Beberapa hari kemudian. Tak pernah Elize duga, kalau malam ini ia dan Evan berada dalam satu acara yang sama. Saat salah satu rekan Elize mengadakan pesta ulang tahun bisnisnya dan mengundangnya untuk datang. Namun sial, di sana Evan juga diundang sebagai rekan suami teman Elize. Sejak tadi Elize merasa tidak tenang meskipun Evan tak selalu memperhatikannya. Elize pun memilih untuk menepi, dia berdiri di balik pilar besar di luar ruangan pesta, sembari membawa segelas minuman. 'Aku benar-benar merasa hidupku tidak tenang setelah kedatangannya. Aku tahu dia seperti apa, aku yakin dia melakukan banyak hal untuk mencari tahu siapa aku,' batin Elize dengan kedua matanya yang ia pejamkan pelan. "Nyonya Elize..." Suara bariton seseorang menyapanya dengan nada pelan. Sontak Elize langsung menoleh dan menatap seorang laki-laki tua dengan balutan pakaian formal yang kini tengah mendekat. "Sedang apa di sini sendirian? Mari berkumpul di sana," ajak laki-laki asing itu pada Elize, dengan
Elize merasa gelisah dan sedikit rasa takut timbul di dalam hatinya. Wanita cantik yang duduk di atas ranjang kamar ini, hanya diam merutuki kebodohan dirinya sendiri. Perlahan Elize mengusap wajahnya kasar saat rasa putus asa menderanya. Ia menatap pergelangan tangannya yang tadi jelas-jelas dicekal erat oleh Evan. "Setelah dia memberikanku banyak luka, meninggalkan rasa takut bertahun-tahun dalam hidupku, yang tidak sehari dua hari aku sembuhkan…." ucap Elize menahan air mata yang ingin menetes. "Jangan kau pikir semudah itu aku memaafkanmu, Evan!" Elize tidak tahan untuk tidak menangis bila ia mulai mengingat kepingan demi kepingan masa lalu yang menyakitkan. Tak hanya dikhianati, Elize juga telah dibodohi dan disakiti selama bertahun-tahun tanpa jeda, oleh Evan dan orang di sekitarnya. Wanita itu meremas kuat bantal yang ia peluk dan membenamkan wajahnya di sana. "Kenapa ... kenapa sekarang kau harus muncul di saat aku bahagia bersama Pauline dan Daniel. Aku tidak mengharapk
"Pauline janji sama Mama! kalau ikut Mama nanti tidak boleh pergi ke mana pun. Harus tetap di samping Mama, mengerti?" "Iya Mama, Pauline janji!" jawab anak itu tersenyum manis. Hari ini Elize akan datang dalam acara makan siang bersama dan sebuah pesta kecil bersama semua para partner kerjanya, termasuk dengan Evan. Dan Elize terpaksa membawa Pauline karena di rumah tidak ada siapapun, bahkan calon pengasuhnya pun belum datang. Mereka berdua memasuki tempat di mana pertemuan itu diadakan. Banyak tamu rekan kerjanya yang datang dalam acara itu. "Mama ... Pauline mau itu!" seru Pauline, saat anak itu melihat sebuah piring berisi buah stroberi. "Iya, nanti dulu, Sayang." Elize gegas menggendong Pauline. Wanita itu mendekati Annete—temannya yang turut diundang dalam acara tersebut."Wahh, kau datang juga akhirnya..." Annete tersenyum manis pada Elize dan Pauline. "Iya. Aku pikir aku terlambat, Pauline membuatku pusing sejak pagi," jawab Elize. "Ya ampun ... kalau begitu, ayo pil
Elize tadi sempat melihat Pauline berbincang dengan Evan di sebelahnya, meskipun tidak terlalu lama. Saat tadi Elize sibuk membahas tentang kerja sama dengan rekan kerjanya yang lain.Dan sekarang mereka baru saja kembali dari acara tersebut. Elize terus kepikiran apa saja yang tadi Evan tanyakan pada Pauline. "Sayang, ayo ganti baju dulu," bujuk Elize pada si kecil. Pauline yang berdiri di atas ranjang, anak itu langsung lompat turun. "Huplaahh...! Yeayy ... Pauline bisa lompat dari sini, Ma!" seru anak itu berbunga-bunga. "Jangan lompat-lompat dong Sayang. Nanti kalau jatuh, bagaimana?" tanya Elize mendudukkan Pauline di sofa dan mengganti bajunya dengan sweater berwarna putih dan celana panjang hangat. Elize menekuk kedua lututnya di hadapan Pauline dan menatap wajah putri kecilnya yang nampak berseri-seri. "Sayang, tadi Pauline sama Om bicara apa saja?" tanya Elize mulai bertanya pada Pauline. Anak itu tertunduk memainkan gambar di bajunya. "Banyak Mama. Om Baik tahu makan
Beberapa hari kemudian. Acara ulang tahun Pauline pun telah tiba. Elize menggelar acara tersebut di hotel berbintang milik keluarga Winston. Para tamu-tamu undangan pun datang di sana. Mulai dari anak-anak hingga orang-orang dewasa yang memiliki hubungan keluarga atau rekan baik dengan keluarga Winston. Nampak Pauline yang terlihat menggemaskan dengan balutan gaun berwarna biru langit. Anak cantik yang tengah bermain balon, dan Elize yang kini menggandengnya sembari menyapa para tamu. "Eumm ... mana Kakak? Kenapa belum datang?" gumam Pauline lirih dengan bibir mencebik. "Pauline, itu ada Grece temannya Pauline. Cepat sapa dia, Sayang," bujuk Elize pada buah hatinya. "Tidak mau. Pauline mau di sini saja," jawab anak itu. Pauline tetap setia berdiri di dekat pintu masuk sembari membawa tiga balon terbang di tangannya. Kedua mata indah anak itu terus tertuju ke arah luar dan raut wajahnya gelisah menanti-nanti. Elize yang memperhatikannya pun bingung dan bertanya-tanya. "Sayang
Di hari berikutnya, Pauline telah memiliki pengasuh baru yang diminta oleh Elize untuk menjaga anak kecil manis itu di rumah. Pengasuhnya masih muda, usianya masih berada di bawah Elize. Dia sangat baik, perhatian, dan Pauline juga menyukainya. "Aku akan berangkat ke butik sebentar lagi. Nanti kalau Pauline menangis dan susah menenangkannya, kau bisa menghubungiku ya, There," ujar Elize sembari memakai blazer merah maron miliknya. "Iya Nyonya," jawab gadis itu. Elize pun berjalan mendekati Pauline yang berada di teras berlarian bersama anjing kecilnya. "Sayang, Pauline...""Iya Mama!" Anak itu berlari ke arahnya dengan kedua tangan terlentang. Dia langsung memeluk Elize dan mengecup pipi sang Mama. Elize juga membalas kecupan bertubi-tubi di pipi buah hatinya ini. "Mama mau kerja dulu ya, Sayang ... nanti setelah makan siang, Mama pulang lagi," ujar Elize mengusap pipi gembil Pauline. "Nenek Bibi sama Nenek Buyut ke mana?" tanya Pauline. "Nenek Bibi kan harus ke toko bunga. N
Hari ini Daniel kembali ke Jerman. Kedatangannya sudah dinanti-nantikan oleh Pauline sejak kemarin. Daniel pun mengobati rasa rindu putrinya dengan mengajaknya bermain, jalan-jalan, dan saat ini ia bersama Elize dan Pauline berada di sebuah pusat perbelanjaan. "Pauline mau beli apa, Sayang? Mau boneka? Puzzle? Atau mau beli apa?" tawar Daniel pada dalam gendongannya itu. "Emmm ... Pauline mau beli boneka itu, Pa!" seru anak manis itu menunjuk ke arah sebuah toko mainan. "Ya ampun, Sayang, boneka Pauline di rumah sudah banyak!" seru Elize sembari mengusap pucuk kepala Pauline. Daniel pun tersenyum pada wanita cantik di sampingnya. "Tidak papa, ulang tahunnya kemarin aku juga belum memberikan hadiah untuknya, Elize," ujar Daniel. Laki-laki itu pun langsung berjalan masuk ke dalam sebuah toko boneka dan meminta Pauline untuk memilih mana boneka yang anaknya suka. Tentu saja Pauline banyak memilih dan banyak pula maunya. Daniel merasakan ada yang berbeda dengan Elize, dia sering
Setelah mengetahui semua kebenaran ini, Evan semakin yakin istrinya tidak meninggal. Evan pun kini tahu kalau Daniel ada di balik pelarian Elizabeth selama bertahun-tahun. Evan tidak tinggal diam. Ia meminta Jericho untuk mencari nomor telfon Daniel dan menghubunginya. Hingga kini mereka bertemu dengan Daniel di suatu tempat. "Ada perlu apa kau ingin bertemu denganku? Dan bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Daniel, dia menatap Evan dengan tatapan tenang."Tidak perlu basa-basi lagi, Niel!" jawab Evan dengan nada dingin dan emosi. Kening Daniel mengerut. "Apa maksudmu?"Evan mendekati Daniel dengan kedua tangan terkepal kuat seolah siap menerjangnya. "Berhenti berpura-pura seolah kau bodoh! Wanita bernama Elize yang bersamamu kemarin, adalah Elizabeth, istriku! Dan Pauline adalah darah dagingku! Iya kan?!" tekan Evan dengan bibirnya menipis marah. Alih-alih tersulut emosi, Daniel masih dengan wajah datar dan tenang seperti tak terjadi apapun. Laki-laki itu mengembuskan napasny