Elize berlari keluar mencari Exel. Dia menitipkan Pauline pada Kimmy di butiknya. Wanita itu panik dan takut terjadi sesuatu yang buruk pada Exel. Apalagi anak itu tidak tahu arah manapun di kota itu. "Ya Tuhan ... ke mana Exel? Kenapa cepat sekali dia berlari?!" seru Elize sangat kepanikan. Wanita itu berlari di gang-gang dan dia juga tidak ragu bertanya pada semua orang yang dia temui di sepanjang jalan. 'Exel ... maafkan Mama, Nak,' batin Elize, dia tidak bisa menahan air matanya saat ini. Ia kembali berlari sambil terus memanggil nama Exel di sepanjang jalan yang dia lewati saat ini. Sementara di tempat lain, kini Exel tengah berlari entah ke mana kakinya melangkah membawa ia pergi. Sampai akhirnya ia tergelincir salju di jalanan yang licin sehingga membuatnya terjungkal dan jatuh di tengah jalan gang yang sepi dan gelap. Exel langsung terduduk memegangi lututnya dan menangis. "Mama ... Exel takut, ini di mana?" Anak itu menangis keras-keras di tengah gang sempit itu dan
Saat pagi tiba, di rumah Elize sudah kedatangan seorang tamu. Seseorang yang sangat penting dalam kehidupan Elize dan Pauline selama empat tahunan ke belakang. Seorang wanita tua cantik yang kini tengah duduk di sofa ruang tamu, dia adalah Nyonya Sisca Winston. Wanita itu bersama keluarganya yang selama ini menolong Elize hingga dia bisa hidup bahagia dan memiliki karier yang gemilang. "Elize, di mana cucuku?" tanya Sisca mencari-cari. "Loh, perasaan tadi sudah bangun," gumam Elize mencari-cari Pauline. "Sayang ... ada Oma datang, katanya kemarin kangen sama Oma!" Elize menemukan Pauline yang tengah rebahan di sofa ruang keluarga bersama botol susu yang dia peluk. "Sayang, Oma punya permen stroberi," seru Sisca memancing Pauline. Baru setelah itu muncul bocah cantik bertubuh mungil kecil nampak masuk ke dalam ruangan itu. Senyuman Sisca dan Elize pun terukir melihat kehadiran Pauline. "Mana yang tadi katanya kangen sama Oma?" Sisca mengangkat tubuh kecil Pauline dan mendudukka
Evan dan Exel kembali ke Prancis kemarin sore, setelah Exel meminta pulang karena kondisinya yang menurun. Exel demam tinggi saat ini. Bahkan Evan sudah memanggil Dokter untuk mengobati putranya, namun panasnya tidak kunjung turun. Laki-laki itu kini duduk di sampingnya dan menemaninya. "Panasnya tidak turun sama sekali?" tanya Evan pada pengasuh Riana. "Tidak Tuan, justru malah naik," jawab wanita dengan pakaian maid itu menunjukkan termometernya. Evan menatap lagi wajah pucat putranya, anak itu terus merengek memeluk boneka koala yang dulu Mamanya belikan. "Mama ... Exel pusing, Ma. Exel mau sama Mama," rintih anak itu dengan kedua matanya yang masih terpejam. "Sayang, di sini ada Papa, Nak. Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" bujuk Evan mengusap kepala Exel. Dengan tangisan yang merintih, Exel menggelengkan kepalanya. "Exel mau peluk Mama, Papa ... di mana Mama?” Tangisan sedih Exel membuat hati Evan tersayat-sayat. Ia langsung mengangkat tubuh Exel dan mendekapnya dalam ma
Elize yang masih membeku di tempat, hingga tiba-tiba ia dipeluk dengan erat oleh laki-laki tampan itu. Dan Elize tersadar dengan dekapan erat dari laki-laki yang selama ini dia rindukan, sampai akhirnya membuat Elize tergerak untuk membalas pelukannya. "Aku sangat merindukanmu," bisik laki-laki itu.Elize mengangguk tanpa melepaskan pelukannya. "Aku pun merindukanmu ... Daniel," balas wanita itu. "Kenapa kau pulang tidak mengabariku dulu?" "Aku ingin memberikanmu dan anak manisku ini sebuah kejutan!" ujar Daniel, dia masih merangkul Elize. Mereka berdua menatap Pauline yang masih ada dalam gendongan Daniel. Dengan jahil, Elize langsung ikut memeluk erat Daniel. "Hmmm ... akhirnya Papaku pulang," ujar Elize memeluk erat Daniel dan menyandarkan kepalanya di dada bidangnya. Respon kesal tentu saja diberikan oleh Pauline, anak itu langsung mendorong pundak Elize dengan kuat. "Mama! Ini Papanya Pauline, Ma ... Mama jangan dekat-dekat sama Papanya Pauline!" seru anak itu merengkuh er
Keesokan harinya, keluarga Winston menyambut kedatangan Daniel dengan mengadakan makan malam bersama. Elize dan Pauline pun datang bersama Daniel di sana. Rumah megah itu sangat ramai dengan kehadiran Pauline yang selalu membawa kehebohan dari ocehannya. Bocah cantik dengan balutan jaket merah muda yang kini berada dalam gendongan Daniel. "Omaa ... Opa ... lihat sekarang Papanya Pauline sudah pulang!" teriak anak itu saat masuk ke dalam rumah megah Keluarga Winston. Kedatangan mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Daniel. "Wahh, senangnya Cucu Opa, Papanya sudah pulang!" seru Brian mengulurkan tangannya pada Pauline. "Ayo gendong Opa..." "Pauline sekarang maunya digendong sama Papa terus!" seru anak itu menolak ajakan sang Opa. Elize dan Daniel terkekeh dengan tingkah Pauline. Bahkan Sisca pun juga ikut tertawa, anak itu benar-benar membawa kebahagiaan untuk keluarga Winston. "Sudah Pa, nanti dia marah," sahut Daniel memeluk Pauline. "Ayo kita ke belakang, makan malamny
Hari demi hari silih berganti. Daniel harus segera kembali ke Prancis sore ini, setelah direktur rumah sakit menghubunginya karena urusan yang sangat penting. Seolah sudah pandai menebak Papanya akan pergi, Pauline terus saja menempel pada Daniel dari pagi, hingga sore kini Daniel hendak berangkat. "Papa jangan pergi, Pa ... di sini saja sama Pauline," rengek putri cantiknya merengkuh erat leher sang Papa.Daniel tersenyum manis, ia mengecupi pucuk kepala Pauline sembari berjalan menyeret kopernya keluar. "Papa akan pulang lagi besok, Sayang. Pauline sama Mama dulu di rumah," ujar Daniel mengusap lembut punggung Pauline. "No! Tidak boleh!" Pelukan Pauline kian erat. "Pauline saaayang Papa!" serunya gemas. Daniel menoleh pada Elize di sampingnya, wanita cantik yang terkekeh dengan tingkah putrinya. Saat mereka tiba di teras, Elize langsung berusaha perlahan membujuk Pauline. "Sudah Sayang, ayo sini peluk Mama ... Papa besok pulang lagi, kok," ujar Elize merayu-rayu Pauline. "Ti
Di saat Evan dan Pauline berpelukan, Elize pun masih bersama teman-temannya membahas pekerjaannya. Namun tiba-tiba Annete menepuk lengan Elize. "Elize ... Elize, lihat itu Pauline dipeluk oleh siapa?!" seru wanita cantik berambut pirang itu menunjuk ke arah Pauline di taman. Lantas Elize langsung menoleh cepat. Ia tercenung melihat putri kecilnya dipeluk oleh Evan di sana. Pelukan yang sangat hangat dan menenangkan untuk Pauline yang tengah merindukan Papanya. Namun perasaan kesal dan tak terima memenuhi hati Elize saat ini. 'Kenapa dia muncul lagi di sini?!' gerutu Elize dalam hatinya. Saat itu juga Elize beranjak dari duduknya dan berjalan cepat mendekati mereka berdua di taman. Kedatangan Elize diketahui oleh Evan, laki-laki itu menggendong Pauline yang masih merengkuh lehernya. "Pauline ... ya ampun, Sayang, kenapa minta peluk Om?" Elize mendekat dan ia mengambil Pauline dari gendongan Evan. "Mama, Pauline kangen Papanya Pauline! Makanya Pauline mau peluk Om!" seru anak it
Evan yang tidak bisa dibuat menunggu, meminta Jericho dan James untuk mencari tahu secara detail siapa Elize sebenarnya.Dua ajudan kepercayaan Evan itu berhasil membawa beberapa bukti yang mereka kumpulkan dalam sebuah berkas, setelah beberapa hari mereka fokus pada penyelidikan. "Ini berkas riwayat pendidikan milik Nyonya Elize yang kami dapatkan, Tuan. Termasuk biodata milik Nyonya Elize," ujar Jericho menyerahkan berkas bersampul merah di hadapan Evan. Evan pun meraih berkas itu, dia mulai membuka dan membacanya perlahan-lahan sebelum helaan napas pelan dan kecewa keluar dari bibirnya. "Dari biodatanya, secara rinci beliau bukanlah Nyonya Elizabeth Lawrence, Tuan Evan. Bahkan Nyonya Elize sungguh lahir dan besar di Jerman. Beliau berasal dari keluarga kalangan kelas atas, dan juga kerabat dekat keluarga Winston," jelas Jericho pada Evan yang kini meletakkan kembali berkas di tangannya. "Tapi bagaimana bisa wajah itu benar-benar mirip dengan Elizabeth?" gumam Evan, penasaran ta