Evan yang tidak bisa dibuat menunggu, meminta Jericho dan James untuk mencari tahu secara detail siapa Elize sebenarnya.Dua ajudan kepercayaan Evan itu berhasil membawa beberapa bukti yang mereka kumpulkan dalam sebuah berkas, setelah beberapa hari mereka fokus pada penyelidikan. "Ini berkas riwayat pendidikan milik Nyonya Elize yang kami dapatkan, Tuan. Termasuk biodata milik Nyonya Elize," ujar Jericho menyerahkan berkas bersampul merah di hadapan Evan. Evan pun meraih berkas itu, dia mulai membuka dan membacanya perlahan-lahan sebelum helaan napas pelan dan kecewa keluar dari bibirnya. "Dari biodatanya, secara rinci beliau bukanlah Nyonya Elizabeth Lawrence, Tuan Evan. Bahkan Nyonya Elize sungguh lahir dan besar di Jerman. Beliau berasal dari keluarga kalangan kelas atas, dan juga kerabat dekat keluarga Winston," jelas Jericho pada Evan yang kini meletakkan kembali berkas di tangannya. "Tapi bagaimana bisa wajah itu benar-benar mirip dengan Elizabeth?" gumam Evan, penasaran ta
Beberapa hari kemudian. Tak pernah Elize duga, kalau malam ini ia dan Evan berada dalam satu acara yang sama. Saat salah satu rekan Elize mengadakan pesta ulang tahun bisnisnya dan mengundangnya untuk datang. Namun sial, di sana Evan juga diundang sebagai rekan suami teman Elize. Sejak tadi Elize merasa tidak tenang meskipun Evan tak selalu memperhatikannya. Elize pun memilih untuk menepi, dia berdiri di balik pilar besar di luar ruangan pesta, sembari membawa segelas minuman. 'Aku benar-benar merasa hidupku tidak tenang setelah kedatangannya. Aku tahu dia seperti apa, aku yakin dia melakukan banyak hal untuk mencari tahu siapa aku,' batin Elize dengan kedua matanya yang ia pejamkan pelan. "Nyonya Elize..." Suara bariton seseorang menyapanya dengan nada pelan. Sontak Elize langsung menoleh dan menatap seorang laki-laki tua dengan balutan pakaian formal yang kini tengah mendekat. "Sedang apa di sini sendirian? Mari berkumpul di sana," ajak laki-laki asing itu pada Elize, dengan
Elize merasa gelisah dan sedikit rasa takut timbul di dalam hatinya. Wanita cantik yang duduk di atas ranjang kamar ini, hanya diam merutuki kebodohan dirinya sendiri. Perlahan Elize mengusap wajahnya kasar saat rasa putus asa menderanya. Ia menatap pergelangan tangannya yang tadi jelas-jelas dicekal erat oleh Evan. "Setelah dia memberikanku banyak luka, meninggalkan rasa takut bertahun-tahun dalam hidupku, yang tidak sehari dua hari aku sembuhkan…." ucap Elize menahan air mata yang ingin menetes. "Jangan kau pikir semudah itu aku memaafkanmu, Evan!" Elize tidak tahan untuk tidak menangis bila ia mulai mengingat kepingan demi kepingan masa lalu yang menyakitkan. Tak hanya dikhianati, Elize juga telah dibodohi dan disakiti selama bertahun-tahun tanpa jeda, oleh Evan dan orang di sekitarnya. Wanita itu meremas kuat bantal yang ia peluk dan membenamkan wajahnya di sana. "Kenapa ... kenapa sekarang kau harus muncul di saat aku bahagia bersama Pauline dan Daniel. Aku tidak mengharapk
"Pauline janji sama Mama! kalau ikut Mama nanti tidak boleh pergi ke mana pun. Harus tetap di samping Mama, mengerti?" "Iya Mama, Pauline janji!" jawab anak itu tersenyum manis. Hari ini Elize akan datang dalam acara makan siang bersama dan sebuah pesta kecil bersama semua para partner kerjanya, termasuk dengan Evan. Dan Elize terpaksa membawa Pauline karena di rumah tidak ada siapapun, bahkan calon pengasuhnya pun belum datang. Mereka berdua memasuki tempat di mana pertemuan itu diadakan. Banyak tamu rekan kerjanya yang datang dalam acara itu. "Mama ... Pauline mau itu!" seru Pauline, saat anak itu melihat sebuah piring berisi buah stroberi. "Iya, nanti dulu, Sayang." Elize gegas menggendong Pauline. Wanita itu mendekati Annete—temannya yang turut diundang dalam acara tersebut."Wahh, kau datang juga akhirnya..." Annete tersenyum manis pada Elize dan Pauline. "Iya. Aku pikir aku terlambat, Pauline membuatku pusing sejak pagi," jawab Elize. "Ya ampun ... kalau begitu, ayo pil
Elize tadi sempat melihat Pauline berbincang dengan Evan di sebelahnya, meskipun tidak terlalu lama. Saat tadi Elize sibuk membahas tentang kerja sama dengan rekan kerjanya yang lain.Dan sekarang mereka baru saja kembali dari acara tersebut. Elize terus kepikiran apa saja yang tadi Evan tanyakan pada Pauline. "Sayang, ayo ganti baju dulu," bujuk Elize pada si kecil. Pauline yang berdiri di atas ranjang, anak itu langsung lompat turun. "Huplaahh...! Yeayy ... Pauline bisa lompat dari sini, Ma!" seru anak itu berbunga-bunga. "Jangan lompat-lompat dong Sayang. Nanti kalau jatuh, bagaimana?" tanya Elize mendudukkan Pauline di sofa dan mengganti bajunya dengan sweater berwarna putih dan celana panjang hangat. Elize menekuk kedua lututnya di hadapan Pauline dan menatap wajah putri kecilnya yang nampak berseri-seri. "Sayang, tadi Pauline sama Om bicara apa saja?" tanya Elize mulai bertanya pada Pauline. Anak itu tertunduk memainkan gambar di bajunya. "Banyak Mama. Om Baik tahu makan
Beberapa hari kemudian. Acara ulang tahun Pauline pun telah tiba. Elize menggelar acara tersebut di hotel berbintang milik keluarga Winston. Para tamu-tamu undangan pun datang di sana. Mulai dari anak-anak hingga orang-orang dewasa yang memiliki hubungan keluarga atau rekan baik dengan keluarga Winston. Nampak Pauline yang terlihat menggemaskan dengan balutan gaun berwarna biru langit. Anak cantik yang tengah bermain balon, dan Elize yang kini menggandengnya sembari menyapa para tamu. "Eumm ... mana Kakak? Kenapa belum datang?" gumam Pauline lirih dengan bibir mencebik. "Pauline, itu ada Grece temannya Pauline. Cepat sapa dia, Sayang," bujuk Elize pada buah hatinya. "Tidak mau. Pauline mau di sini saja," jawab anak itu. Pauline tetap setia berdiri di dekat pintu masuk sembari membawa tiga balon terbang di tangannya. Kedua mata indah anak itu terus tertuju ke arah luar dan raut wajahnya gelisah menanti-nanti. Elize yang memperhatikannya pun bingung dan bertanya-tanya. "Sayang
Di hari berikutnya, Pauline telah memiliki pengasuh baru yang diminta oleh Elize untuk menjaga anak kecil manis itu di rumah. Pengasuhnya masih muda, usianya masih berada di bawah Elize. Dia sangat baik, perhatian, dan Pauline juga menyukainya. "Aku akan berangkat ke butik sebentar lagi. Nanti kalau Pauline menangis dan susah menenangkannya, kau bisa menghubungiku ya, There," ujar Elize sembari memakai blazer merah maron miliknya. "Iya Nyonya," jawab gadis itu. Elize pun berjalan mendekati Pauline yang berada di teras berlarian bersama anjing kecilnya. "Sayang, Pauline...""Iya Mama!" Anak itu berlari ke arahnya dengan kedua tangan terlentang. Dia langsung memeluk Elize dan mengecup pipi sang Mama. Elize juga membalas kecupan bertubi-tubi di pipi buah hatinya ini. "Mama mau kerja dulu ya, Sayang ... nanti setelah makan siang, Mama pulang lagi," ujar Elize mengusap pipi gembil Pauline. "Nenek Bibi sama Nenek Buyut ke mana?" tanya Pauline. "Nenek Bibi kan harus ke toko bunga. N
Hari ini Daniel kembali ke Jerman. Kedatangannya sudah dinanti-nantikan oleh Pauline sejak kemarin. Daniel pun mengobati rasa rindu putrinya dengan mengajaknya bermain, jalan-jalan, dan saat ini ia bersama Elize dan Pauline berada di sebuah pusat perbelanjaan. "Pauline mau beli apa, Sayang? Mau boneka? Puzzle? Atau mau beli apa?" tawar Daniel pada dalam gendongannya itu. "Emmm ... Pauline mau beli boneka itu, Pa!" seru anak manis itu menunjuk ke arah sebuah toko mainan. "Ya ampun, Sayang, boneka Pauline di rumah sudah banyak!" seru Elize sembari mengusap pucuk kepala Pauline. Daniel pun tersenyum pada wanita cantik di sampingnya. "Tidak papa, ulang tahunnya kemarin aku juga belum memberikan hadiah untuknya, Elize," ujar Daniel. Laki-laki itu pun langsung berjalan masuk ke dalam sebuah toko boneka dan meminta Pauline untuk memilih mana boneka yang anaknya suka. Tentu saja Pauline banyak memilih dan banyak pula maunya. Daniel merasakan ada yang berbeda dengan Elize, dia sering
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat