsung menjawab panggilan dari Asgar. "Halo... Apa?! Kau sudah menemukan tempat tinggalnya? Di mana? Kirimkan alamatnya padaku sekarang juga!" seru Jericho pada Asgar di balik panggilan itu. Setelah itu, Jericho langsung menutup panggilannya. "Ada apa?" tanya E
Hari berjalan dengan cepat, hari ini tepat jadwal persidangan putusan masa hukuman Clarisa yang sudah dengan adil divonis oleh hakim. Namun, rasanya Evan tidak puas setelah mendengar keputusan hakim. Rasanya tak setimpal dan tak sebanding hukuman yang Clarisa terima dengan kematian Elizabeth. Saat persidangan selesai, Evan masih berada di sana dengan Papanya. "Padahal aku berharap dia dipenjara seumur hidup, Pa," ujar Evan dengan wajah tanpa ekspresi. Arshen mengusap pundak Evan. "Ini sudah menjadi keputusan yang adil, Evan. Kau harus menerimanya," jawab Arshen. Di saat yang bersamaan, semua wartawan di sana sibuk meliput berita tentang persidangan Clarisa. Namun, Evan segera beranjak pergi, dia tidak mau ditanya apapun. Evan setia tutup mulut, dan tidak mengatakan apapun, semuanya sudah Evan serahkan pada pengacaranya. "Tuan Evan..." Suara Jericho membuat Evan menoleh. Ajudannya itu berjalan cepat ke arahnya. "Tuan, Nona Clarisa ingin bertemu Tuan sebentar," ujar Jericho. E