Usai acara di sekolah Exel beberapa menit yang lalu, Evan membawa putra kesayangannya untuk ikut bersamanya ke kantor. Evan ingin menghabiskan banyak waktunya dengan si kecil. Exel pun terlihat sangat bahagia hari ini, karena untuk pertama kalinya sang Papa mau menemaninya dalam acara sekolah. "Papa tidak sibuk ya, sampai mau menemani Exel?" tanya anak itu menatap sang Papa. "Tidak Sayang, sekarang sesibuk apapun Papa, pasti Papa akan meluangkan waktu untuk Exel," jawab Evan. Exel berseri-seri mendengar jawaban Papanya, dia langsung memeluk Evan dengan erat dan kembali mulai banyak tanya seperti biasa. Sampai tiba-tiba suara getaran ponsel milik Jericho membuat ocehan Exel terhenti. Anak itu menatap ke depan. Jericho langsung menjawab panggilan dari Asgar. "Halo... Apa?! Kau sudah menemukan tempat tinggalnya? Di mana? Kirimkan alamatnya padaku sekarang juga!" seru Jericho pada Asgar di balik panggilan itu. Setelah itu, Jericho langsung menutup panggilannya. "Ada apa?" tanya E
Hari berjalan dengan cepat, hari ini tepat jadwal persidangan putusan masa hukuman Clarisa yang sudah dengan adil divonis oleh hakim. Namun, rasanya Evan tidak puas setelah mendengar keputusan hakim. Rasanya tak setimpal dan tak sebanding hukuman yang Clarisa terima dengan kematian Elizabeth. Saat persidangan selesai, Evan masih berada di sana dengan Papanya. "Padahal aku berharap dia dipenjara seumur hidup, Pa," ujar Evan dengan wajah tanpa ekspresi. Arshen mengusap pundak Evan. "Ini sudah menjadi keputusan yang adil, Evan. Kau harus menerimanya," jawab Arshen. Di saat yang bersamaan, semua wartawan di sana sibuk meliput berita tentang persidangan Clarisa. Namun, Evan segera beranjak pergi, dia tidak mau ditanya apapun. Evan setia tutup mulut, dan tidak mengatakan apapun, semuanya sudah Evan serahkan pada pengacaranya. "Tuan Evan..." Suara Jericho membuat Evan menoleh. Ajudannya itu berjalan cepat ke arahnya. "Tuan, Nona Clarisa ingin bertemu Tuan sebentar," ujar Jericho. E
Setelah melihat kondisi sang Mama yang menyedihkan di rumah sakit jiwa, Evan pun bergegas mendatangi rumah Papanya. Arshen bersama Evan duduk berdua di ruang keluarga yang berada di lantai satu. "Papa tahu tentang kondisi Mama?" tanya Evan menatap Papanya. Arshen duduk menyandarkan punggungnya dan diam menatap ke arah luar dari dinding kaca di depannya. "Tahu, Papa tahu dia sekarang berada di rumah sakit jiwa," jawab Arshen dengan tenang. "Apa yang akan Papa lakukan untuk itu, Pa? Mama menangis dan terus meminta maaf pada Elizabeth." "Itu adalah akibat dari apa yang telah dia lakukan, Van. Bukannya Papa setega itu pada Mamamu, tapi dia pantas mendapatkan apa yang telah dia lakukan," ungkap Arshen. Evan menganggukkan kepalanya paham. Dia pun awalnya juga tidak menyangka bila selama ini Mamanya memiliki sikap yang buruk pada Elizabeth. Bahkan Melody berhasil menghasut Evan untuk bersikap buruk Elizabeth di kala itu. Evan sangat kecewa dan menyesal bila dia mengingat masa-masa bu
EMPAT TAHUN KEMUDIAN...Berlin, Jerman. Seorang laki-laki berparas tampan nampak sangat berwibawa dengan balutan tuxedo hitamnya yang rapi. Evander Collin, laki-laki itu tengah berjalan masuk ke dalam mobilnya dan berbincang melalui panggilan ponsel. "Aku di sini hanya untuk beberapa hari saja. Tolong selesaikan semua berkas yang tertunda untuk pembahasan meeting besok, Jericho!" seru Evan pada Jericho di balik panggilan yang berlangsung. "Satu lagi, dua hari ke depan kau harus ke sini mengantarkan beberapa dokumen penting." Panggilan itu pun diputus oleh Evan setelah obrolan mereka selesai. Evan kembali menatap ke depan. Laki-laki itu kini berangkat untuk menghadiri sebuah pertemuan penting yang membahas tentang kerja sama bisnisnya di Jerman. Selama empat tahun ini, Evan menjalani kehidupannya dengan baik. Di tengah hari-harinya yang sibuk, Evan tidak melupakan waktunya untuk seseorang yang menjadi prioritas utamanya, yaitu putranya yang tampan, Exel. Selama beberapa tahun in
Wanita cantik itu menggendong anak perempuannya yang tengah menangis. Mereka baru saja keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Tangisan Pauline menggema di penjuru rumah megah berlantai dua tersebut. "Huwaa... Mama nakal! Ihhh, nakal sekali! Pauline tidak sayang sama Mama!" pekik anak perempuan berbalut dress biru muda itu memberontak hebat dalam gendongan sang Mama. "Besok-besok kalau Mama ada acara dengan teman Mama, Pauline tidak usah ikut. Di rumah saja dengan Nenek!" seru sang Mama menurunkannya di atas sofa. "Huhhh, Mama bad! Pauline mau sayang Nenek saja!" pekik anak itu turun dari sofa dan menghentak-hentak kakinya di lantai sambil terus menangis keras-keras. Sementara sang Mama langsung duduk di sofa dan membiarkan putrinya menangis untuk meredakan tantrumnya. Beginilah Pauline bila sudah kesal, dia akan mengamuk marah dan menjerit-jerit. Anak itu sangat nakal dan ada saja tingkahnya. "Lho, kenapa ngamuk, Sayang?" Suara seorang perempuan membuat Pauline menol
Keesokan harinya, Elize kembali mengadakan pertemuan dengan temannya di sebuah restoran mewah yang kemarin dia kunjungi. Elize juga masih mengajak Pauline yang kini duduk nyaman di pangkuannya, sibuk memakan puding stroberi yang dia minta. Anak itu sangat menyukai buah tersebut. Di sana, Elize tengah membahas proyek penting peragaan busana yang akan digelar minggu depan untuk promosi butiknya di musim dingin akhir tahun. "Nyonya Millicent sudah membuat beberapa gaya dan model desain untuk peragaan busana bulan depan. Dan aku sangat suka semua desainnya," ujar Elize pada dua temannya. "Benar Elize, meskipun dia sudah tua, tapi tidak bisa diragukan lagi soal seberapa bagus desain busana yang selalu dia ciptakan," sahut Camila, teman Elize yang kini menunjukkan beberapa macam desain pakaian yang dia bawa. "Baguslah. Aku rasa semua persiapannya sudah matang," balas Elize antusias. Di antara para wanita dewasa yang tengah sibuk itu, Pauline, bocah kecil dengan balutan dress kuning ce
Hari berikutnya, Evan masih berada di Jerman. Sejak bertemu dengan wanita yang begitu persis dengan Elizabeth, Evan pun mulai mencari tahu tentang wanita dan anak kecilnya itu. Dia mulai mendapatkan satu persatu informasi yang sangat mengejutkannya. "Namanya adalah Elize Bernadette. Dia berasal dari Jerman asli? Elize adalah seorang desainer dan pemilik butik terkondang di Berlin. Dia merupakan menantu keluarga Winston, istri dari putra bungsu Winston dan memiliki putri berusia tiga setengah tahun lebih, bernama Pauline Bernadette." Evan membaca selembar kertas yang ia dapatkan dari Jericho, yang sudah datang ke sini sejak kemarin. Dan sejak saat itu juga Evan memerintahkan untuk mencari tahu tentang sosok Elize Bernadette. "Wanita itu memang sangat mirip dengan mendiang Nyonya, Tuan. Tapi semua data dan informasi yang saya tahu dari kalangan masyarakat kelas atas, mereka hanya tahu hal ini saja," ujar Jericho menjelaskan. Evan menghela napasnya panjang dan mengingat wajah cantik
Setelah perbincangan tentang kerja sama mereka selesai, laki-laki bernama Evander Collin itu pun beranjak pergi. Elize masih berada di dalam ruangannya. Wanita itu duduk menarik napasnya beberapa kali, dia memegangi dadanya yang berdetak cepat. "Tidak mungkin," ucap wanita itu terduduk lemas. "Bagaimana bisa dia..." Elize memejamkan kedua matanya dan menyandarkan punggungnya di sofa. Pikirannya melanglang buana memikirkan banyak hal, termasuk proyek kerja sama mereka. "Kerja sama dengannya? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kalau aku menerimanya, aku dan dia akan terus terlibat. Kalau tidak, perkembangan butikku tidak akan berjalan cepat. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?" Elize mengusap wajahnya gelisah. Beberapa menit kemudian, wanita itu beranjak dari duduknya dan bergegas untuk pulang. Karena Pauline sudah menunggunya. Butuh beberapa menit perjalanan dari butik untuk sampai ke rumah. Sepanjang perjalanan, Elize hanya diam melamun. Pikirannya dipenuhi oleh banyak ha