Di sinilah Gea akhirnya. Berdiri di depan kantor KUA, karena telah menikahi seorang pria yang baru saja ditemuinya beberapa menit lalu. Seorang pria yang masih mengenakan pakaian kuli bangunan. Ia mencermati nama pria itu di buku nikah. Keningnya mengerut karena nama itu terasa familiar, tapi di mana?
Kembali ia mengeja nama pria. Seketika ia ingat sebuah nama yang sangat terkenal di kota itu. Namun, ia segera menggeleng karena itu tidak mungkin. Ya, setidaknya laki-laki itu beruntung memiliki nama yang sama. *** Malam tadi Gea tengah melangsungkan pesta pertunangan mewah di sebuah hotel elit. Senyum bahagia tak kunjung berhenti di bibir Gea dalam menyambut tamu satu persatu. "Aku mau menyapa teman-temanku. Tak apa kutinggal sendirian?" tanya Bei Prayoga, tunangannya yang memiliki darah Tiongkok. Gea menggeleng. "Tak apa. Tinggalkanlah." Sedikit pun Gea tidak memiliki firasat buruk pada pria tampan yang telah menemaninya beberapa tahun. Bei menjauh. Gea mengambil segelas minuman berwarna merah. Mendekat wanita muda dengan mengenakan gaun putih, berhiaskan mutiara di tali gaun itu menambah kecantikan sang pemakai. Gea menatap dari atas sampai bawah dengan tersenyum. Adik tirinya itu memang selalu ingin lebih cantik dari dirinya. Asal mula gaun itu miliknya, tetapi adiknya bersikeras mengambil dengan bantuan sang tunangan. Gea memilih menghindar berdebat. Akhirnya ia memilih gaun standar di bawah dari sang adik. "Berhenti menatapku seperti itu," ancam sang adik, Sinta. "Memang aku menatapmu seperti apa?" jawabnya cuek, kemudian menyesap minumannya. Sang adik meradang. "Dari gaun ini, tidakkah Kakak sadar diri, Kak Bei lebih mengutamakan aku dari pada Kakak.” "Silakan mengoceh, aku tak peduli," sahut Gea sambil berbalik. Namun, langkahnya terhenti karena lengannya ditarik sang adik. "Sampai kapan Kakak menutup mata. Jelas-jelas Kak Bei lebih mencintaiku daripada Kakak." "Dik, berhentilah bermimpi. Aku dan Bei sudah menjalin hubungan lima tahun. Susah senang dilalui bersama. Menurutmu akan hancur dengan ocehanmu itu?" Sinta tersenyum miring. Ia menyerahkan dua lembar foto kepada Gea. Gea tersentak. Menyaksikan foto Bei dengan mata terpejam di atas ranjang bersama Sinta. Melihatnya Sinta tersenyum penuh kemenangan. Ia terus maju sehingga membuat Gea masih syok termundur. "Hentikan. Jangan rusak pesta ini. Nanti kita selesaikan setelah pesta." Sinta tertawa. "Tak perlu menunggu selesai pesta. Sekarang bisa kita buktikan lagi bahwa Bei tak pernah mencintaimu. Lihatlah siapa yang akan diselamatkan Bei jika kita sama-sama terjatuh." Gea masih berselimut syok. Ia hanya termundur tanpa menyadari di belakangnya ada kolam. "Apa yang kau lakukan?" Sinta hanya membalas dengan tatapan licik. Ia terus maju, hingga sampai di bibir kolam kedua tangannya mendorong Gea hingga terdengar pekikan. Semua mata memandang ke arah kolam. Sinta langsung melemparkan diri ke kolam. Keduanya berteriak meminta tolong. Melihat itu tamu hanya saling berbisik. Hubungan buruk kedua saudara beda ibu itu sudah bukan rahasia lagi. Bei berlari ke arah kolam sambil melepaskan jasnya. Ia melompat ke kolam dan langsung menyelamatkan Sinta. "Kak Bei, Kak Gea masih di kolam," ucap Sinta terdengar lemah ketika sudah di tepi kolam. "Jangan khawatirkan dia." Di belakang Gea berjuang muncul ke permukaan, tetapi kepanikan membuat tubuhnya semakin tak berdaya di antara dalamnya kolam itu. Ia terus mengulurkan tangan, tetapi tidak ada yang peduli. Sang tunangan sudah menaruh adiknya ke sebuah kursi kolam renang. Pada titik itu ia putus asa. Ia memejamkan mata tanpa berani berharap ada keajaiban. Di kumpulan lain seorang pria mulai cemas melihat Gea yang tak lagi berteriak. "Gawat. Aku dengar Gea tidak bisa berenang," kata seorang tamu. Seketika pria itu langsung berlari dan menceburkan diri ke kolam. Ia bergegas meraih tubuh Gea yang sudah lemas dengan mata terpejam. "Kau tidak apa-apa?" Tidak ada lagi sahutan. *** Perlahan Gea membuka mata. Samar terlihat langit-langit putih. Ini bukan langit-langit kamarnya. Ia memijat pelipisnya sambil berusaha mengingat apa yang terjadi. "Sudah bangun?" Gea tersentak. "Sinta?" Gea mengedarkan pandangannya. Nampak ruang rawat inap beserta peralatannya. "Kau mau apa lagi?" lirih cuek. Sinta tertawa. "Tidak ada lagi. Aku cuma ingin melihatmu bagaimana setelah siuman dan menyadari semuanya telah hancur." "Hancur?" Ia tersenyum sinis. Bagaimana mungkin Gea yang telah kuliah di luar negeri dan berjuang sendirian sekian tahun hancur dalam satu malam? "Kau lupa reputasimu telah hancur. Lihatlah media sosial. Seorang Gea yang sombong diabaikan tunangannya meski nyaris mati." Mendadak Gea meradang. Bagaimana ia bisa melupakan dirinya yang nyaris mati masih harus menyaksikan tunangannya menyelamatkan adik tirinya. "Jika Kakak mau, aku bisa membersihkannya dalam satu jari." Mata Gea menyala. "Tidak usah marah begitu. Syaratnya tidak susah kok. Kakak cuma membersihkan sepatuku dengan wajah Kakak yang memuakkan itu." "Keluar!" teriak Gea sambil melemparkan bantal. Sinta termundur. Bertepatan Bei muncul dari balik pintu. "Kak Bei, lihat. Aku ke sini cuma ingin minta maaf, tapi dia malah mengusirku." "Gea, berhenti berbuat onar!" tegur Bei. Gea tersenyum getir. "Berbuat onar? Apa kualifikasimu mengatakan aku berbuat onar?" "Dia datang minta maaf, kau malah seperti ini," sembur Bei. Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei mau menikahimu itu sudah keberuntungan. Dengan reputasimu sekarang, siapa yang mau menikahimu?" "KELUAR! Siapa yang mau menikah dengan laki-laki lembut seperti dia? Pertunangan dibatalkan," teriak Gea sambil mencari sesuatu yang bisa dilempar. "Gea, aku benar-benar muak dengan kesombonganmu. Baik, aku kabulkan maumu," cecar Bei. "Kak Bei, jangan impulsif," bujuk Sinta. "Keluar!" teriak Gea. "Lihat saja, kau pasti menyesal," ancam Bei, kemudian menarik Sinta keluar ruangan. Gea berjuang menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun, bercampur dengan sakit yang mendera hati. Perlahan air matanya mengalir. "Nak, jangan tangisi orang seperti dia." Muncul seorang laki-laki tua yang menggunakan tongkat dan gelang pasien di tangan. "Anda?" tanya Gea. "Nak, kamu lupa kemarin pagi di taman?" Pak Tua itu balik bertanya. Sesaat Gea memutar memorinya. Terkenang saat ia melihat seorang pria tua yang tiba-tiba memegang dada sambil menahan sakit dan hampir tumbang. Ia bergegas menahan badan pria tua, tetapi terlambat. Pria tua itu telah pingsan dan jatuh ke tanah karena kekuatannya tak berimbang. "Jadi Kakek kemarin. Bagaimana keadaan Kakek sekarang? Sudah baikan?" tanya Gea. Laki-laki tua itu duduk di sampingnya. "Sudah agak baikan. Tadi … aku lewat dan tidak sengaja mendengar …." "Maaf, Kakek telah melihat drama memalukan." Mendadak wajah Gea murung kembali. Laki-laki tua itu tersenyum. "Jangan bersedih. Jangan biarkan air matamu jatuh untuk pria seperti dia." Gea hanya bisa mengangguk. Nyatanya, sakit sebuah rasa yang tak mampu ia tepis. Bagaimana tidak sedih, hubungan dijaga selama lima tahun akhirnya kandas juga. "Bukankah seharusnya kamu bersyukur?" "Bersyukur?""Bersyukur?" "Iya, karena kamu tahu sifatnya lebih awal? Coba bayangkan, bagaimana kalau kalian terlanjur menikah dan baru tahu sekarang sifat aslinya? Tentu akan lebih sakit dan lebih sulit lagi melepaskan diri." Gea menghela napasnya. "Kakek benar. Seharusnya aku bersyukur telah putus dari laki-laki seperti dia."***Di rumah sakit yang sama dua orang laki-laki berjalan cepat. Seorang mengenakan setelan jas dan satunya berseragam kuli berwarna biru dengan helm di tangan."Tuan Muda, tidakkah ganti pakaian dulu sebelum menemui Tuan Besar?""Tidak perlu. Akan lebih praktis setelah sini kita langsung meluncur ke lokasi konstruksi.""Baik, Tuan Muda.""Kamu pergilah. Biasanya kakek cerewet dan akan memakan waktu.""Baik, Tuan Muda."****Gea mengantar kakek ke ruang rawat inap dengan menggandeng lengan."Kakek sudah tua. Jagalah kesehatan, jangan berkeliaran sendirian," pesan Gea sambil membuka pintu dan membimbing kakek sampai ke ranjang. Kakek mendesah. "Heh, Kakek tua ini menghabi
"Aku sibuk sekali. Bagaimana kalau sekarang?""Sekarang?" pekik Gea. ***Gea membuka buku nikahnya setengah tidak percaya. Tiba-tiba saja ia telah menikah dengan laki-laki yang baru dikenal. Ia menatap fotonya bersanding dengan seorang laki-laki tanpa berkedip. Di belakangnya Ahsin setengah berlari membawa payung dan memberi naungan padanya. Spontan wajahnya tengadah.Syok kembali menyelimutinya. Ia baru menyadari pria yang sekarang jadi suaminya ternyata sangat tampan. "Mulai gerimis."Gea mengerjap. Seakan rohnya baru kembali. "Mmm … Aku mau kerja dulu. Masukkan nomor telponmu," ucapnya sambil menyerahkan ponsel. Ahsin menyambutnya, kemudian memasukkan nomor telponnya tanpa menyimpan nama. "Namamu?" tanya Gea. Ahsin mengerutkan kening. "Oh maaf. Aku sedikit linglung hari ini," ucapnya sambil menutupi rasa malu dengan mengetikkan beberapa huruf. Nyatanya ia memang tidak bisa mengingat nama laki-laki yang telah menjadi suaminya. Ia berinisiatif memberi nama suamiku. Setidaknya
"Sudahlah. Sesuai wasiat ibumu. Kau bisa mengambil perusahaan Zurra jika sudah menikah. Jadi jangan putus dari Bei jika ingin mengambil alih perusahaan."Gea membuka tasnya dan memperlihatkan buku nikah. "Aku sudah menikah."Sontak Sinta berdiri dan merampas buku nikah itu. Ia membuka buku itu dan sesaat terkejut ketika melihat nama suami kakaknya. Beberapa detik kemudian ia tersenyum kemenangan. "Kakak tak perlu membuat buku nikah palsu hanya karena ingin putus dengan Kak Bei."Gea merangsek maju dan mengambil buku nikahnya. "Kamu lupa aku putus dengan Bei karena trik norakmu.""Mengapa kau selalu mengintimidasi adikmu?" sela Malika sambil mengelus dada Lyman."Menginditimasi? Heh.""Pa, lihat putrimu! Dia semakin melonjak," adu Malika. "Gea, apa kau tidak malu. Baru putus dengan Bei, langsung menikah dengan pria entah berantah.""Malu? Hah? Bagaimana dengan Sinta yang sangat lengket dengan calon tunangan kakaknya. Oh aku lupa, dia memang genetik darimu. Belum genap ibuku meninggal,
Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."*** Di luar Ahsin kembali membuka payungnya dan sebelahnya tangannya memegang pundak Gea. "Hari ini cuaca tidak baik. Aku akan mengantarmu pulang. Kau istirahatlah," bujuk Ahsin begitu melihat mendung menyelimuti wajah Gea. "Ahsin, maaf atas perlakuan keluargaku padamu tadi.""Abaikan mereka. Aku tidak menghormati orang yang menganiaya kamu, meski mereka orang tuamu." Ahsin menyentuh pipinya. "Abaikan sikap mereka, ya. Sekarang kau punya aku." Gea menatap Ahsin. Bagaimana ia bisa mengandalkan pria asing yang baru menikahinya?"Hidungmu berdarah," pekik Ahsin. Gea menengadahkan wajahnya. Ahsin mengeluarkan sapu tangan di sakunya. Gea menolak. Ia mengambil selembar tisu di tasnya. Ahsin langsung mengambil tisu itu dan menyapu ke hidung Gea. "Kita ke rumah sakit, ya.""Tidak perlu. Ini sudah biasa.""Sudah biasa?" Ahsin semakin khawatir."Hidungku akan berdarah jika Papa menamparku. Lama kelamaan a
Gea menghela napasnya. “Gea, mengapa kamu begitu gugup? Bukankah kalian pasangan sah? Atau mengapa tidak anggap saja dia orang asing, jadi kenapa gugup?” Ia mengeluarkan sebuah buku dari kolong meja. Ia siap menggores di buku itu, tetapi mendadak otaknya tumpul. Ia menutup buku, mengembalikan ke kolong meja, kemudian menyandarkan punggungnya.“Gea … Gea … Apa yang telah kau lakukan?” rutuknya.Bel berbunyi. Ia bergegas membuka pintu dan menerima pesanannya. Yang membuatnya bingung, apakah harus mengantar langsung ke kamar atau memanggil Ahsin. “Ah, sudahlah, mungkin dia sudah tidur,” gumamnya sambil menaiki anak tangga. Tepat di depan kamar, langkahnya memelan. Pintu ternyata tidak ditutup. Ia kembali gugup, ternyata Ahsin belum tidur, sedang bersandar dengan masih bertelanjang dada. Tidak ada kesempatan buatnya untuk mundur karena Ahsin sudah melihat kedatangannya. “Ini pakaian untukmu sudah datang. Semoga cocok di badanmu.” Ahsin berdiri menyambutnya.Spontan Gea berpaling. Ia m
"Bekerja sepagi ini?" gumamnya. "Aku harus mengambil perusahaan ibuku dan memberi Ahsin pekerjaan yang lebih bagus."***Ahsin sedang ngobrol virtual. Meski berdiri di samping, Ferry masih bisa melihat beberapa orang yang muncul di layar desktop."Bos?" pekik seseorang. "Wah, Bos go publik," sela lainnya. Ahsin tertawa. "Sudah terlanjur tercium media. Owner More tak bisa disembunyikan lagi. Kuharap kalian tidak sungkan." "Tidak. Kami akan tetap menganggapmu Ahsin teman kami. Dari dulu kami sudah menduga kamu putra Buana," sahut Charles sebagai penanggung jawab teknologi More. Ahsin mengerutkan kening. "Bagaimana bisa?"Charles tertawa. "Kau bisa menutup wajahmu dengan topeng, tapi tak bisa menutup ID-mu dari kami."Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Ahsin memicingkan matanya. "Padahal aku sudah menggunakan perangkat lain. Jadi dari awal kalian sudah tahu aku?"Semua orang di layar mengangguk."Oh, ada. A
Baru pintu terbuka, lengannya langsung diseret Bei hingga terduduk ke meja kerja. "Benar kau sudah menikah?" tanya Bei sambil memajukan wajah dengan amarah tertahan. "Benar. Pria kemarin yang bersamaku."Bei memegang leher Gea. "Dari mana kau mendapatkan pria liar itu? Sedikit pun tidak bisa dibandingkan denganku."Gea mengibas pergelangan Bei hingga terlepas. "Mengapa? Dia punya tubuh yang bagus dan tampan. Apa lagi?""Apa yang kau harapkan dari seorang buruh?""Ada apa dengan buruh? Penghasilannya sedikit? Kau lupa kalau Prayoga itu dapat bangkit 80 persen dari usahaku?""Kak, bagaimana kau bisa bicara begitu?" Tiba-tiba Sinta muncul membela Bei. "Bagaimanapun Kak Bei bosnya, tidak bisakah kau menghargainya?"Gea tersenyum sinis. "Aku paling benci senyum sinismu," seru Bei dengan wajah memerah."Lalu?" tantang Gea. Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei, lihatlah emosi dia. Bagaimana dia bisa bekerja dengan kondisi seperti ini?"Bei menghela napasnya. "Gea, aku beri kamu istiraha
"Kakak tau pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award tahun kemarin?""Aku tahunya dua pemenang dari sini," sahut Bei."Kak Bei, aku pemenang ketiga itu.""Apa? Kamu serius?"Sinta mengangguk. "Aku penasaran dua pemenang ini, siapa sangka ternyata selalu di sekelilingku. Mengapa kamu sembunyikan ini?""Aku tidak ingin popularitas. Mengatakan ini ke hanya untuk membantu Kak Bei. Sekarang katakan ke perusahaan Buana, kalau Prayoga telah merekrut pemenang ketiga lomba desain Green Dot Award. Aku yakin mereka akan kembali mempertimbangkan kontrak kerjasama."Bei tersenyum haru. "Terima kasih banyak, Sinta. Aku tidak akan melupakan jasamu.""Tak perlu sungkan, demi Kak Bei, apapun akan aku lakukan."****Ahsin langsung berdiri begitu melihat Gea memasuki pintu restoran yang dijanjikan. Ia langsung menyambut dan mengulurkan tangan. Sesaat Gea tercenung melihat uluran tangan Ahsin."Kenapa?" tanya Ahsin sambil menggerakkan tangannya yang masih nganggur. Gea sedikit menengadahkan wajahny
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl