Evan dan Exel kembali ke Prancis kemarin sore, setelah Exel meminta pulang karena kondisinya yang menurun. Exel demam tinggi saat ini. Bahkan Evan sudah memanggil Dokter untuk mengobati putranya, namun panasnya tidak kunjung turun. Laki-laki itu kini duduk di sampingnya dan menemaninya. "Panasnya tidak turun sama sekali?" tanya Evan pada pengasuh Riana. "Tidak Tuan, justru malah naik," jawab wanita dengan pakaian maid itu menunjukkan termometernya. Evan menatap lagi wajah pucat putranya, anak itu terus merengek memeluk boneka koala yang dulu Mamanya belikan. "Mama ... Exel pusing, Ma. Exel mau sama Mama," rintih anak itu dengan kedua matanya yang masih terpejam. "Sayang, di sini ada Papa, Nak. Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" bujuk Evan mengusap kepala Exel. Dengan tangisan yang merintih, Exel menggelengkan kepalanya. "Exel mau peluk Mama, Papa ... di mana Mama?” Tangisan sedih Exel membuat hati Evan tersayat-sayat. Ia langsung mengangkat tubuh Exel dan mendekapnya dalam ma
Elize yang masih membeku di tempat, hingga tiba-tiba ia dipeluk dengan erat oleh laki-laki tampan itu. Dan Elize tersadar dengan dekapan erat dari laki-laki yang selama ini dia rindukan, sampai akhirnya membuat Elize tergerak untuk membalas pelukannya. "Aku sangat merindukanmu," bisik laki-laki itu.Elize mengangguk tanpa melepaskan pelukannya. "Aku pun merindukanmu ... Daniel," balas wanita itu. "Kenapa kau pulang tidak mengabariku dulu?" "Aku ingin memberikanmu dan anak manisku ini sebuah kejutan!" ujar Daniel, dia masih merangkul Elize. Mereka berdua menatap Pauline yang masih ada dalam gendongan Daniel. Dengan jahil, Elize langsung ikut memeluk erat Daniel. "Hmmm ... akhirnya Papaku pulang," ujar Elize memeluk erat Daniel dan menyandarkan kepalanya di dada bidangnya. Respon kesal tentu saja diberikan oleh Pauline, anak itu langsung mendorong pundak Elize dengan kuat. "Mama! Ini Papanya Pauline, Ma ... Mama jangan dekat-dekat sama Papanya Pauline!" seru anak itu merengkuh er
Keesokan harinya, keluarga Winston menyambut kedatangan Daniel dengan mengadakan makan malam bersama. Elize dan Pauline pun datang bersama Daniel di sana. Rumah megah itu sangat ramai dengan kehadiran Pauline yang selalu membawa kehebohan dari ocehannya. Bocah cantik dengan balutan jaket merah muda yang kini berada dalam gendongan Daniel. "Omaa ... Opa ... lihat sekarang Papanya Pauline sudah pulang!" teriak anak itu saat masuk ke dalam rumah megah Keluarga Winston. Kedatangan mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Daniel. "Wahh, senangnya Cucu Opa, Papanya sudah pulang!" seru Brian mengulurkan tangannya pada Pauline. "Ayo gendong Opa..." "Pauline sekarang maunya digendong sama Papa terus!" seru anak itu menolak ajakan sang Opa. Elize dan Daniel terkekeh dengan tingkah Pauline. Bahkan Sisca pun juga ikut tertawa, anak itu benar-benar membawa kebahagiaan untuk keluarga Winston. "Sudah Pa, nanti dia marah," sahut Daniel memeluk Pauline. "Ayo kita ke belakang, makan malamny
Hari demi hari silih berganti. Daniel harus segera kembali ke Prancis sore ini, setelah direktur rumah sakit menghubunginya karena urusan yang sangat penting. Seolah sudah pandai menebak Papanya akan pergi, Pauline terus saja menempel pada Daniel dari pagi, hingga sore kini Daniel hendak berangkat. "Papa jangan pergi, Pa ... di sini saja sama Pauline," rengek putri cantiknya merengkuh erat leher sang Papa.Daniel tersenyum manis, ia mengecupi pucuk kepala Pauline sembari berjalan menyeret kopernya keluar. "Papa akan pulang lagi besok, Sayang. Pauline sama Mama dulu di rumah," ujar Daniel mengusap lembut punggung Pauline. "No! Tidak boleh!" Pelukan Pauline kian erat. "Pauline saaayang Papa!" serunya gemas. Daniel menoleh pada Elize di sampingnya, wanita cantik yang terkekeh dengan tingkah putrinya. Saat mereka tiba di teras, Elize langsung berusaha perlahan membujuk Pauline. "Sudah Sayang, ayo sini peluk Mama ... Papa besok pulang lagi, kok," ujar Elize merayu-rayu Pauline. "Ti
Di saat Evan dan Pauline berpelukan, Elize pun masih bersama teman-temannya membahas pekerjaannya. Namun tiba-tiba Annete menepuk lengan Elize. "Elize ... Elize, lihat itu Pauline dipeluk oleh siapa?!" seru wanita cantik berambut pirang itu menunjuk ke arah Pauline di taman. Lantas Elize langsung menoleh cepat. Ia tercenung melihat putri kecilnya dipeluk oleh Evan di sana. Pelukan yang sangat hangat dan menenangkan untuk Pauline yang tengah merindukan Papanya. Namun perasaan kesal dan tak terima memenuhi hati Elize saat ini. 'Kenapa dia muncul lagi di sini?!' gerutu Elize dalam hatinya. Saat itu juga Elize beranjak dari duduknya dan berjalan cepat mendekati mereka berdua di taman. Kedatangan Elize diketahui oleh Evan, laki-laki itu menggendong Pauline yang masih merengkuh lehernya. "Pauline ... ya ampun, Sayang, kenapa minta peluk Om?" Elize mendekat dan ia mengambil Pauline dari gendongan Evan. "Mama, Pauline kangen Papanya Pauline! Makanya Pauline mau peluk Om!" seru anak it
Evan yang tidak bisa dibuat menunggu, meminta Jericho dan James untuk mencari tahu secara detail siapa Elize sebenarnya.Dua ajudan kepercayaan Evan itu berhasil membawa beberapa bukti yang mereka kumpulkan dalam sebuah berkas, setelah beberapa hari mereka fokus pada penyelidikan. "Ini berkas riwayat pendidikan milik Nyonya Elize yang kami dapatkan, Tuan. Termasuk biodata milik Nyonya Elize," ujar Jericho menyerahkan berkas bersampul merah di hadapan Evan. Evan pun meraih berkas itu, dia mulai membuka dan membacanya perlahan-lahan sebelum helaan napas pelan dan kecewa keluar dari bibirnya. "Dari biodatanya, secara rinci beliau bukanlah Nyonya Elizabeth Lawrence, Tuan Evan. Bahkan Nyonya Elize sungguh lahir dan besar di Jerman. Beliau berasal dari keluarga kalangan kelas atas, dan juga kerabat dekat keluarga Winston," jelas Jericho pada Evan yang kini meletakkan kembali berkas di tangannya. "Tapi bagaimana bisa wajah itu benar-benar mirip dengan Elizabeth?" gumam Evan, penasaran ta
Beberapa hari kemudian. Tak pernah Elize duga, kalau malam ini ia dan Evan berada dalam satu acara yang sama. Saat salah satu rekan Elize mengadakan pesta ulang tahun bisnisnya dan mengundangnya untuk datang. Namun sial, di sana Evan juga diundang sebagai rekan suami teman Elize. Sejak tadi Elize merasa tidak tenang meskipun Evan tak selalu memperhatikannya. Elize pun memilih untuk menepi, dia berdiri di balik pilar besar di luar ruangan pesta, sembari membawa segelas minuman. 'Aku benar-benar merasa hidupku tidak tenang setelah kedatangannya. Aku tahu dia seperti apa, aku yakin dia melakukan banyak hal untuk mencari tahu siapa aku,' batin Elize dengan kedua matanya yang ia pejamkan pelan. "Nyonya Elize..." Suara bariton seseorang menyapanya dengan nada pelan. Sontak Elize langsung menoleh dan menatap seorang laki-laki tua dengan balutan pakaian formal yang kini tengah mendekat. "Sedang apa di sini sendirian? Mari berkumpul di sana," ajak laki-laki asing itu pada Elize, dengan
Elize merasa gelisah dan sedikit rasa takut timbul di dalam hatinya. Wanita cantik yang duduk di atas ranjang kamar ini, hanya diam merutuki kebodohan dirinya sendiri. Perlahan Elize mengusap wajahnya kasar saat rasa putus asa menderanya. Ia menatap pergelangan tangannya yang tadi jelas-jelas dicekal erat oleh Evan. "Setelah dia memberikanku banyak luka, meninggalkan rasa takut bertahun-tahun dalam hidupku, yang tidak sehari dua hari aku sembuhkan…." ucap Elize menahan air mata yang ingin menetes. "Jangan kau pikir semudah itu aku memaafkanmu, Evan!" Elize tidak tahan untuk tidak menangis bila ia mulai mengingat kepingan demi kepingan masa lalu yang menyakitkan. Tak hanya dikhianati, Elize juga telah dibodohi dan disakiti selama bertahun-tahun tanpa jeda, oleh Evan dan orang di sekitarnya. Wanita itu meremas kuat bantal yang ia peluk dan membenamkan wajahnya di sana. "Kenapa ... kenapa sekarang kau harus muncul di saat aku bahagia bersama Pauline dan Daniel. Aku tidak mengharapk
Udara dingin terasa menusuk, Hauri membuka kedua matanya pukul satu dini hari. Gadis itu menghembuskan napasnya panjang berusaha menyingkirkan lengan kekar Exel yang memeluknya dengan sangat erat. Exel selalu menolak tidur sendiri-sendiri, toh mereka akan menikah beberapa hari lagi, di sisi lain, Exel tidak tega bila dia terbayangkan Hauri sakit tiba-tiba saat sedang tidur sendirian. Hauri melepaskan satu tangan Exel dengan perlahan-lahan. Namun, justru pelukan itu semakin mengerat kuat. "Ya ampun, Exel ... lepaskan sebentar. Aku mau ke kemarin mandi," ujar Hauri memukuli lengan laki-laki itu. "Hehhh..." Exel menarik napasnya panjang dan melepaskan pelukannya. "Ayo, aku temani." "Nyalakan lampunya, aku takut gelap," ujar gadis itu. Exel segera menyalakan penerangan di dalam kamarnya. Hauri pun menyibak selimutnya cepat dan berjalan ke kamar mandi.Sedangkan Exel menunggu duduk di tepi ranjang dengan wajah mengantuknya. Sampai Hauri kembali keluar, gadis itu mendekati Exel dan H
Hari sudah gelap, Hauri berada di ruang makan dan menghabiskan makan malamnya sendirian di sana. Sejak siang, ia tertidur hingga bangun malam. Terus terang, Hauri sangat malu ia bangun terlambat, tetapi tidak ada yang melarang atau mengomelinya. Justru semua orang rumah itu meminta Hauri istirahat total. "Makan yang banyak, Sayang. Setelah itu obatnya diminum dan istirahat lagi di ruang tengah dengan Adik Pauline, biar tidak suntuk," ujar Elizabeth dari arah dapur. "Iya Ma," jawab Hauri. Elizabeth berjalan mendekat membawakan segelas air hangat untuk Hauri. "Minum air hangat saja ya, kata Exel tadi kau kedinginan," ujar Elizabeth sembari menyentuh kening Hauri yang terasa hangat. Gadis itu merasa sedih dan senang sekaligus saat dimanjakan oleh Elizabeth, kasih sayang dari sosok Mama yang selama ini Hauri rindukan. Elizabeth terdiam sejenak menatap makanan Hauri hanya tersisa sedikit. Wanita itu menyadari pasti Hauri berat menjalani kondisinya ini, mengalami penurunan nafsu maka
Akhirnya Hauri bisa bernapas lega setelah sekian lama. Ia dan Exel bergegas pulang, namun selama sepanjang perjalanan menuju rumah, Hauri hanya diam saja. Hal ini membuat Exel bertanya-tanya. Apakah kekasihnya itu tidak papa?"Kenapa diam saja? Kau ingin membeli sesuatu?" tanya Exel menoleh. "Tidak. Aku hanya ingin cepat sampai di rumah dan segera meminum obat," jawabnya. "Jadwalnya sudah berlalu satu jam." "Oh astaga, Sayang! Aku benar-benar tidak ingat!" seru Exel menepuk keningnya. "Kenapa kau tidak bilang sejak di kantor?" Exel tampak merutuki kesalahannya sendiri karena melupakan hal itu. Hauri hanya tersenyum tipis. "Tidak papa. Kau kan juga sibuk, Lafenia juga terus menahanmu pulang, kan?" Meskipun tidak bernada tinggi, tapi terasa sakitnya dari kata-kata yang Hauri lontarkan barusan. Juga ekspresi gadis itu yang sulit untuk Exel tebak, apakah dia senang marah, atau tidak. "Maaf ya, Sayang ... aku yang salah," ujar Exel mengusap pucuk kepala Hauri. "Tidak papa, Exel."
Berada di dalam sebuah ruangan bersama dengan teman Exel, Hauri sangat merasa canggung. Ia bahkan bingung harus apa di sana. Berbeda dengan Heiner, ia memperhatikan Hauri dengan tatapan yang tak biasa dan dipenuhi rasa penasaran. "Hauri," panggil Exel pelan."Ya?" Hauri menoleh cepat. Ia merasa senang bila laki-laki itu mungkin mengajaknya berbincang. Heiner beranjak dari duduknya seketika dan mengambil remote penyejuk ruangan sembari menatapnya. "Sepertinya kau kedinginan, ya? Wajahmu terlihat pucat, dan kau sejak tadi meremas tanganmu," ujar Heiner. "Maaf ya, aku baru menyadari kalau ruangan ini terlalu dingin untukmu." "Ah, ya. Tolong kurangi suhu dinginnya," ujar Hauri. Heiner pun tersenyum tipis, laki-laki itu kembali duduk di sofa dan kali ini lebih dekat dengan Hauri. "Ngomong-ngomong, kau bukan berasal dari Eropa? Wajahmu terlihat berbeda dengan warga Eropa," ujar Heiner. "Iya. Papaku orang Prancis, Mamaku dari Jepang. Tapi aku besar di Prancis dan mengenal Exel di san
Sesampainya di kantor, semua orang terkejut melihat kedatangan Exel saat ini bersama seorang gadis yang tak lain adalah calon istrinya. Hauri langsung turun dari dalam mobil, gadis itu menatap sekitar di mana semua karyawan di kantor menatapnya dengan tatapan ramah. "Selamat siang, Pak ... selamat siang, Nona Hauri," sapa salah satu karyawan yang datang menyambut mereka. "Selamat siang," balas Hauri dengan ramah. Exel langsung dihampiri oleh Lafenia yang baru saja keluar dari dalam sebuah ruangan. "Pak Exel..." Lafenia mendekat membawa sebuah map berkas. Exel menoleh dan melihat gadis itu menghampirinya. "Di mana Tuan Gamaliel?" tanya Exel. "Ada di dalam ruangan tamu. Saya sudah meminta orang-orang menyiapkan beberapa minuman untuk tamu kita. Pak Gamaliel bersama dengan keponakannya yang seusia Bapak, dia pengusaha sukses juga," ujar Lafenia menjelaskan."Oke. Kita ke sana sekarang," ujar Exel.Saat laki-laki itu hendak berjalan, Exel menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh m
Hauri terlelap dalam pelukan Exel pagi ini. Dengan cahaya matahari yang hangat menyinarinya begitu sempurna, tampak Hauri terlihat sangat nyaman dan menikmati. Gadis ini selalu menggigil di saat-saat tertentu, hingga Elizabeth berpesan pada Exel untuk berangkat ke kantor lebih Awal, menyelesaikan meeting pagi, lalu pulang untuk mengajak Hauri menghangatkan badannya di bawah sinar matahari. "Apa dia tidak kepanasan?" gumam Exel lirih. Ia mengusap pipi Hauri yang terasa hangat. Namun dia terlihat begitu nyaman bahkan tidak merasa kepanasan. "Sayang, apa sudah cukup hangat?" tanya Exel berbisik. Hauri mengeratkan pelukannya dan menarik napasnya panjang. "Sudah, tapi aku tidak bisa membuka mataku. Aku sangat mengantuk sekali, Exel," bisik Hauri lirih. "Tutup saja matamu. Aku akan menggendongmu ke rumah," ujar Exel. Laki-laki itu tanpa berkomentar ini dan itu. Exel langsung mengangkat tubuh kecil Hauri dan membawanya masuk ke dalam rumah. Exel juga tampak biasa dan ia tidak pernah
Perkataan Pauline tadi sungguh mengusik benak Hauri kalau Exel benar-benar ingin mengajaknya menikah. Sungguh, Hauri memikirkan apakah laki-laki itu tidak menyesal nantinya? Bagaimana bila hal yang tidak-tidak terjadi? Memikirkan hal itu, Hauri tidak sadar ia melamun duduk di depan jendela kamar Exel sambil menyelimuti pundaknya dengan sebuah selendang dari kain flanel. "Sayang..." Suara Exel bersamaan dengan pintu terbuka, laki-laki itu menatap ke arah Hauri yang kini tampak terkejut dengan kedatangannya. Hauri tersenyum begitu hangat. "Hai," sapanya lembut. "Ada apa? Bukannya kau pergi ke kantor, ya?"Exel berjalan mendekat, laki-laki itu menekuk kedua lututnya di hadapan Hauri. Manik mata cokelat milik Exel menelisik wajah ayu Hauri yang tampak pucat. "Aku hanya meeting saja. Itu pun sudah selesai," jawabnya. "Aku ingin cepat pulang saja, rasanya ... apa mungkin karena aku selalu merindukanmu, Sayang?" Mendengar hal itu, Hauri memukul pelan lengan Exel dan terkekeh. Exel me
Exel menemui Dokter William pagi ini. Pada dokter itu ia menyampaikan kalau Hauri ingin segera pulang. Dokter William pun segera mengecek kondisi Hauri. Gadis itu benar-benar ingin terlihat kuat dan baik-baik saja pada dirinya. "Nona Hauri yakin ingin segera pulang? Pasalnya tiga hari lagi harus ke sini lagi untuk kembali terapi," ujar dokter menatap Hauri lekat-lekat. "Iya dok, saya ingin pulang," putus Hauri dengan sangat yakin. "Baiklah kalau begitu. Tidak papa pulang hari ini, tapi tolong dijaga kesehatan dan jam istirahat yang cukup, ya," ujar Dokter William. "Pasti, dok." Hauri merasa senang setelah dirinya mendapat izin pulang dari dokter. Hauri sudah teramat jenuh berada di tempat itu, ia ingin segera pulang hari ini. Dokter William memanggil suster untuk mengurus kepulangan Hauri hari ini. Sementara Exel merapikan barang-barang milik Hauri. "Kita akan pulang dengan Paman James," ujar Exel pada Hauri. "Heem. Sesampainya di rumah, aku ingin duduk bersama Mama," ujar Ha
Hari sudah gelap, Exel berjalan sendirian di lorong rumah sakit. Laki-laki itu baru saja kembali dari kantornya malam ini. Setelah sore tadi Mamanya bilang akan pulang pukul tujuh malam, Exel pun tiba saat Mamanya baru saja bertemu dengannya di luar. Ia membawa sebuah buket bunga mawar merah untuk Hauri. Sejak siang, Exel tidak sabar ingin segera bertemu dengan gadis itu. Exel membuka pintu kamar rawat inap Hauri perlahan-lahan, di sana Hauri tampak langsung menatapnya. "Exel..," sapanya lirih. "Hai, Sayang. Selamat malam," balas Exel, ia tersenyum manis pada gadis itu. "Aku membelikan buket bunga untukmu. Kau bilang kau ingin bunga mawar," ujarnya. "Heem, terima kasih," ucap Hauri lirih. "Sama-sama." Exel mengecup pipi Hauri. Hauri menatap senang buket bunga yang Exel bawakan untuknya. Ia menghidu aroma wangi mawar merah itu dan menoleh pada Exel yang sedang melepaskan tuxedo hitamnya. "Exel, berapa lama lagi aku akan dirawat di sini?" tanya Hauri. "Aku sangat bosan. Aku tid