Share

Suamiku Kuli Terhormat
Suamiku Kuli Terhormat
Penulis: El Nurien

Pesta Yang Berantakan

Di sinilah Gea akhirnya. Berdiri di depan kantor KUA, karena telah menikahi seorang pria yang baru saja ditemuinya beberapa menit lalu. Seorang pria yang masih mengenakan pakaian kuli bangunan. Ia mencermati nama pria itu di buku nikah. Keningnya mengerut karena nama itu terasa familiar, tapi di mana? 

Kembali ia mengeja nama pria. Seketika ia ingat sebuah nama yang sangat terkenal di kota itu. Namun, ia segera menggeleng karena itu tidak mungkin. Ya, setidaknya laki-laki itu beruntung memiliki nama yang sama. 

***

Malam tadi Gea tengah melangsungkan pesta pertunangan mewah di sebuah hotel elit. Senyum bahagia tak kunjung berhenti di bibir Gea dalam menyambut tamu satu persatu. 

"Aku mau menyapa teman-temanku. Tak apa kutinggal sendirian?" tanya Bei Prayoga, tunangannya yang memiliki darah Tiongkok. 

Gea menggeleng. "Tak apa. Tinggalkanlah." Sedikit pun Gea tidak memiliki firasat buruk pada pria tampan yang telah menemaninya beberapa tahun.

Bei menjauh. Gea mengambil segelas minuman berwarna merah. Mendekat wanita muda dengan mengenakan gaun putih, berhiaskan mutiara di tali gaun itu menambah kecantikan sang pemakai. 

Gea menatap dari atas sampai bawah dengan tersenyum. Adik tirinya itu memang selalu ingin lebih cantik dari dirinya. Asal mula gaun itu miliknya, tetapi adiknya bersikeras mengambil dengan bantuan sang tunangan. Gea memilih menghindar berdebat. Akhirnya ia memilih gaun standar di bawah dari sang adik. 

"Berhenti menatapku seperti itu," ancam sang adik, Sinta.

"Memang aku menatapmu seperti apa?" jawabnya cuek, kemudian menyesap minumannya. 

Sang adik meradang. "Dari gaun ini, tidakkah Kakak sadar diri, Kak Bei lebih mengutamakan aku dari pada Kakak.”

"Silakan mengoceh, aku tak peduli," sahut Gea sambil berbalik. Namun, langkahnya terhenti karena lengannya ditarik sang adik. 

"Sampai kapan Kakak menutup mata. Jelas-jelas Kak Bei lebih mencintaiku daripada Kakak."

"Dik, berhentilah bermimpi. Aku dan Bei sudah menjalin hubungan lima tahun. Susah senang dilalui bersama. Menurutmu akan hancur dengan ocehanmu itu?"

Sinta tersenyum miring. Ia menyerahkan dua lembar foto kepada Gea. 

Gea tersentak. Menyaksikan foto Bei dengan mata terpejam di atas ranjang bersama Sinta. Melihatnya Sinta tersenyum penuh kemenangan. Ia terus maju sehingga membuat Gea masih syok termundur. 

"Hentikan. Jangan rusak pesta ini. Nanti kita  selesaikan setelah pesta."

Sinta tertawa. 

"Tak perlu menunggu selesai pesta. Sekarang bisa kita buktikan lagi bahwa Bei tak pernah mencintaimu. Lihatlah siapa yang akan diselamatkan Bei jika kita sama-sama terjatuh." 

Gea masih berselimut syok. Ia hanya termundur tanpa menyadari di belakangnya ada kolam. 

"Apa yang kau lakukan?"

Sinta hanya membalas dengan tatapan licik. Ia terus maju, hingga sampai di bibir kolam kedua tangannya mendorong Gea hingga terdengar pekikan. 

Semua mata memandang ke arah kolam. Sinta langsung melemparkan diri ke kolam. Keduanya berteriak meminta tolong. Melihat itu tamu hanya saling berbisik. Hubungan buruk kedua saudara beda ibu itu sudah bukan rahasia lagi. 

Bei berlari ke arah kolam sambil melepaskan jasnya. Ia melompat ke kolam dan langsung menyelamatkan Sinta. 

"Kak Bei, Kak Gea masih di kolam," ucap Sinta terdengar lemah ketika sudah di tepi kolam. 

"Jangan khawatirkan dia."

Di belakang Gea berjuang muncul ke permukaan, tetapi kepanikan membuat tubuhnya semakin tak berdaya di antara dalamnya kolam itu. Ia terus mengulurkan tangan, tetapi tidak ada yang peduli. Sang tunangan sudah menaruh adiknya ke sebuah kursi kolam renang. Pada titik itu ia putus asa. Ia memejamkan mata tanpa berani berharap ada keajaiban. 

Di kumpulan lain seorang pria mulai cemas melihat Gea yang tak lagi berteriak.

"Gawat. Aku dengar Gea tidak bisa berenang," kata seorang tamu. 

Seketika pria itu langsung berlari dan menceburkan diri ke kolam. Ia bergegas meraih tubuh Gea yang sudah lemas dengan mata terpejam. 

"Kau tidak apa-apa?"

Tidak ada lagi sahutan.

***

Perlahan Gea membuka mata. Samar terlihat langit-langit putih. Ini bukan langit-langit kamarnya. Ia memijat pelipisnya sambil berusaha mengingat apa yang terjadi. 

"Sudah bangun?"

Gea tersentak. 

"Sinta?"

Gea mengedarkan pandangannya. Nampak ruang rawat inap beserta peralatannya. 

"Kau mau apa lagi?" lirih cuek. 

Sinta tertawa. "Tidak ada lagi. Aku cuma ingin melihatmu bagaimana setelah siuman dan menyadari semuanya telah hancur."

"Hancur?" Ia tersenyum sinis. Bagaimana mungkin Gea yang telah kuliah di luar negeri dan berjuang sendirian sekian tahun hancur dalam satu malam?

"Kau lupa reputasimu telah hancur. Lihatlah media sosial. Seorang Gea yang sombong diabaikan tunangannya meski nyaris mati."

Mendadak Gea meradang. Bagaimana ia bisa melupakan dirinya yang nyaris mati masih harus menyaksikan tunangannya menyelamatkan adik tirinya. 

"Jika Kakak mau, aku bisa membersihkannya dalam satu jari."

Mata Gea menyala. 

"Tidak usah marah begitu. Syaratnya tidak susah kok. Kakak cuma membersihkan sepatuku dengan wajah Kakak yang memuakkan itu."

"Keluar!" teriak Gea sambil melemparkan bantal.

Sinta termundur. Bertepatan Bei muncul dari balik pintu.

"Kak Bei, lihat. Aku ke sini cuma ingin minta maaf, tapi dia malah mengusirku."

"Gea, berhenti berbuat onar!" tegur Bei.

Gea tersenyum getir. "Berbuat onar? Apa kualifikasimu mengatakan aku berbuat onar?" 

"Dia datang minta maaf, kau malah seperti ini," sembur Bei. 

Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei mau menikahimu itu sudah keberuntungan. Dengan reputasimu sekarang, siapa yang mau menikahimu?" 

"KELUAR! Siapa yang mau menikah dengan laki-laki lembut seperti dia? Pertunangan dibatalkan," teriak Gea sambil mencari sesuatu yang bisa dilempar. 

"Gea, aku benar-benar muak dengan kesombonganmu. Baik, aku kabulkan maumu," cecar Bei.

"Kak Bei, jangan impulsif," bujuk Sinta. 

"Keluar!" teriak Gea. 

"Lihat saja, kau pasti menyesal," ancam Bei, kemudian menarik Sinta keluar ruangan. 

Gea berjuang menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun, bercampur dengan sakit yang mendera hati. Perlahan air matanya mengalir. 

"Nak, jangan tangisi orang seperti dia." Muncul seorang laki-laki tua yang menggunakan tongkat dan gelang pasien di tangan. 

"Anda?" tanya Gea. 

"Nak, kamu lupa kemarin pagi di taman?" Pak Tua itu balik bertanya. 

Sesaat Gea memutar memorinya. Terkenang saat ia melihat seorang pria tua yang tiba-tiba memegang dada sambil menahan sakit dan hampir tumbang. Ia bergegas menahan badan pria tua, tetapi terlambat. Pria tua itu telah pingsan dan jatuh ke tanah karena kekuatannya tak berimbang. 

"Jadi Kakek kemarin. Bagaimana keadaan Kakek sekarang? Sudah baikan?" tanya Gea. 

Laki-laki tua itu duduk di sampingnya. 

"Sudah agak baikan. Tadi … aku lewat dan tidak sengaja mendengar …."

"Maaf, Kakek telah melihat drama memalukan." Mendadak wajah Gea murung kembali.

Laki-laki tua itu tersenyum. "Jangan bersedih. Jangan biarkan air matamu jatuh untuk pria seperti dia."

Gea hanya bisa mengangguk. Nyatanya, sakit sebuah rasa yang tak mampu ia tepis. Bagaimana tidak sedih, hubungan dijaga selama lima tahun akhirnya kandas juga. 

"Bukankah seharusnya kamu bersyukur?"

"Bersyukur?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status