Wanita cantik itu menggendong anak perempuannya yang tengah menangis. Mereka baru saja keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Tangisan Pauline menggema di penjuru rumah megah berlantai dua tersebut. "Huwaa... Mama nakal! Ihhh, nakal sekali! Pauline tidak sayang sama Mama!" pekik anak perempuan berbalut dress biru muda itu memberontak hebat dalam gendongan sang Mama. "Besok-besok kalau Mama ada acara dengan teman Mama, Pauline tidak usah ikut. Di rumah saja dengan Nenek!" seru sang Mama menurunkannya di atas sofa. "Huhhh, Mama bad! Pauline mau sayang Nenek saja!" pekik anak itu turun dari sofa dan menghentak-hentak kakinya di lantai sambil terus menangis keras-keras. Sementara sang Mama langsung duduk di sofa dan membiarkan putrinya menangis untuk meredakan tantrumnya. Beginilah Pauline bila sudah kesal, dia akan mengamuk marah dan menjerit-jerit. Anak itu sangat nakal dan ada saja tingkahnya. "Lho, kenapa ngamuk, Sayang?" Suara seorang perempuan membuat Pauline menol
Keesokan harinya, Elize kembali mengadakan pertemuan dengan temannya di sebuah restoran mewah yang kemarin dia kunjungi. Elize juga masih mengajak Pauline yang kini duduk nyaman di pangkuannya, sibuk memakan puding stroberi yang dia minta. Anak itu sangat menyukai buah tersebut. Di sana, Elize tengah membahas proyek penting peragaan busana yang akan digelar minggu depan untuk promosi butiknya di musim dingin akhir tahun. "Nyonya Millicent sudah membuat beberapa gaya dan model desain untuk peragaan busana bulan depan. Dan aku sangat suka semua desainnya," ujar Elize pada dua temannya. "Benar Elize, meskipun dia sudah tua, tapi tidak bisa diragukan lagi soal seberapa bagus desain busana yang selalu dia ciptakan," sahut Camila, teman Elize yang kini menunjukkan beberapa macam desain pakaian yang dia bawa. "Baguslah. Aku rasa semua persiapannya sudah matang," balas Elize antusias. Di antara para wanita dewasa yang tengah sibuk itu, Pauline, bocah kecil dengan balutan dress kuning ce
Hari berikutnya, Evan masih berada di Jerman. Sejak bertemu dengan wanita yang begitu persis dengan Elizabeth, Evan pun mulai mencari tahu tentang wanita dan anak kecilnya itu. Dia mulai mendapatkan satu persatu informasi yang sangat mengejutkannya. "Namanya adalah Elize Bernadette. Dia berasal dari Jerman asli? Elize adalah seorang desainer dan pemilik butik terkondang di Berlin. Dia merupakan menantu keluarga Winston, istri dari putra bungsu Winston dan memiliki putri berusia tiga setengah tahun lebih, bernama Pauline Bernadette." Evan membaca selembar kertas yang ia dapatkan dari Jericho, yang sudah datang ke sini sejak kemarin. Dan sejak saat itu juga Evan memerintahkan untuk mencari tahu tentang sosok Elize Bernadette. "Wanita itu memang sangat mirip dengan mendiang Nyonya, Tuan. Tapi semua data dan informasi yang saya tahu dari kalangan masyarakat kelas atas, mereka hanya tahu hal ini saja," ujar Jericho menjelaskan. Evan menghela napasnya panjang dan mengingat wajah cantik
Setelah perbincangan tentang kerja sama mereka selesai, laki-laki bernama Evander Collin itu pun beranjak pergi. Elize masih berada di dalam ruangannya. Wanita itu duduk menarik napasnya beberapa kali, dia memegangi dadanya yang berdetak cepat. "Tidak mungkin," ucap wanita itu terduduk lemas. "Bagaimana bisa dia..." Elize memejamkan kedua matanya dan menyandarkan punggungnya di sofa. Pikirannya melanglang buana memikirkan banyak hal, termasuk proyek kerja sama mereka. "Kerja sama dengannya? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kalau aku menerimanya, aku dan dia akan terus terlibat. Kalau tidak, perkembangan butikku tidak akan berjalan cepat. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?" Elize mengusap wajahnya gelisah. Beberapa menit kemudian, wanita itu beranjak dari duduknya dan bergegas untuk pulang. Karena Pauline sudah menunggunya. Butuh beberapa menit perjalanan dari butik untuk sampai ke rumah. Sepanjang perjalanan, Elize hanya diam melamun. Pikirannya dipenuhi oleh banyak ha
Libur akhir tahun telah tiba. Evan meminta Jericho kembali ke Prancis untuk menjemput Exel dan mengajaknya untuk liburan bersama di Jerman. Setelah Evan memutuskan untuk membangun bisnis di sana, ia pun mungkin juga akan membutuhkan banyak waktu untuk menetap di negara itu, dan tentunya juga bersama anak kesayangannya, Exel. Anak itu kini sudah berada di sana bersama Evan, mereka sedang bersiap untuk pergi jalan-jalan. "Katanya Papa di sini cuma satu minggu, kok Paman Jericho bilang Papa bisa di sini lebih dari satu bulan sih, Pa!" protes bocah delapan tahun itu dengan wajah masam. Evan menoleh, ia mengusap pucuk kepala sang putra. "Karena ada urusan penting yang harus Papa selesaikan, Sayang." "Hemm, terus Exel ditinggal sendirian di rumah?" "Tidak, Exel di sini dengan Papa. Mana mungkin Papa tega meninggalkanmu, Exel." Evan membalasnya. Sudah tidak kaget lagi ia dengan protes dan rajukan yang selalu Exel lontarkan padanya. Anak laki-lakinya itu sudah berusia delapan tahun le
Exel pulang dengan tangan kosong, anak laki-laki itu menangis di sepanjang perjalanan. Bahkan saat sampai di rumahnya, Exel masih terus kesal Evan dan berteriak-teriak marah padanya. "Sudah sayang. Tenang," bisik Evan mengusap pucuk kepala Exel. Anak laki-lakinya duduk di sofa dan menangis memeluk bantalan boneka koala miliknya. "Ini semua salah Papa! Harusnya Papa berhentikan Mama, Pa!" pekik Exel memukul lengan Evan dengan tangan kecilnya. "Exel, Papa minta maaf, Sayang," ucap Evan menarik tubuh kecil Exel ke dalam pelukannya. Anak itu masih terus menangis hingga sesenggukan. Dia meremas punggung Evan. "Papa ... Exel itu kangen Mama, tahu! Exel ingin bertemu Mama, tapi ... tapi tadi Papa tidak menghentikan Mama, kenapa? Exel mau dipeluk Mama lagi, Pa!" seru anak laki-laki itu masih dengan air matanya yang terus mengalir dan napasnya yang putus-putus. Evan merasakan seisi hatinya seperti ditusuk duri merasakan kesedihan yang dirasakan oleh putranya saat ini. Andaikan Elize a
Elize sempat tercenung sebentar mendengar permintaan Exel yang membuat hatinya terenyuh. Jika terus seperti ini, lambat laun ia pasti akan mudah luluh. Tapi melihat wajah pias Exel yang penuh harap, Elize tak mampu menolak. ‘Sekali ini saja,’ batinnya. Ia mengulurkan kedua tangannya. "Boleh, Nak. Kemarilah ..." Exel langsung maju satu langkah dan berhambur dalam pelukan Elize yang hangat. Dapat Elize rasakan betapa kuatnya Exel memeluknya saat ini. Dengan sangat erat dia meremas punggung Elize dan pundak kecilnya bergetar."Exel rindu Mamanya Exel, Tante," bisik anak itu. "Kalau misalkan kita sering bertemu, Tante tidak keberatan, kan?" Elize tidak langsung menjawab. Jika ia sering bertemu dengan Exel, maka itu hanya akan memberatkannya. Ia lantas menggelengkan kepalanya sambil memaksakan seulas senyum."Tante tidak bisa berjanji, ya. Karena Tante juga harus bekerja.”Exel tampak sedih mendengarnya. Namun, ia tidak bisa memaksa. "Begitu ya, Tante ..." Elize merasa kesedihan yang
Setelah kemarin Evan melihat Exel yang dipeluk erat oleh Elize, ia merasakan perubahan pada Exel. Anak itu kini bermain di ruang tengah rumahnya ditemani James yang duduk di sampingnya. Evan kini memperhatikan putranya dari kejauhan.'Exel pasti merasa senang bisa bertemu dan dipeluk oleh Elize,' batin laki-laki itu. 'Dia langsung ceria dan menceritakan tentang Elize dan Pauline pada James dan Jericho.' Sesuatu tiba-tiba terlintas dalam benak Evan. Laki-laki itu diam dan nampak berpikir. "Exel dan Pauline ... aku bisa menjadikan mereka berdua sarana untuk mendekati Elize," gumam lirih Evan berencana. "Dengan begitu, aku bisa mencari tahu siapa wanita itu sesungguhnya." "Papa ..." Suara Exel membuyarkan lamunan Evan seketika. Anak laki-lakinya itu berjalan mendekat dan membawa beberapa sebuah box puzzle di tangannya. "Ada apa, Sayang?" Evan langsung menarik pelan lengan Exel hingga putranya langsung duduk di pangkuannya. "Papa, Exel mau main lagi sama anak nakal kemarin," ujar
Sesampainya di kantor, semua orang terkejut melihat kedatangan Exel saat ini bersama seorang gadis yang tak lain adalah calon istrinya. Hauri langsung turun dari dalam mobil, gadis itu menatap sekitar di mana semua karyawan di kantor menatapnya dengan tatapan ramah. "Selamat siang, Pak ... selamat siang, Nona Hauri," sapa salah satu karyawan yang datang menyambut mereka. "Selamat siang," balas Hauri dengan ramah. Exel langsung dihampiri oleh Lafenia yang baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan. "Pak Exel..." Lafenia mendekat membawa sebuah map berkas. Exel menoleh dan melihat gadis itu menghampirinya. "Di mana Tuan Gamaliel?" tanya Exel. "Ada di dalam ruangan tamu. Saya sudah meminta orang-orang menyiapkan beberapa minuman untuk tamu kita. Pak Gamaliel bersama dengan keponakannya yang seusia Bapak, dia pengusaha sukses juga," ujar Lafenia menjelaskan."Oke. Kita ke sana sekarang," ujar Exel.Saat laki-laki itu hendak berjalan, Exel menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh m
Hauri terlelap dalam pelukan Exel pagi ini. Dengan cahaya matahari yang hangat menyinarinya begitu sempurna, tampak Hauri terlihat sangat nyaman dan menikmati. Gadis ini selalu menggigil di saat-saat tertentu, hingga Elizabeth berpesan pada Exel untuk berangkat ke kantor lebih Awal, menyelesaikan meeting pagi, lalu pulang untuk mengajak Hauri menghangatkan badannya di bawah sinar matahari. "Apa dia tidak kepanasan?" gumam Exel lirih. Ia mengusap pipi Hauri yang terasa hangat. Namun dia terlihat begitu nyaman bahkan tidak merasa kepanasan. "Sayang, apa sudah cukup hangat?" tanya Exel berbisik. Hauri mengeratkan pelukannya dan menarik napasnya panjang. "Sudah, tapi aku tidak bisa membuka mataku. Aku sangat mengantuk sekali, Exel," bisik Hauri lirih. "Tutup saja matamu. Aku akan menggendongmu ke rumah," ujar Exel. Laki-laki itu tanpa berkomentar ini dan itu. Exel langsung mengangkat tubuh kecil Hauri dan membawanya masuk ke dalam rumah. Exel juga tampak biasa dan ia tidak pernah
Perkataan Pauline tadi sungguh mengusik benak Hauri kalau Exel benar-benar ingin mengajaknya menikah. Sungguh, Hauri memikirkan apakah laki-laki itu tidak menyesal nantinya? Bagaimana bila hal yang tidak-tidak terjadi? Memikirkan hal itu, Hauri tidak sadar ia melamun duduk di depan jendela kamar Exel sambil menyelimuti pundaknya dengan sebuah selendang dari kain flanel. "Sayang..." Suara Exel bersamaan dengan pintu terbuka, laki-laki itu menatap ke arah Hauri yang kini tampak terkejut dengan kedatangannya. Hauri tersenyum begitu hangat. "Hai," sapanya lembut. "Ada apa? Bukannya kau pergi ke kantor, ya?"Exel berjalan mendekat, laki-laki itu menekuk kedua lututnya di hadapan Hauri. Manik mata cokelat milik Exel menelisik wajah ayu Hauri yang tampak pucat. "Aku hanya meeting saja. Itu pun sudah selesai," jawabnya. "Aku ingin cepat pulang saja, rasanya ... apa mungkin karena aku selalu merindukanmu, Sayang?" Mendengar hal itu, Hauri memukul pelan lengan Exel dan terkekeh. Exel me
Exel menemui Dokter William pagi ini. Pada dokter itu ia menyampaikan kalau Hauri ingin segera pulang. Dokter William pun segera mengecek kondisi Hauri. Gadis itu benar-benar ingin terlihat kuat dan baik-baik saja pada dirinya. "Nona Hauri yakin ingin segera pulang? Pasalnya tiga hari lagi harus ke sini lagi untuk kembali terapi," ujar dokter menatap Hauri lekat-lekat. "Iya dok, saya ingin pulang," putus Hauri dengan sangat yakin. "Baiklah kalau begitu. Tidak papa pulang hari ini, tapi tolong dijaga kesehatan dan jam istirahat yang cukup, ya," ujar Dokter William. "Pasti, dok." Hauri merasa senang setelah dirinya mendapat izin pulang dari dokter. Hauri sudah teramat jenuh berada di tempat itu, ia ingin segera pulang hari ini. Dokter William memanggil suster untuk mengurus kepulangan Hauri hari ini. Sementara Exel merapikan barang-barang milik Hauri. "Kita akan pulang dengan Paman James," ujar Exel pada Hauri. "Heem. Sesampainya di rumah, aku ingin duduk bersama Mama," ujar Ha
Hari sudah gelap, Exel berjalan sendirian di lorong rumah sakit. Laki-laki itu baru saja kembali dari kantornya malam ini. Setelah sore tadi Mamanya bilang akan pulang pukul tujuh malam, Exel pun tiba saat Mamanya baru saja bertemu dengannya di luar. Ia membawa sebuah buket bunga mawar merah untuk Hauri. Sejak siang, Exel tidak sabar ingin segera bertemu dengan gadis itu. Exel membuka pintu kamar rawat inap Hauri perlahan-lahan, di sana Hauri tampak langsung menatapnya. "Exel..," sapanya lirih. "Hai, Sayang. Selamat malam," balas Exel, ia tersenyum manis pada gadis itu. "Aku membelikan buket bunga untukmu. Kau bilang kau ingin bunga mawar," ujarnya. "Heem, terima kasih," ucap Hauri lirih. "Sama-sama." Exel mengecup pipi Hauri. Hauri menatap senang buket bunga yang Exel bawakan untuknya. Ia menghidu aroma wangi mawar merah itu dan menoleh pada Exel yang sedang melepaskan tuxedo hitamnya. "Exel, berapa lama lagi aku akan dirawat di sini?" tanya Hauri. "Aku sangat bosan. Aku tid
Setelah sempat drop untuk kedua kalinya dia hari ini, Hauri benar-benar lemah. Bahkan ia banyak melamun dan diam saja sekalipun Elizabeth menjaganya seperti siang ini. Exel bercerita kalau Hauri sangat murung sejak dia kambuh terakhir kemarin. Hingga Elizabeth berniat mulai menjaga gadis itu."Sayang, Mama bawakan buah blueberry untuk Hauri. Kata Dokter William, buah blueberry ini sangat bagus untuk kesehatanmu, Nak," ujar Elizabeth membuka sebuah kotak makanan berukuran kecil. "Mama beli di mana? Segar-segar sekali seperti baru dipetik," ujar Hauri berbinar-binar. "Tidak tahu Paman James. Tadi Mama yang memintanya membelikan untuk Mama," jawab Elizabeth tersenyum. "Ayo dimakan. Mama kupaskan kulit buah apel dulu ya, Sayang..." Hauri hanya mengangguk patuh, gadis itu menatap Elizabeth dari samping. Dalam benaknya, Hauri terus bertanya-tanya, apakah benar keluarga ini begitu baik dan perhatian padanya hanya karena merasa kasihan saja?Tanpa sengaja Elizabeth menoleh dan menatap Hau
Hauri terpukul hebat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Lafenia. Bahkan Hauri membiarkan Lafenia pergi begitu saja beberapa detik yang lalu. Hauri membeku di atas ranjang rumah sakit dengan kehancuran yang ia rasakan saat ini. Satu fakta menyakitkan yang ia dengar membuatnya kehilangan harapan untuk segala hal dalam hidupnya. Isak tangisannya terdengar begitu jelas, gadis itu menutup wajahnya dengan selimut dan berbaring dengan tangisan kuat. "Kenapa? Kenapa mereka tidak mengatakan dari awal padaku ... kenapa?" tangis Hauri dengan pilu. Sakit yang Hauri rasakan di tubuhnya rasanya tidak sebanding dengan sakitnya kenyataan yang ia terima. Dunianya bagai runtuh seketika saat ia tahu, usianya tidak panjang lagi!Pintu kamar inap Hauri tiba-tiba terbuka, seorang suster kaget melihat Hauri menangis di sana dengan begitu ilu dan histeris. "Ya Tuhan! Nona, apa yang terjadi? Nona kenapa?" tanya suster itu terkejut. "Nona...!" Hauri menggeleng-gelengkan kepalanya, ia terbatuk-b
Setelah berjam-jam Hauri sendirian di dalam kamar inapnya. Barulah Exel datang saat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Namun, kedatangan Exel kali ini membuat Hauri terkejut karena dia mengajak Lafenia untuk ikut bersamanya. Wanita cantik itu membawa keranjang berisi buah-buahan. "Sayang, maaf aku tadi tidak sempat bilang padamu kalau aku akan ke kantor lebih dulu. Aku buru-buru," ujar Exel sembari duduk di samping Hauri. Gadis itu tersenyum manis. "Tidak papa, Exel. Aku berani sendirian..." Pandangan Hauri tertuju pada Lafenia yang kini tersenyum sambil berdiri di belakang Exel. Exel mengikuti arah pandang mata Hauri saat ini. Laki-laki itu menoleh sekilas pada Lafenia. "Oh ya, aku mengajak Lafenia. Dia tadi memang ingin ikut dan sekalian menjengukmu," jawab Exel tersenyum sembari mengusap pipi Hauri. "Iya Hauri. Maaf ya, aku tidak tahu kalau kau sedang tidak enak badan. Jadi ... aku memutuskan untuk menjengukmu." "Terima kasih atas kebaikanmu, Lafenia," uc
Pauline masih menemani Hauri selama dua jam lamanya dan Exel juga belum kembali hingga detik ini. Sesekali Pauline menatap jam dinding, karena beberapa menit lagi ia harus segera pergi ke kampus.Ekspresinya yang cemas membuat Hauri mudah menebaknya. "Pauline, apa kau tidak ke kampus? Ini sudah jam delapan," ujar Hauri. "Ta-tapi nanti Kakak sendirian. Kalau terjadi apa-apa dengan Kakak, bagaimana?" Pauline memasang wajah sedih. "Aku tidak usah masuk saja, Kak. Tapi nanti Kakak jangan bilang-bilang ke Papa dan Mama, ya, nanti Pauline dimarah—""Ekhem...!" Suara deheman keras dari arah sofa membuat dua gadis itu menatap ke arah Arthur. Raut wajah Pauline menjadi amat masan. "Kalau Kak Hauri aku yakin tidak akan mengadu. Tapi si batu karang itu pasti akan mengadu ke Papa! Dia memang manusia paling menyebalkan!" omel Pauline. Hauri tersenyum hangat mengusap punggung Pauline. "Lebih baik Pauline pergi ke kampus sekarang. Kakak tidak papa sendirian di sini. Setelah ini pasti Kak Exel